KABARIKA.ID, JAKARTA – Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia menyaksikan pergeseran besar dalam pola konsumsi, dimana produk lokal tak lagi dipandang sebelah mata. Mulai dari industri kreatif, gaya hidup, hingga konstruksi, konsumen kini mulai memberi ruang bagi produk-produk lokal yang menawarkan keunikan, relevansi, dan kualitas yang semakin bisa diandalkan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Prinsip think globally, do locally pun menjadi fondasi dari cara baru dalam memilih produk: mengakar pada budaya sendiri, namun tetap menjawab ekspektasi dunia.

Perubahan ini terlihat jelas di keseharian kita. Cita rasa kopi lokal, misalnya, kini hadir di ratusan kedai yang tumbuh pesat di kota-kota besar sampai pelosok, kuat menentang dominasi kedai kopi internasional.

Bahkan nama-nama daerah seperti Gayo, Toraja, dan Kintamani bukan lagi sekadar destinasi, berubah menjadi identitas rasa kopi yang akrab di lidah banyak orang, sejajar dengan kopi dari dataran amerika selatan atau afrika. Dengan produksi mencapai 789.000 ton per tahun, Indonesia memang punya alasan kuat untuk membanggakan kopinya, tak hanya karena volume, tapi juga kisah dan karakter yang melekat pada setiap cangkirnya.

Aroma lain yang turut mengisi ruang gaya hidup lokal adalah wewangian. Indonesia adalah penghasil utama minyak nilam, bahan dasar dari sebagian besar parfum di dunia. Kini, bahan mentah ini tidak hanya dikirim keluar negeri, tapi mulai diracik oleh tangan-tangan kreatif di dalam negeri menjadi produk parfum lokal yang digemari.

Beberapa merek bahkan sudah mendapat tempat di hati konsumen muda, yang semakin sadar bahwa memakai parfum lokal bukan berarti mengorbankan kualitas atau prestise. Data dari laporan Populix tahun 2024 menunjukkan bahwa lebih dari 70% konsumen Indonesia kini memilih merek lokal untuk produk kecantikan dan perawatan diri, termasuk parfum, menandakan pergeseran preferensi yang semakin kuat terhadap produk dalam negeri.

Fenomena ini menunjukkan satu hal penting, dimana produk lokal kini hadir bukan karena “buatan sini,” tapi karena benar-benar bisa bersaing, dari sisi kualitas, desain, hingga pengalaman pengguna. Inilah bentuk nyata dari penerapan prinsip think globally, do locally yang mendorong merek-merek lokal naik kelas dengan percaya diri.

Perubahan pola pikir ini tak berhenti di industri gaya hidup. Bahkan dalam sektor konstruksi, prinsip yang sama mulai terlihat. Inovasi yang berangkat dari kebutuhan sehari-hari, namun dirancang dengan visi jauh ke depan.

Semen Merah Putih, misalnya, menghadirkan produk Watershield, semen pertama di Indonesia yang dilengkapi teknologi penahan air, water repellent. Formulanya dirancang sesuai untuk kondisi tropis yang lembap dan penuh tantangan. Hasilnya, bangunan jadi lebih terlindungi dari rembesan air dari semua sisi, tembok lebih halus, dan daya tahan lebih kuat.

Nyiayu Chairunnikma, Head of Marketing Semen Merah Putih, menyampaikan bahwa pendekatan ini lahir dari kesadaran bahwa standar global harus dimulai dari pemahaman lokal. “Kami tidak hanya membuat semen, kami merancang solusi. Inovasi Watershield lahir dari kebutuhan nyata masyarakat yang kami pastikan kualitasnya bisa bersaing di mana saja,” ujarnya.

Lebih dari sekadar produk, ini adalah cerita tentang bagaimana brand lokal mulai menyesuaikan diri dengan ekspektasi yang terus berkembang. Dan dari gaya hidup sampai infrastruktur, semua bergerak ke arah yang sama, yaitu berakar di dalam negeri, tapi dengan pandangan ke luar, sebuah penerapan nyata dari semangat think globally, do locally. (*)