Oleh: Rusdin Tompo (Pegiat Literasi, Alumni Fakultas Hukum Unhas ’87)
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Ada banyak tempat yang saya tidak tahu sebelumnya, tapi kemudian menjadi bagian dari sejarah hidup saya. Salah satunya adalah Desa Paria. Desa ini berada di hilir Sungai Saddang. Bahkan aliran sungainya membelah wilayah Desa Paria, lalu terus menuju Selat Makassar.
Nama desa ini saya ketahui ketika mengikuti Kuliah Kerja Nyata (KKN) Universitas Hasanuddin (Unhas), Gelombang 42, di tahun 1992. Peristiwanya sudah 33 tahun lewat, tapi susana desa di Kecamatan Duampanua, Kabupaten Pinrang, Provinsi Sulawesi Selatan itu masih terekam dalam ingatan.

Kecamatan Duampanua merupakan kecamatan kedua terluas di wilayah Pinrang, setelah Kecamatan Lembang. Kecamatan yang punya sejarah dengan Akkarungngeng ri Batulappa atau Kerajaan Batulappa ini, terbilang kecamatan besar di Pinrang.
Kala itu, kamiβmahasiswa KKN Unhas Gelombang 42βmenumpang bus dari Kampus Unhas, di Tamalanrea, menuju lokasi penempatan di Kecamatan Duampanua. Jarak Makassar-Pinrang lebih 180 km. Saya ingat, kami turun di Kantor Kecamatan yang berada di Kelurahan Lampa untuk mengikuti prosesi penyambutan sederhana. Kemudian ke Pekkabata, yang merupakan pusat aktivitas ekonomi.
Hari sudah menjelang sore, saat masing-masing dari kami berkumpul lagi dalam kelompok kecil, sesuai desa yang dituju. Untuk menuju ke Desa Paria, kami naik bendi, yakni sarana transportasi tradisonal yang ditarik kuda. Begitupun teman-teman yang akan ke Desa Bababinanga, yang sejurusan, naik bendi bareng dengan kami.
Satu-satunya teman KKN yang saya kenal, saat menuju lokasi hanyalah Aida Andriani Arkiang. Dia teman sekelas saya di Ambon. Jalan menuju desa lumayan lebar tapi kala itu belum diaspal.
Saya dan Aida malah sekelas, sejak kelas 2 hingga kelas 3. Kami juga sama-sama bebas tes masuk UNHAS lewat jalur PMDK (Penelusuran Minat dan Kemampuan). Aida lulus di Fakultas Ekonomi, saya di Fakultas Hukum.
Masih ada teman kami yang juga lulus lewat jalur PMDK di UNHAS, yakni Nur di Fakultas Ekonomi. Luar biasanya, pada angkatan 87 itu, tiga orang yang bebas tes masuk UNHAS dari SMA Negeri 2 Ambon, semuanya sekelas di IIIA3-1.
Tak dinyana, di lolasi KKN Desa Paria itu, saya dipertemukan kembali dengan Aida. Teman satu lokasi lainnya, yakni Herman, Petrus Paembonan (Fakultas Pertanian), Nisma, Ricky (Fakultas Teknik), dan teman lain yang saya lupa namanya, dari Sospol dan Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM). Oleh teman-teman saya dipercayakan sebagai Koordinator Desa (Kordes).
Kami menempati rumah berbeda selama KKN di Desa Paria, antara Februari hingga Maret 1992 itu. Saya dan beberapa teman menempati rumah Bidan Desa, yang punya seorang anak angkat usia sekira 4 atau 5 tahun. Rumah yang kami tempati itu berupa rumah batu permanen.
Sebagian teman tinggal di rumah Kepala Desa Paria, namanya Haji Bancing. Rumahnya bergaya tradisional, berupa rumah atas, dengan tangga batu yang sudah disemen. Rumahnya cukup rimbun, dengan tanaman buah maupun tanaman hias yang diletakkan di pot-pot dan ditata rapi.
Posisi kedua rumah ini berhadapan, hanya dibatasi oleh jalan raya. Rumah yang saya tempati merupakan Posko KKN untuk Desa Paria. Mungkin karena saya sebagai Kordes tinggal di situ hehehe.
Program yang kami buat, tak jauh-jauh dari kegiatan anak KKN di masa itu. Membuat papan potensi desa, nama-nama dusun, dan tugu jam desa. Papan informasi terkait penanaman mangrove juga kami kerjakan.
Papan edukasi β10 Program Pokok PKKβ yang ditulis di atas papan warna-warni serupa penunjuk arah, juga kami buat. Program-program PKK (Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga, dahulu singkatannya Pembinaan Kesejahteraan Keluarga) mencakup penghayatan dan pengamalan Pancasila, gotong-royong, pangan, sandang, perumahan dan tata laksana rumah tangga, pendidikan dan keterampilan, kesehatan, pengembangan kehidupan berkoperasi, kelestarian lingkungan hidup, dan perencanaan sehat.
Kerja bakti, membuat gorong-gorong dan duiker (dekker), juga menjadi program kami. Selain itu, diadakan pula seminar, dan ikut dalam aktivitas olah raga pemuda desa.
Di desa ini ada lapangan yang biasa digunakan oleh pemuda untuk bermain bola voli atau sepak takraw. Tidak selalu kami ikut bermain. Lebih sering sebagai penggembira saja.
