Sesuai amandemen KK yang ditandatangani tahun 2014, maka renegosiasi perpanjangan kontrak dan peralihan ke Izin Usaha Pertambangan Khusus akan dimulai tahun 2023, dua tahun sebelum KK berakhir tahun 2025. Tidak mudah bagi pemerintah dalam melakukan renegosiasi, mengingat berbagai isu strategis harus dipertimbangkan sebelum memutuskan apakah izin pertambangan PT. Vale Indonesia diperpanjang atau tidak.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sawedi Muhammad,
Alumni dan Sosiolog Unhas
Catatan Penutup
Setelah menganalisis sejarah industri pertambangan dan kompleksitas yang ditimbulkan baik secara sosial, ekonomi maupun lingkungan, maka sangat dimaklumi apabila begitu banyak respon negatif terhadap kehadiran PT. Vale Indonesia. Meski perusahaan ini telah beroperasi lebih dari setengah abad, transfer pengetahuan dan teknologi pertambangan ke sumber daya manusia lokal tidak juga terlaksana.
Selain itu, persoalan konflik lahan, maksimalisasi program CSR, pencemaran lingkungan, pemberdayaan kontraktor lokal dan rekrutmen tenaga kerja terutama masyarakat asli masih terus terjadi secara berulang. Meski PT. Vale Indonesia secara normatif telah mendapatkan penghargaan tertinggi untuk pengelolaan lingkungan (Proper), indikator Environment, Social dan Governance belum dicapai secara maksimal dan komprehensif.
Sesuai amandemen KK yang ditandatangani tahun 2014, maka renegosiasi perpanjangan kontrak dan peralihan ke Izin Usaha Pertambangan Khusus akan dimulai tahun 2023, dua tahun sebelum KK berakhir tahun 2025. Tidak mudah bagi pemerintah dalam melakukan renegosiasi, mengingat berbagai isu strategis harus dipertimbangkan sebelum memutuskan apakah izin pertambangan PT. Vale Indonesia diperpanjang atau tidak.
Beberapa pertimbangan berikut dapat dijadikan referensi bagi pemerintah dalam melakukan renegosiasi perpanjangan izin pertambangan. Pertama, sesuai komitmen PT. Vale yang akan membangun smelter di Morowali dan Bahudopi yang hampir pasti tidak sesuai timeline, maka pemerintah harus memberi poin tersendiri mengenai keseriusan perusahaan dalam merealisasikan komitmennya.
Sebagai perbandingan, IMIP Morowali dan Virtue Dragon dapat merampungkan pembangunan smelter dan melakukan ekspor perdana hanya dalam waktu empat tahun saja.
Kedua, pilihan teknologi untuk kedua pabrik peleburan nikel di Morowali dan Pomalaa bukanlah teknologi yang ramah lingkungan. Apabila kedua smelter tersebut beroperasi, maka dapat dipastikan target pemerintah untuk zero deforestasi, transisi energi dan net carbon sink tahun 2030 tidak akan tercapai.
Ketiga, kinerja ESG PT. Vale di blok Sorowako tidak ditunaikan secara maksimal. Artinya, perusahaan akan semakin kesulitan melaksanakan tata kelola pertambangan yang baik sesuai prinsip-prinsip ESG di tiga tempat yang berbeda secara bersamaan.
Keempat, sebelum mengambil keputusan mengenai status perizinan perusahaan, pemerintah sebaiknya melakukan konsultasi secara menyeluruh di tiga provinsi (Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara) dengan melibatkan stakeholder lokal yang selama ini bersentuhan langsung dengan perusahaan. Pemerintah harus mendengarkan aspirasi berbagai pemangku kepentingan melalui dialog yang terbuka dan partisipatif untuk mengetahui gambaran objektif tentang kontribusi pertambangan di berbagai bidang.
Keputusan apa pun yang diambil adalah yang terbaik untuk pembangunan bangsa dan negara. Tetapi hendaknya pemerintah memahami bahwa meski ekspedisi Columbus dan penjelajahan Magellan sudah tidak ditemukan di abad ini, strategi negara Barat dan Timur untuk menguasai kekayaan alam Indonesia telah bertransformasi ke dalam formasi baru yang disebut oleh Harry Magdoff sebagai “imperialism without colonies”.
Sudah saatnya pemerintah mengembalikan spirit pasal 33 UUD 1945 ayat 33, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.