KABARIKA.ID, JAKARTA – Harga beras di berbagai daerah mengalami penurunan pada Agustus 2024.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Penurunan ini merupakan anomali karena saat bersamaan Indonesia dilanda gelombang panas yang sangat ganas dan mengakibatkan turunnya produksi.
Namun, hal ini berbanding terbalik karena sejumlah daerah sentra malah menggelar panen raya.
Seperti diketahui, pemerintah melalui Kementerian Pertanian (Kementan) gencar melaksanakan program pompanisasi sebagai solusi cepat menghadapi darurat pangan akibat kekeringan panjang.
Direktur Statistik Tanaman Pangan, Hortikultura dan Perkebunan (STPHP) pada Badan Pusat Statistik (BPS), Eko Marsoro membenarkan bahwa pada bulan Agustus ini berdasarkan hitungan sementara terjadi potensi kenaikan produksi beras.
“Ini pola yang agak berbeda dibanding Tahun-tahun sebelumnya, di mana biasanya Juli ke Agustus pola panennya turun,” ujar Eko saat dihubungi, Selasa, 3 September 2024.
Menurut Eko, bulan Agustus dan September 2024 ini apabila dikomparasi dengan bulan yang sama di tahun sebelumnya juga terdapat surplus beras yang dihasilkan dari panen raya.
Bahkan dia mencatat tahun ini juga tidak ada kegagalan penen yang biasanya turun secara signifikan.
“Dari sisi keterbandingan dengan konsumsi bulanan, pada Agustus-September ini ada potensi surplus. Kami juga mencatat potensi kegagalan panen mungkin lebih rendah dibanding sebelumnya,” katanya.
Meski demikian, Eko menegaskan bahwa semua potensi yang ada ini merupakan hitungan sementara karena pencatatan masih terus berlangsung hingga 20 September mendatang.
“Ini sifatnya potensi, karena realnya baru selesai dihitung setelah tanggal 20 September,” jelasnya.
Sebelumnya dalam rilis BRS, Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS, Pudji Ismartini, menjelaskan bahwa harga gabah kering panen (GKP) di tingkat petani pada Agustus 2024 turun sebesar 1,15 persen secara bulanan (MoM), sementara harga beras premium di penggilingan turun 1,19 persen.
Pudji mengatakan penurunan harga beras terjadi di seluruh Indonesia, mencakup berbagai jenis kualitas, baik medium maupun premium. “Harga yang kami sampaikan di sini merupakan harga rata-rata beras dari berbagai kualitas dan mencakup seluruh wilayah di Indonesia,” jelasnya.
Kepala Biro Humas dan Informasi Publik Kementan, Moch Arief Cahyono, menyatakan bahwa anomali ini menjadi bukti bahwa kebijakan yang diambil Kementan mampu merespons perubahan iklim dan tantangan di sektor pertanian dengan efektif.
“Fenomena ini mungkin belum pernah terjadi dalam 30 tahun terakhir, bahkan sejak Indonesia merdeka. Artinya, program dan kebijakan Kementan terkait pompanisasi dan oplah sudah tepat, karena berdampak positif terhadap peningkatan produksi,” kata Arief.
Arief menjelaskan bahwa sejak dulu, penurunan harga gabah dan beras, termasuk di tingkat penggilingan padi, menjadi tren yang lazim selama musim kemarau.
Namun, berkat langkah-langkah proaktif yang diambil Kementan dalam menghadapi tantangan iklim, tren tersebut berhasil dibalik.
“Dulu, musim kemarau selalu dikaitkan dengan menurunnya produksi, yang mengakibatkan harga beras dan gabah cenderung naik. Namun, tahun ini, skenario tersebut tidak terjadi. Data BPS menunjukkan bahwa harga gabah justru mengalami penurunan, yang mengindikasikan bahwa produksi padi nasional berada dalam kondisi yang baik, bahkan berlimpah,” ungkap Arief.
Tahun ini Kementan mengalokasikan bantuan 62.378 pompa air untuk sejumlah daerah di Indonesia. Dalam lima bulan terakhir, lebih dari 38.000 pompa telah dibagikan dan secara signifikan berdampak pada peningkatan produksi padi nasional meski ditengah tantangan iklim seperti El Nino.