KABARIKA.ID–SELALU saja ada sisi lain di balik cerita formal. Berita resminya, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman (AAS) berkunjung ke Palu, Sulawesi Tengah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Mentan Amran menghadiri sekaligus membuka Jambore Penyuluh Pertanian Tingkat Nasional (JPPTN) di kabupaten Sigi, Senin (6/11/2023).
Jambore JPPTN 2023 ini diikuti 2.000-an peserta yang terdiri atas penyuluh, anggota HKTI, KTNA Gapoktan, petani, jajaran pertanian provinsi, kabupaten dan kota. Kegiatannya dipusatkan di UPT Diklat Pertanian Sidera Kecamatan Sigi Biromaru.
Sehari sebelumnya, Ahad (5/11/2023), saya mendapat kiriman foto dan caption Mentan AAS yang juga Ketua Umum Ikatan Alumni Universitas Hasanuddin (IKA Unhas) mengunjungi dan berdialog dengan petani anggur yang tergabung dalam kelompok tani “Duyu Bangkit” di kelurahan Duyu, kecamatan Tatanga, kota Palu.
Disela-sela kegiatan itu saya tertarik sosok yang terselip ikut mendampingi sang menteri.
Perempuan. Berjilbab. Ia Wakil Walikota Palu yang juga alumni FK Universitas Hasanuddin Makassar. Bahkan awal karirnya ditapaki dari tempat itu, ketika dirinya menjadi Kepala Puskesmas Duyu (1992-1997).
Siapa dokter Reny Lamadjido?
Tiba-tiba memori saya teringat sepenggal kisah pertemuan pertama kali saya dengan sosok alumni Unhas tersebut, awal September lalu. Juga di Palu.
Waktu itu saya diundang panitia menghadiri Festival Tangga Banggo (FTB) ke IV di Siranindi, kecamatan Palu Barat. Sebuah gelaran seni budaya tahunan yang digelar forum masyarakat setempat.
Maksud hati ingin menikmati hiburan festival. Eh, malah tak sengaja bertemu sosok perempuan. Berpapasan. Orang-orang menyapanya: dokter Reny!
Saya melihat ia sibuk bersalaman satu per satu, dengan banyak orang. Saya tak kebagian kesempatan bersalaman dengannya. Pun deretan penjaja kuliner yang dilewatinya tak putus senyum mengembang dari bibirnya.
Saya baru tahu ketika itu. Rupanya wanita bernama lengkap dr.Reny Arniwaty Lamadjido, Sp.PK, M.Kes ini orang yang ditunggu-tunggu sore itu. Ia membuka secara resmi festival tersebut.
Wanita kelahiran Makassar 17 Desember 1962 dan besar di Palu ini adalah Wakil Walikota Palu mendampingi Hadianto Rasyid. Ia adalah putri dari mantan Gubernur Sulawesi Tengah, Abdul Azis Lamadjido.
Di opening ceremony itu dokter Reny pakai baju hitam dengan jilbab putih. Saya duduk agak di belakang. Berbaur dengan warga. Agar bisa cepat meninggalkan tempat. Harus menghadiri kegiatan lain yang tak kalah penting bagi saya.
Saya melihat atensi dan daya juang dibalik pidato dokter Reny. Ini pandangan subyektif saya. Terutama semangatnya menghidupkan nilai-nilai tradisi dan budaya lokal yang mulai redup.
Bahkan ia menantang panitia festival mengajukan proposal untuk membuat tugu Tangga Banggo. Alasannya biar nanti akan menjadi ikon baru untuk mengingat dan membangkitkan kembali cerita dibalik perayaan festival rakyat itu.
Di situ saya menangkap dokter Reny seperti melempar sindiran. Entah kepada siapa. Bahwa pemimpin itu harus visioner. Tapi juga harus punya road map untuk mencapai visinya itu. Kalau tidak, ia bukan seorang pemimpin. Ia hanya seorang pemimpi.
Tak banyak saya tahu tentang dokter Reny. Tapi dari berbagai informasi, rekam jejak digital, dan cerita yang saya dapatkan, ia adalah berlian di sepanjang hidupnya: kuliah S-1 di Unhas Makassar, fakultas kedokteran pula. Jadi aktivis HMI dan Senat Mahasiswa. Tamat sarjana kedokteran, ia melanjutkan studi spesialis dan magister kesehatan di kampus yang sama.
Dalam dunia praktek, ia dikenal seorang dokter yang sangat menonjol. Menitit karir dari bawah. Mulai dokter di Puskemas Dolo (1991-1992), lalu jadi Kepala Puskesmas Duyu (1992-1997).
Awal tahun 2002 karir dokter Reny mulai menanjak. Saat dipercaya sebagai Kepala Bidang Pelayanan Medik RSU Anutapura, lalu jadi Direktur di rumah sakit itu. Tak berselang lama, ia ditunjuk jadi Direktur RSUD Undata Palu (2015-2018) dan pada 2018 dipromosikan sebagai Kepala Dinas Kesehatan provinsi Sulawesi Tengah hingga 2020.
Waktu masuk ke arena politik, banyak yang menyayangkan keputusannya. Ia dokter. Seorang yang profesional. Tapi, mau menjadi wakil walikota Palu. Saya tidak dalam kapasitas menilai itu benar atau salah. Yang saya tahu, menjadi kepala daerah adalah menjadi pemimpin publik sekaligus pemimpin politik.
Suatu saat bila bertemu dokter Reny lagi, saya ingin bilang: kita punya persamaan. Sama-sama alumni dari Unhas. Sama-sama aktivis. Ia aktivis di HMI dan senat mahasiswa, sedangkan saya aktivis di koran kampus “Identitas”. *** (Rusman Madjulekka).