Kegiatan ini penting dihadiri sebagai cara kami mendekati pemuda agar program-program yang kami kerjakan peroleh dukungan. Bersosialisasi dan berbaur dengan masyarakat tentu saja punya banyak manfaat.
Keahlian saya sebagai tukang bikin spanduk benar-benar bermanfaat selama KKN. Berbagai papan informasi dalam beragam ukuran saya kerjakan. Saya membuatnya di teras, di rumah Bu Bidan.
Untuk kegiatan ilmiah, kami mengadakan seminar pertanahan membahas hukum agraria. Persoalan-persoalan pertanian, pertambakan, dan pertanahan yang aktual saat itu dibahas.
Bila tiba waktu kerja bakti atau aktivitas yang menguras fisik, ada-ada saja teman yang punya alasan. Tentu disampaikan dengan gaya guyon.
Saya cukup toleran untuk urusan ini. Kompensasinya, yang tidak ikut kerja, akan membuatkan kami minuman.
“Nanti saya pi yang buatkan ki koktail buah,” begitu dalih seorang teman, yang lebih memilih membuatkan minuman daripada turun kerja fisik.
Di halaman depan rumah Pak Kades, memang banyak tumbuh buah. Ada pepaya, jambu biji, delima, dan lainnya.
Terasa bahwa walau kami baru bertemu di lokasi, kami cepat akrab sebagai satu almamater. Jaket dan topi KKN, dengan logo ayam jantan bertuliskan UNHAS jadi perekat kami satu sama lain.
Alasan izin pulang ke Makassar juga tak jauh-jauh dari itu. Bila waktu lowong, ada yang minta izin pulang sebentar. Begitu dia balik, dia membawa kue sekotak kaleng Khon Guan, tapi isinya baruasa, yang nanti dimakan ramai-ramai.
Suatu ketika, Ricky yang minta izin untuk ke Makassar. Teman-teman pun memesan macam-macam. Entah kesal atau sekadar bercanda, dia langsung bilang dalam logat Makassar.
“Takkala tokoku yang saya bawa ke sini,” kata Ricky dengan nada tinggi.
Tawa kami seketika pecah mendengar kalimat yang tidak terduga itu. Orang tua Ricky rupanya punya toko di Jalan Rappocini.
Ricky pun ke Makassar. Begitu kembali, dia membawa beberapa camilan dan majalah cerita Donald Duck lumayan banyak. Cerita tentang bebek sok tahu yang digambarkan suka mengenakan baju pelaut tanpa celana itu, merupakan salah satu karakter Disney, yang muncul pertama kali tahun 1934.
Kisah Donal Bebek ini terasa penuh drama, karena ada Paman Gober (Scrooge McDuck), yang kaya raya tapi pelit. Membaca tokoh-tokoh fiktif yang karikatural ini, tentu saja sangat menyenangkan dan bisa membunuh kebosanan.
Selama di lokasi KKN, kami pernah diajak warga ke tambak menangkap ikan bolu. Bahkan kami membakarnya di sana, menyantap ikan segar, dengan cabe yang kami petik dari situ pula. Tambak di desa ini mulai dikembangkan sejak tahun 1990an.
Rupanya, tidak semua peserta KKN bernasib mujur, mendapat lokasi yang bagus seperti kami di Paria. Jika sesama anak KKN bertemu, tak jarang keprihatinannya yang diceritakan.
Misalnya, ada teman yang curhat tentang menu makanan, yang hanya merasakan ikan segar bila hari pasar. Selebihnya, katanya, dia makan paku berkarat. Paku berkarat yang dia maksud, ternyata ikan teri kering hehehe.
Saling berbagi kisah dan dinamika di lokasi KKN terjadi bila kami berkunjung ke lokasi teman, atau teman yang ke desa kami. Dalam situasi bertemu di kampung orang ini, keriuhan pasti terjadi, layaknya saudara yang lama tak bertemu.
Situasinya kian seru saat kegiatan di kecamatan. Apalagi, kami mendapat kunjungan Rektor UNHAS, Prof Basri Hasanuddin. Kesempatan untuk berfoto bersama tak disia-siakan. Maklum, di kampus jarang bisa ketemu Rektor.
Pertemuan di kecamatan itu, saya berjumpa dengan Kordes-Kordes lainnya, seperti Mukhlis Amans Hady, Kordes Desa Kaballangang, Soewarno Sudirman, dan Mustafa Jallo. Koodinator Kecamatan (Korcam) Duampanua adalah Hasanuddin.
Mahasiswa KKN Gelombang 42 ini, ditarik lebih cepat dari jadwal yang semestinya. Namun, kami sempat merasakan berpuasa Ramadhan di lokasi KKN, di kampung orang.
Ketika berkemas-kemas, memasukkan pakaian dan perlengkapan ke dalam ransel, saya sempat bertanya ke Ricky, apakah dia mau membawa pulang cerita Donal Bebek-nya. Dia menggeleng, dan memberikan semua majalahnya itu kepada saya.
Majalah sebanyak lebih 30 eksemplar itu pun saya bawa pulang ke rumah sebagai oleh-oleh KKN hehehe. (*)
Makassar, 25 April 2025