Oleh Mursalim Nohong
(Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Hasanuddin)
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
“Change is the only constant in life”
KABARIKA.ID–Begitu pernyataan Heraclitus, filsuf Yunani kuno yang sering dikutip untuk menegaskan bahwa perubahan merupakan bagian inheren dan tak terelakkan dalam dinamika kehidupan manusia.

Seiring perkembangan zaman, perubahan bahkan dipandang sebagai prasyarat bagi keberlangsungan individu, organisasi, dan bangsa.
Dalam era revolusi digital saat ini, perubahan menjadi semakin dipercepat oleh kemajuan teknologi, tekanan ekonomi global, serta transformasi nilai-nilai sosial.
Namun demikian, dalam praksis sosial-politik dan manajemen organisasi, perubahan tidak selalu hadir sebagai proses yang netral dan alamiah. Seringkali perubahan justru dikemas sebagai komoditas retoris — sebuah narasi yang digunakan untuk menggalang dukungan, melegitimasi kekuasaan, atau konstruksi dan pencitraan seseorang untuk sebuah keinginan berkuasa. Frasa “atas nama perubahan” menjadi pembungkus normatif bagi berbagai agenda yang tidak diiringi oleh pemahaman mendalam tentang konsekuensi perubahan tersebut.
Dalam literatur perubahan sosial dan organisasi, perubahan dipahami sebagai fenomena kompleks yang melibatkan interaksi dinamis antara struktur, aktor, norma, dan konteks kultural (Giddens, 1984; Greenwood & Hinings, 1996). Perubahan sejati memerlukan lebih dari sekadar slogan.
Tapi perubahan menuntut analisis kebutuhan komprehensif, kesiapan sistemik, serta keterlibatan aktif para pemangku kepentingan termasuk tentunya modal sosial yang dimiliki sebagai bekal dalam tahap implementasi dan pengukuran.
Sayangnya, dalam banyak kasus, perubahan yang dijanjikan atau didorong secara top-down tanpa pengelolaan proses yang memadai justru menimbulkan resistensi sosial, kegagalan implementasi, status quo baru atau bahkan disorientasi nilai.
Dalam dunia politik, perubahan seringkali dijadikan slogan utama dalam kampanye elektoral. Narasi perubahan diproyeksikan sebagai janji pembaharuan struktural dan perbaikan tata Kelola meskipun pada akhirnya tidak ada hal baru yang dilahirkan kecuali kendali kekuasaan karena memang pada prinsipnya didasari oleh keinginan berkuasa (nPow) sebagaimana dikemukakan oleh David C. McClelland (1961).
Namun, perubahan yang didorong tanpa basis analisis kebutuhan yang valid berisiko menjadi perubahan semu — sebuah “change for the sake of change”. Pada titik ini, perubahan direduksi menjadi komoditas retoris yang mengedepankan citra semata, alih-alih menghasilkan dampak substantif yang berkelanjutan.
Oleh karena itu, pendekatan akademik terhadap perubahan menuntut suatu kecermatan dalam membedakan antara perubahan yang bermakna dan perubahan yang bersifat superfisial. Kurt Lewin (1947) mengembangkan model three-step change process yang hingga kini menjadi referensi utama dalam manajemen perubahan organisasi yang efektif.
Model tersebut terdiri atas tahap unfreezing, change, dan refreezing. Pada tahap unfreezing, individu dan kelompok diajak untuk melepaskan pola pikir dan kebiasaan lama. Proses ini esensial dalam membangun kesadaran kolektif akan perlunya perubahan.
Tanpa unfreezing yang efektif, perubahan cenderung memunculkan resistensi. Pada tahap change, transformasi aktual dilakukan melalui pengembangan perilaku (karakter), prosedur, atau sistem baru. Akhirnya, tahap refreezing bertujuan memperkuat dan menstabilkan perubahan agar menjadi bagian integral dari budaya organisasi.
Perubahan bukanlah proses linier yang dapat dipaksakan secara top-down. Sebaliknya, perubahan merupakan fenomena kompleks yang memerlukan strategi komunikasi, pengelolaan dinamika sosial, dan penciptaan kondisi psikologis yang mendukung.
Dalam praktiknya, resistensi terhadap perubahan adalah sesuatu yang alamiah. Argyris (1991) menyoroti bahwa resistensi tidak semata-mata berasal dari ketakutan terhadap hal baru melainkan juga terkait dengan ancaman terhadap identitas, rasa memiliki, atau struktur kekuasaan yang ada.
