Oleh: Moch Hasymi Ibrahim, Budayawan

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Bagaimana pun, Fahmi Syariff adalah sebuah nama yang, seperti ungkapan Chairil Anwar, patut dicatat dan mendapat tempat. Kepergiannya menuju keabadian adalah kepergian kehilangan, terutama bagi dunia kesenian, khususnya teater di Sulawesi Selatan. Sebab bagaimana pun, Fahmi Syariff adalah salah satu tonggak penting bangunan teater kita di daerah ini.

Dunia teater, dunia akting dan panggung, bagi sebagian kita umumnya dipandang sebagai sebuah dunia main-main. Wilayah dimana orang-orang yang menghidupinya kerap dianggap kurang kerjaan, hanya cocok bagi anak-anak dan remaja mengasah bakat. Sama dengan bidang kesenian lainnya, teater selalu dianggap sebagai sesuatu yang tak memiliki kemanfaatan praktis dan karena itu bisalah dianggap hanya sebagai pelengkap dalam khasanah dan kehidupan sosial kemasyarakatan kita.

Ajaibnya, pandangan umum tersebut bertolak belakang dengan posisi ontologis teater yang sekujur tubuhnya dimuati filsafat, ide, pemikiran, sejarah dan merupakan sebuah disiplin yang agaknya lahir sejak manusia memperkembangkan peradaban.
Karya-karya teater dan teori-teori dasar yang menopangnya bahkan bisa ditelusuri sejak zaman Yuniani klasik. Tragefi Oedipus Rex, misalnya, lahir di Yunani melalui tangan Sophocles. Dan pada zaman yang lebih baru, abad pertengahan, kita mengenal Trilogi Hamlet, Romeo & Juliet, dari tangan William Shakespeare.

Ringkasnya, teater menurut Nirwan Dewanto, adalah tindak mencari, menemukan dan menyampaikan kebenaran dengan cara “berbohong”, akting dan panggung.

Jadi tentu saja dunia teater bukanlah dunia main-main. Sutradara Arifin C. Noer (alm) pernah secara berseloroh menyebut bahwa kalau teater adalah dunia main-main, mengapa banyak nama-nama besar justru melebur diri dan menggelutinya sepanjang hayat.

Di ranah itulah kiranya posisi hidup Fahmi Syariff patut diletakkan. Menggeluti teater sejak belia, dia dapat dipandang sebagai seorang yang total dan paripurna di sana. Fahmi adalah aktor, penulis naskah, sutradara, kritikus, dan pemikir teater yang pencapaiannya bisa jadi ada pada posisi terdepan. Hal ini bisa dilacak dari karya-karya monumentalnya seperti Datumuseng & Maipa Deapati, Karaeng Pattingalloang (dan trilogi Para Karaeng), makalah dan tulisan-tulisan akademiknya melalui jurnal-jurnal, ulasannya di koran-koran dan presentasinya dalam diskusi dan seminar, kuliah-kuliahnya di Fakultas Sastra Unhas, buku-buku yang ditulisnya, kerja penyutradaraannya dan lain-lain. Sepanjang hayat, hidup Fahmi Syariff tampaknya hanya diisi teater meski tentu saja dia adalah seorang dosen yang disegani.

Pada sisi ini pulalah, sebagai seorang yang total, tuntas dan habis-habisan pada disiplinnya itu, Fahmi Syariff dapat dipandang sebagai seorang pencinta yang keras kepala. Dia mencintai teater lebih dari segalanya, sehingga paras personanya adalah teater itu sendiri. Sehingga dengan sedih karena kepergiannya dapat dikatakan, bahwa Fahmi Syariff hanya jatuh cinta sekali dan selamanya. Cinta pertama dan terakhirnya adalah teater, dan karena itu cintanya memang keras kepala.

Atas dasar itulah, kepergian Fahmi Syariff menjadi kepergian kehilangan. Sekaligus pengukuhan bahwa dia adalah salah satu tonggak yang mengukuhkan bangunan teater kita di Sulawesi Selatan, setelah Rahman Arge dan Aspar Paturusi.

Selamat jalan, Kak Fahmi. Doa kami menyertai perjalanan kekalmu.

(Sumber: https://harian.fajar.co.id/2022/11/15/in-memoriam-fahmi-syariff-tonggak-kukuh-teater-kita/)