Kekerasan seksual di mana-mana bersifat korporealitas (corporeality), suatu realitas kekerasan badaniah yang terstruktur melalui hukum-hukumnya sendiri.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Oleh Alwy Rachman
Alumni Unhas, Dosen Fakultas Sastra/FIB Unhas
Terlepas dari ketajaman Irigaray, hirarki yang disusunnya mengundang reaksi dan respon dari berbagai pihak. Pertama, Evan Lundgren, seorang mahaguru Feminist Studies in Sociology, menganggap bahwa hirarki Irigaray justru merupakan cara mentransendensi “kekuatan” seksualitas lelaki. Kalau Irigaray mencoba membangun hubungan antara morfologi genital dan morfologi bahasa, Irigaray seharusnya membuktikan bahwa ia tidak hanya dapat mempertalikan secara signifikan sistem bahasa yang berstruktur maskulin, sebelum kalangan feminis melakukan “pemberontakan” bahasa dan mengindentifikasi bahasa seksualitas perempuan dan kemudian membangun komunikasi alternatif berdasarkan bahasa berstruktur feminin.
Itu pula sebabnya, menurut Evan, kegelisahan pada seksualitas perempuan yang dianggap tak tampak dan tak visual sesungguhnya tidak lebih dari monopoli bahasa. Monopoli bahasa seperti ini, lanjut Evan, tidak membuka kemungkinan untuk membangun pemahaman kultur secara bersama dalam mempelajari bahasa dari dua seksualitas, terlepas apakah kedua seksualitas itu bersifat phallic, visible, explicit, undelimited, atau tangible. Irigaray seharusnya membangun keakraban terhadap morfologi seksualitas perempuan, bukan yang selama ini dilihatnya sebagai hasil penaklukan jender (gender subjugation) dan bukan juga sebagai morfologi seksualitas yang secara awal diinterpretasi sebagai entitas yang tak tampak, defisit, dan vacum.
Kedua, hirarki Irigaray terhadap kelamin perempuan-lelaki disusun berdasarkan azas pasanganpertentangan (binary-opposition), bukan azas yang menempatkan kelamin yang satu adalah alternatif eksklusif bagi kelamin lain. Di hadapan Evan, Irigaray tidak menciptakan satu dorongan untuk memodifikasi keterbatasan yang terdapat pada definisi seksualitas, tetapi malah larut dalam ironi, mimetik dan peniruan. Ketiga, dunia sosial adalah ruang yang sarat dengan sosialisasi, termasuk proses pengenalan dan pemaknaan atas tubuh perempuan dan tubuh lelaki. Dunia sosial lah yang menempatkan tubuh sebagai sebuah arena dan sebagai titik tolak (point of departure). Dunia sosial adalah dunia jender, bukan sekedar dunia kelamin. Itu pula sebabnya, tangan dan kaki serta gerak anggota tubuh lainnya dapat dimasukkan ke dalamnya.
Kemajemukan dunia sosial adalah arena yang dapat dipakai untuk mengembangkan dan merumuskan norma-norma jender yang fleksibel, mencakup variasi yang dapat membuka peluang terjadinya perubahan terhadap rumusan norma-norma jender, termasuk di dalamnya cara bereaksi, cara berkomunikasi dan cara membangun simbol. Keempat, persoalan ketidaksetaraan jender selama ini terletak pada kekerasan seksual. Kekerasan seksual di mana-mana bersifat korporealitas (corporeality), suatu realitas kekerasan badaniah yang terstruktur melalui hukum-hukumnya sendiri. Melalui umpan balik dari peneliti lain, kekerasan seksual yang fenomenal terhadap perempuan dikenali melalui delapan modus, masing-masing:
1. Kekerasan dalam bentuk pemerkosaan oleh kelompok-kelompok gang, perdagangan
perempuan (traficking in women), pemaksaan menjadi pekerja seks. Kesemua kekerasan ini berhubungan dengan gravitasi tubuh perempuan dalam situasi perang dan konflik.
2. Pemerkosaan perempuan di setiap peristiwa perang adalah pengrusakan (retaliation) terhadap kepemilikan lelaki dan juga berfungsi sebagai pesan kepada musuh.
3. Pemerkosaan adalah pernyataan atau pesan yang diletakkan ke tubuh perempuan.
4. Pemerkosaan adalah pembersihan teritori lelaki karena lelaki tidak akan pulang ke lokasi tempat ia dihinakan.
5. Perempuan yang diperkosa oleh tentara, dapat dikorbankan lagi oleh lelakinya sendiri (keluarga sendiri) dengan alasan pemerkosaan itu telah menghancurkan kehormatan dan martabat pribadi atau keluarga.
6. Perkosaan terhadap perempuan oleh tentara dimaksudkan untuk mengeliminasi frustrasi
terhadap hirarki kehidupan militer.
7. Pemerkosaan juga dimaksudkan untuk mempertahankan moral militer dan membangkitkan semangat perang.
8. Pemerkosaan yang disebabkan oleh perilaku seksual agresif dan dominatif. Ketergantungan sosial dan ketergantungan ekonomi membatasi perempuan menegosiasi seks secara lebih aman. Di dalam situasi konflik, perempuan dipaksa membarter seksnya demi keselamatannya sendiri. Terhadap modus seperti di atas, banyak pakar berpendapat bahwa modus-modus ini berakar pada pandangan bahwa perempuan memang sebagai properti lelaki.
Kelima, pemikiran-pemikiran teologi, dalam kenyataannya, tidak selalu bersahabat dengan perempuan. Pemikiran-pemikiran sebagaimana yang dimaksud, tanpa disadari, sering menjelma menjadi tempat terkonsentrasinya dinamika simbol jender, yang kemudian memanifestasi ke dalam ketidaksetaraan jender.
Dualitas, sebagaimana digambarkan sebelumnya, oleh Evan, adalah bangunan eksistensi, kosmik di satu pihak dan etik di lain pihak. Terakhir, demarkasi jender memang masih sangat hidup dan secara kepala batu berdiam di dunia sosial. Diskursus atau wacana pembedaan jender dengan cara seperti ini justru akan menciptakan polarisasi secara kuat. Tidak mengherankan, jika tindakan pelintasan terhadap demarkasi jender seringkali dianggap sebagai tindakan “berbahaya” dan “terlarang”.