SAYA termasuk penikmat kopi. Belakangan ini, saya menyukai kopi Aceh Gayo yang diolah secara manual. Tetapi kopi dengan freshmilk ditambah gula aren masih jadi pilihan utama. Hingga hari ini, kopi menjadi pilihan saat bekerja, rapat, atau sekedar santai di cafe atau taman belakang rumah.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Kalau dihitung-hitung, kedai kopi di Indonesia sudah hampir 3.000 gerai dengan market size sekitar 4,8 triliun per tahun. Belum lagi bicara kopi ready to drink dan kopi gunting yang biasa tersedia di warung.

Kemarin, saya mampir ke kedai kopi di bilangan Pejaten, Jakarta Selatan atas ajakan bang Awaluddin bertemu di Boska Coffee. Ownernya, Darwis Ismail, seorang alumni Unhas yang sudah lama berkarir di Jakarta. Cukup dikenal ramah dan selalu mendukung adik-adinya yang berkarir di ibu kota. “Yang penting jujur dan mau kerja keras,” pesannya saban hari.

Setelah masuk, saya naik ke lantai dua. Bang Awaluddin atau biasa disapa Kak Cindenk, Wasekjen Majelis Nasional KAHMI tampak diskusi santai di meja saat saya datang.

“Ini mantan ketua umum KNPI, pengusaha beras,” pungkasnya. Saya menyalami sembari mengenalkan diri. Tak lama, seorang anak muda dengan baju celemek datang menanyakan mau minum apa.

Selain sofa, terdapat kursi yang terbuat dari jati. Nampaknya secara khusus didatangkan dari Jepara. Saya memilih duduk di kursi jati. Urat kayunya yang bagus menunjukkan nilai estetika dan kualitas yang baik. Dudukannya dilapisi pouf. Sepertinya sengaja dibuat agar tamu duduk lama-lama. Kalau lama berarti bisa pesan makanan, minuman berkali-kali.

Yang menarik, tampilan dinding ruangan dalam terdapat walpaper foto-foto bangunan dan suasana taman di Eropa. Saat naik ke lantai dua, foto suasana di London, UK bisa dilnikmati di walpaper yang terpasang. Saya duduk menikmati kopi, memandang foto laut dengan perahu di samping dermaga, tower yang menjulang tinggi, rumah pedesaan yang berlatar gunung, dihiasi salju. Saya menduga-duga, owner Boska Coffee sering minum kopi di Eropa.

Terdapat juga gambar icon UK, ruang telepon berwarna merah yang biasa kita lihat di film James Bond. Dinding dekat jendela, gambar Menara Eifel di Paris terlihat seperti nyata. Menjulang tinggi. Rasa-rasanya, kita berada di salah satu sudut ruangan di Eropa. Apalagi kombinasi cahaya putih dan kuning lampu cukup mendukung suasana tersebut.

Boska Coffee punya pemasok kopi dari berbagai daerah. Mirip yang dilakukan oleh gerai besar seperti Sturbuck. Kopinya dari petani langsung di desa. Setelah diroasting sesuai permintaan, kopi disajikan dalam toples di atas meja. Sehingga pengunjung bisa memilih kopi jenis apa yang mereka inginkan.

Kehadiran Boska Coffee di pusat kota Jakarta termasuk berani. Apalagi di tengah persaingan gerai kopi yang terus bertambah. Sturbuck, Tanamera, Upnormal, Janjijiwa, dan kopi kekinian versi kedai bubuk. Apalagi kapal api, brand yang telah lama menghiasi televisi ketika jeda sinetron.

Kak Darwis, Owner Boska Coffee tidak menjadikan mereka sebagai saingan. Tetapi mitra yang berupaya mengenalkan kopi ke para pekerja kantoran, karyawan swasta dan pejabat. Boska Coffee juga diniatkan bukan hanya untuk bisnis semata melainkan wadah berkumpul, silaturrahim alumni Unhas yang menetap di ibu kota.

Segmen market Boska Coffee juga menyasar para pekerja, pengusaha yang datang dari berbagai daerah ke Jakarta dalam rangka tugas ataupun urusan bisnis.

Bahkan, beberapa bulan lalu, kandidat rektor di kampus terbesar Indonesia Timur, Unhas juga menyempatkan diri ngopi di Boska Coffee. Ada juga yang presentasi programnya di hadapan alumni. Itu terjadi di Boska Coffee.

Memang tidak mudah bertahan di tengah pusaran bisnis kopi yang dikuasai para pemain lama. Tetapi kehadiran brand baru dan bisa bertahan sudah sangat bagus. Boska Coffee yang bertahan dalam badai Covid 19 akhirnya mampu beradaptasi.

Seperti kata pepatah, pemain baru akan membangun jalannya sendiri. Kopi gula aren di depan saya sudah mulai dingin, mari seruput kopinya. (*)

Ismawan Amir (Alumni Unhas)