KABARIKA.ID, JENEWA — Indonesia berperan aktifnya dalam rangkaian perundingan Perjanjian Pandemi WHO (WHO Pandemic Agreement) di Jenewa, Swiss, beberapa waktu lalu. Perjanjin Pandemi WHO tersebut telah disepakati di Jenewa oleh seluruh negara pada 16 April 2025 silam.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Informasi itu disampaikan oleh Kuasa Usaha Ad-Interim Perutusan Tetap RI (PTRI) Jenewa, Achsanul Habib, Minggu (4/05/2025).

Perjanjian Pandemi digagas akibat lemahnya aturan kesehatan internasional dalam menghadapi Pandemi Covid-19.

Perundingan telah berlangsung selama 13 putaran resmi dan puluhan pertemuan informal, sejak Februari 2022.

Kuasa Usaha Ad-Interim Perutusan Tetap RI (PTRI) Jenewa, Achsanul Habib (kedua dari kiri) bersama tim saat menghadiri perundingan Perjanjian Pandemi WHO di Jenewa, Swiss. (Foto: PTRI Jenewa)

Menurut Achsanul ada empat hal utama yang diajukan Indonesia pada Perjanjian Pandemi WHO tersebut.

Pertama, mendorong penguatan pencegahan, kesiapsiagaan, dan respon pandemi yang mengedepankan prinsip equity (keadilan) dan solidaritas global.

Kedua, mendorong ketersediaan vaksin, terapeutik, dan diagnostik yang lebih adil bagi negara berkembang.

“Termasuk pembentukan sistem Pathogen Access and Benefit Sharing (PABS) yang aman, akuntabel, dan transparan,” ujar Achsanul.

Ketiga, pembentukan jaringan rantai pasokan dan logistik global (GSCL).

“Ini akan memfasilitasi akses terhadap vaksin saat keadaan darurat pandemi,” kata Achsanul.

Keempat, mendorong komitmen terkait keadilan dalam penelitian dan pengembangan, diversifikasi produksi produk kesehatan, dan transfer teknologi.

Perjanjian Pandemi WHO selanjutnya akan diadopsi pada pertemuan ke-78 World Health Assembly di Jenewa, pada 19-27 Mei 2025.

Setelah itu dilanjutkan dengan pertemuan pendahuluan terkait sistem PABS pada September 2025.

“WHO Pandemic Agreement dapat diratifikasi setelah selesai keseluruhan pertemuan tersebut,” tandas Achsanul.

Sebuah Keputusan Bersejarah

Perjanjian Pandemi dikembangkan setelah lebih dari tiga tahun negosiasi di bawah naungan WHO.

Rancangan tersebut menguraikan kerangka kerja untuk memperkuat kolaborasi internasional, kesetaraan, dan ketahanan dalam menghadapi ancaman kesehatan global di masa depan.

Dirjen WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus (kanan) dan Ketua Bersama INB Anne-Claire Amprou dari Prancis memberikan aplaus saat berakhirnya negosiasi Perjanjian Pandemi WHO yang disetujui oleh semua negara peserta, pada Rabu dini hari (16/04/2025). (Foto: un.org)

Menurut Dirjen WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus, negara-negara di dunia membuat sejarah ketika Perjanjian Pandemi itu disetujui di Jenewa, pada Rabu, 16 April 2025.

“Dalam mencapai konsensus tentang Perjanjian Pandemi, mereka tidak hanya menerapkan kesepakatan antargenerasi untuk membuat dunia lebih aman. Mereka juga telah menunjukkan bahwa multilateralisme masih hidup dan baik-baik saja dan bahwa di dunia yang terpecah belah ini, negara-negara masih dapat bekerja sama untuk menemukan titik temu dan tanggapan bersama terhadap ancaman bersama,“ ujar Tedros.

Pendekatan Satu Kesehatan

Negosiasi dimulai pada Desember 2021 pada puncak Pandemi Covid-19 , ketika negara-negara anggota WHO sepakat tentang kebutuhan mendesak akan instrumen internasional yang mengikat secara hukum dan membentuk Badan Negosiasi Antarpemerintah (INB).

Prosesnya melibatkan 13 putaran negosiasi formal , banyak di antaranya diperpanjang hingga dini hari, dan berpuncak pada konsensus setelah sesi terakhir, pada Rabu, 16 April 2025.

Elemen utama dari perjanjian yang diusulkan meliputi komitmen terhadap pendekatan “Satu Kesehatan“ untuk pencegahan pandemi, sistem kesehatan nasional yang lebih kuat, pembentukan mekanisme keuangan yang terkoordinasi, dan penciptaan rantai pasokan dan jaringan logistik yang terkoordinasi secara global untuk keadaan darurat kesehatan.

Draf tersebut juga mengusulkan sistem akses patogen dan pembagian manfaat baru, peningkatan dukungan untuk transfer teknologi dan pengetahuan serta pengembangan kapasitas, dan menguraikan tenaga kerja darurat kesehatan nasional dan global yang terampil, terlatih, dan multidisiplin.

Kedaulatan Nasional Ditegakkan

Draf Perjanjian menegaskan kedaulatan nasional dalam keputusan kesehatan publik. Dinyatakan secara eksplisit bahwa tidak ada satu pun dalam perjanjian tersebut yang memberi wewenang kepada WHO untuk mengamanatkan tindakan kesehatan, seperti karantina wilayah, kampanye vaksinasi, atau penutupan perbatasan.

Draf tersebut sekarang akan diserahkan untuk dibahas dalam Sidang Umum Kesehatan Dunia ke-78 – forum tertinggi PBB untuk kesehatan global – yang akan dimulai pada 19 Mei mendatang.

Jika diadopsi, draf tersebut akan diratifikasi oleh masing-masing negara.

Amerika Serikat tidak berpartisipasi dalam putaran akhir negosiasi, setelah pengumuman pada bulan Januari lalu yang menyatakan menarik diri dari WHO, dan tidak akan terikat oleh pakta tersebut. (rus)