KABARIKA.ID, MAKASSAR — Tanggal 7 Oktober 2024 hari ini, genap satu tahun perang Israel melawan Hamas di Gaza, Palestina.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Agresi Israel ke Jalur Gaza yang menyebabkan kehancuran dan bencana kemanusiaan besar serta menguji hukum dan norma internasional hingga batasnya genap berlangsung setahun.

Namun, berbeda dengan harapan dunia supaya Israel segera mengakhiri agresi demi perdamaian, tindak-tanduk mereka saat ini telah membuat konflik semakin meluas di kawasan Timur Tengah.

Tak hanya Gaza, roket-roket Israel juga mendarat di Lebanon. Sudah lebih dari 41.800 warga Gaza, yang sebagian besar wanita dan anak-anak, wafat dan 96.800 lainnya terluka akibat agresi Israel.

Di Lebanon juga, sudah hampir 2.000 orang tewas dan 9.000 orang terluka akibat serangan Israel.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), baik melalui Dewan Keamanan maupun Majelis Umum, sudah mengesahkan tak sedikit resolusi untuk mendesak Israel menghentikan serangannya yang semakin serampangan di Gaza.

Resolusi DK PBB nomor 2728, Resolusi DK PBB nomor 2735, maupun Resolusi Majelis Umum PBB nomor ES-10/22 yang disahkan tahun ini, misalnya, memiliki pesan yang sama, yaitu menyerukan gencatan senjata dan bantuan kemanusiaan segera di Jalur Gaza.

Meski demikian, rezim Zionis masih terus membombardir rakyat Palestina yang tak bersalah dan meluluhlantakkan seluruh daerah Gaza.

Dalam Sidang ke-79 Majelis Umum PBB yang berlangsung sepanjang September lalu, isu Palestina dan agresi Israel ke Jalur Gaza serta konflik di Timur Tengah menjadi topik utama.

Satu per satu pemimpin dunia silih berganti melontrkan kecaman mereka kepada Israel dan mendesak agar peperangan di Timur Tengah segera diakhiri.

Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi, misalnya, dengan lugas mengutuk kemunafikan Israel di hadapan sidang Majelis Umum PBB pada 28 September.

“Kemarin PM Netanyahu menyatakan, ‘Israel ingin damai…’, ‘Israel mendamba perdamaian’. Apa benar? Bagaimana mungkin kita akan percaya pernyataan itu?,” kata Menlu, yang merujuk pada pidato yang disampaikan PM Netanyahu sehari sebelumnya.

“Kemarin, saat dia di sini, Israel melakukan serangan udara besar-besaran terhadap Beirut yang belum pernah terjadi sebelumnya. PM Netanyahu ingin perang berlanjut,” tambah Retno.

Sementara itu, Menteri Luar Negeri China Wang Yi menyatakan kepada PBB, bahwa persoalan Palestina yang terus berlarut adalah “luka terbesar bagi hati nurani kemanusiaan”.

Ia meyakini bahwa keadilan bagi Palestina tak akan bisa digoyahkan oleh kekuatan manapun.

“Keinginan rakyat Palestina untuk hidup di negaranya yang merdeka tak boleh lagi diabaikan,” tandas Wang.

Pernyataan Senada datang dari Menteri Luar Negeri Islandia, Thordis Gylfadottir menyatakan bahwa tak boleh ada negara yang bisa berada di atas hukum internasional.

Menurutnya, hak rakyat Palestina untuk menentukan nasibnya sendiri tak perlu diperdebatkan lagi.

Asap mengepul setelah serangan udara Israel yang menargetkan daerah di pinggiran selatan Beirut pada 3 Oktober 2024. (Foto: theguardian)

Menteri Luar Negeri Kanada, Melanie Joly juga menegaskan dukungan terhadap upaya pemulihan Palestina sembari mengecam aksi teror Israel yang telah menyebar ke Tepi Barat.

“Pemerintah Israel menolak pembentukan Negara Palestina, sementara kekerasan terhadap rakyat Palestina oleh para pemukim ekstremis dan perluasan pemukiman ilegal Israel di Tepi Barat terus berlanjut. Hal ini sama sekali tak bisa diterima,” tegas Joly.

Meski demikian, sebagaimana pendirian sejumlah negara-negara Barat yang belum mengakui Palestina, ia mengatakan, Kanada baru akan memberi pengakuan “jika saatnya tepat”.

Pendirian tersebut lantas ditepis Menteri Luar Negeri Norwegia Espen Barth EIde yang mengatakan, semakin banyak negara telah menyadari bahwa “menunggu waktu yang tepat untuk mengakui Palestina tak ada manfaatnya”.

Oleh karena itu, ia mendesak negara-negara yang belum mengakui kedaulatan Palestina untuk segera mengakuinya.

Terlebih, Resolusi Majelis Umum PBB nomor ES-10/23 yang disahkan pada Mei 2024 memberikan hak istimewa laksana anggota penuh bagi Palestina, sehingga menunjukkan bahwa Palestina adalah rekan setara di antara negara-negara dunia.

Tak hanya itu, rasa frustrasi komunitas internasional atas ulah Israel secara gamblang ditunjukkan di aula sidang Majelis Umum PBB pada 27 September.

Di mana tak sedikit delegasi negara-negara di PBB memutuskan walkout untuk memprotes kepala otoritas Israel, Benjamin Netanyahu.

Begitu Netanyahu naik mimbar, keluarlah para delegasi itu. Ketua Sidang Majelis Umum PBB, Philemon Yang pun sampai meminta majelis untuk tertib saking riuhnya aula saat hal tersebut terjadi.

Selain Indonesia, delegasi lain yang ikut keluar menentang Netanyahu berasal dari Kuwait, Iran, Pakistan, Malaysia, dan Kuba.

Negara-negara tersebut merupakan anggota Organisasi Kerja sama Islam, Liga Arab, dan Gerakan Non Blok yang senantiasa mendukung kemerdekaan Palestina.

Tindakan walkout tersebut merupakan gertakan komunitas internasional terhadap otoritas Israel dan Netanyahu yang terus mengabaikan desakan dunia untuk menghentikan aksinya.

Sidang Majelis Umum PBB tahun ini telah menjadi wahana bagi negara-negara dunia menyampaikan satu suara mereka kepada Israel untuk mendesak penghentian agresinya di Jalur Gaza, dan kini Lebanon. (*/mr)