KABARIKA.ID, FLORIDA — Setelah memenangkan Pemilu Presiden Amerika Serikat (AS) beberapa waktu lalu, Donald Trump melontarkan pernyataan yang mengejutkan. Ia mengatakan bahwa AS akan mengambil alih Terusan Panama (Panama Canal) dan Greenland, sebuah pulau yang menjadi basis pangkalan AU AS di Denmark.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pernyataan terbaru Trump yang dimuat media-media internasional hari ini, Rabu (8/01/2024) menyebutkan bahwa ia menolak mengesampingkan penggunaan kekuatan militer AS (refuses to rule out using military) untuk merebut Terusan Panama dan Greenland, dengan alasan keamanan ekonomi sebagai faktor pendorongnya.
Pernyataan tersebut kemungkinan akan memicu gelombang protes di seluruh dunia ketika Trump bersiap untuk kembali ke Gedung Putih pada 20 Januari 2025.
Berbicara pada konferensi pers hari Selasa (7/01/2025) di Mar-a-Lago, Presiden Terpilih AS tersebut, secara eksplisit menolak memberikan jaminan untuk tidak menggunakan paksaan militer atau ekonomi ketika didesak mengenai rencananya mengenai Terusan Panama dan Greenland.
“Saya tidak dapat meyakinkan Anda mengenai salah satu dari keduanya. Tetapi saya dapat mengatakan ini, kita memerlukannya untuk keamanan ekonomi,” ujar Trump saat menjawab pertanyaan jurnalis.
Pernyataan tersebut muncul dalam sesi panjang dengan para jurnalis di rumahnya di resor Florida.
Pernyataan itu diperkirakan akan memicu peringatan diplomatik di seluruh dunia ketika Trump bersiap untuk kembali ke Gedung Putih akhir bulan ini, dengan agenda nasionalisme Amerika yang kuat.
Trump mengeklaim Terusan Panama, yang diserahkan kendalinya ke Panama pada 1999 berdasarkan perjanjian tahun 1977, dioperasikan oleh Tiongkok.
Pernyataan itu muncul di tengah seruannya yang berulang kali agar jalur perairan strategis itu dikembalikan ke AS pengelolaan dan pengendaliannya.
“Terusan Panama dibangun untuk militer kita dan sangat penting bagi negara kita. Ini dioperasikan oleh Tiongkok, Cina! Dan kami memberikan Terusan Panama kepada Panama, kami tidak memberikannya kepada Tiongkok,” tandas Trump.
Soal Greenland, AS Ancam Denmark
Terkait Greenland, Trump mengancam akan melakukan pembalasan ekonomi terhadap Denmark, dan menyatakan bahwa jika negara tersebut menolak ambisi teritorialnya, maka ia akan mengenakan tarif yang sangat tinggi kepada Denmark.
Pernyataan kerasnya juga meluas ke wilayah utara, ketika Trump menegaskan kembali minatnya untuk menggunakan kekuatan ekonomi untuk menjadikan Kanada sebagai negara bagian ke-51 AS dan mengkritik dukungan militer AS untuk salah satu sekutu terdekatnya.
Perdana Menteri Kanada, Justin Trudeau, menolak komentar Trump, dengan mengatakan: “Tidak ada peluang besar bahwa Kanada akan menjadi bagian dari Amerika Serikat.”
Trump menyampaikan hal tersebut ketika putranya, Donald Trump Jr, mendarat di ibu kota Greenland, Nuuk, di mana ia dilaporkan membagikan topi bertuliskan, “Jadikan Greenland Hebat Lagi” (Make Greenland Great Again), meskipun ia mengaku berkunjung hanya sebagai turis.
Fokus ganda pada Terusan Panama dan Greenland merupakan upaya samar Trump untuk memperluas kendali teritorial AS atas nama keamanan nasional dan ekonomi.
Meskipun Terusan Panama sebelumnya berada di bawah kendali Amerika, Greenland tetap menjadi wilayah otonom Denmark yang telah berulang kali menolak tawaran Amerika.
Panama Menolak Tegas Ambisi Trump
Komentar Trump ini menyusul serangkaian pernyataan yang semakin konfrontatif mengenai Panama, termasuk ancaman baru-baru ini bahwa AS akan menuntut agar Terusan Panama dikembalikan ke AS secara penuh, cepat dan tanpa pertanyaan.
Presiden Panama, José Raúl Mulino, menolak tuntutan Trump dan menyatakan bahwa setiap meter persegi Terusan Panama akan tetap berada di bawah kedaulatan Panama.
Pertukaran ini menandai peningkatan dramatis dalam retorika mengenai jalur maritim penting tersebut, yang awalnya dibangun AS pada 1914 dan dioperasikan hampir sepanjang abad ke-20.
Sikap konfrontatif ini mencerminkan ketegangan yang berujung pada invasi AS ke Panama pada 1989.
Komentarnya memicu kekhawatiran khusus mengingat sejarah intervensi militer AS di Panama.
Pada bulan Desember 1989, AS melancarkan Operasi Just Cause, mengerahkan 9.000 tentara untuk bergabung dengan 12.000 personel militer AS yang sudah berada di negara tersebut untuk menggulingkan diktator militer Panama, Manuel Noriega.
Invasi tersebut, yang mengakibatkan kematian 23 anggota militer AS dan sekitar 500 warga sipil Panama, dikutuk oleh Organisasi Negara-negara Amerika dan Parlemen Eropa sebagai pelanggaran hukum internasional.
Hal ini juga mengakibatkan pemecatan Noriega, yang kemudian dijatuhi hukuman 40 tahun penjara AS atas tuduhan penyelundupan narkoba. (rus)