Selain itu, pengalaman traumatik terhadap perubahan yang gagal masa lampau memperkuat sikap skeptis. Oleh karena itu, proses perubahan yang etis perlu mengedepankan transparansi, partisipasi bermakna, dan penghormatan terhadap aspirasi pemangku kepentingan.
Kecenderungan elit kekuasaan atau manajemen untuk mengusung perubahan demi memenuhi agenda politik atau kepentingan citra diri tanpa mengindahkan prinsip-prinsip tersebut justru dapat memicu disintegrasi sosial.
Dengan demikian, masyarakat akademik, praktisi kebijakan, maupun pemimpin organisasi perlu senantiasa menerapkan kecerdasan kritis dalam merespons narasi perubahan.
Perubahan sejati hendaknya diposisikan bukan sekadar sebagai strategi manajerial atau alat kampanye, melainkan sebagai proses transformatif untuk memperkuat nilai-nilai yang telah dibangun dan dibudayakan organisasi (budaya organisasi).
Untuk itu, para pemimpin perubahan perlu memiliki kualitas kepemimpinan transformatif yang berlandaskan integritas, empati, dan kompetensi bukan hanya basis kekuatan massa.
Sejarah telah memberikan banyak pelajaran bahwa perubahan yang dipaksakan tanpa kesiapan sosial dan budaya cenderung gagal atau bahkan menghasilkan disrupsi destruktif.
Sebaliknya, perubahan yang dibangun melalui dialog inklusif, partisipasi luas, dan pemahaman konteks yang memadai lebih berpeluang menciptakan transformasi berkelanjutan.
Ditengah derasnya arus globalisasi, disrupsi teknologi, serta pergeseran nilai-nilai masyarakat, kemampuan untuk memilah dan memilih perubahan yang benar-benar bermakna menjadi kompetensi yang sangat penting bagi warga negara yang berdaya dan pemimpin yang visioner.
Succes strory transformasi perubahan
Beberapa contoh sukses implementasi perubahan seperti Transformasi Bisnis PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom), Transformasi Digital di PT Bank BCA Tbk, dan Reformasi Pelayanan Publik di Pemkot Surabaya.
PT Telkom menghadapi disrupsi akibat menurunnya bisnis legacy (telepon rumah) dan ketatnya persaingan di layanan data dan broadband. Selain itu, meningkatnya dominasi over-the-top players (OTT) seperti WhatsApp dan Netflix memaksa Telkom untuk bertransformasi.
PT Bank Central Asia Tbk (BCA), sebagai salah satu bank swasta terbesar di Indonesia, menghadapi tantangan besar akibat disrupsi teknologi finansial (fintech). Munculnya layanan peer-to-peer lending, mobile payment, dan digital wallet mengancam model bisnis perbankan tradisional.
Transformasi perubahan di Pemerintah Kota Surabaya di awal 2000-an ketika Pemkot Surabaya menghadapi keluhan masyarakat terkait pelayanan publik yang lamban, tidak transparan, dan berpotensi korupsi.
Lesson learned dari PT. Telkom (Tbk), PT. Bank BCA (Tbk) dan Pemkot Surabaya adalah pertama, kepemimpinan visioner sangat menentukan keberhasilan perubahan, baik di sektor swasta maupun public.
Kedua, manajemen budaya organisasi harus berjalan seiring dengan perubahan proses dan teknologi. Ketiga, pelibatan pemangku kepentingan memperkuat tingkat penerimaan terhadap perubahan dan komunikasi yang konsisten untuk membangun kepercayaan dan mengurangi resistensi.
Bagi lembaga pendidikan tinggi, konteks perubahan atau transformasi perubahan paling tidak difokuskan pada transformasi kurikulum melaui outcome based education (kampus berdampak), Integrasi Soft Skills & Digital Literacy, dan Program Hybrid & Multidisiplin.
Digitalisasi proses pembelajaran melalui Learning Management System (LMS), pengembangan Massive Open Online Courses (MOOC),
Pemanfaatan artificial intelligence & data analytics. Penguatan tata kelola dan budaya organisasi dengan implementasi kepemimpinan transformasional, Pengembangan SDM adaptif, dan agile governance (Tata kelola yang lebih lincah dan adaptif dalam menghadapi dinamika eksternal).
Penguatan kemitraan dan keterlibatan industry dengan cara triple helix collaboration (Academia- Business-Government), penguatan program internship dan project-based learning, Pengembangan inkubator bisnis dan technopark. Program internasionalisasi dengan strategi penguatan jejaring global, peningkatan kualitas publikasi internasional, akreditasi internasional.
Peningkatan kualitas layanan mahasiswa dengan strategi student-centered services, digitalisasi layanan akademik dan non-akademik, dan penguatan mental health support. ***