Oleh : Amril Taufik Gobel

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

KABARIKA.ID, JAKARTA -Dalam keheningan fajar yang menyelimuti puncak Rinjani, ketika kabut masih memeluk lereng-lereng curam dan angin pegunungan berbisik pelan, muncullah seorang figur yang mengingatkan kita pada esensi terdalam kemanusiaan. Abdul Haris Agam–Alumni Universitas Hasanuddin jurusan Antropologi–, yang akrab dipanggil Agam Rinjani, telah menunjukkan kepada dunia bahwa keberanian sejati bukan terletak pada keinginan menjadi pahlawan, melainkan pada panggilan nurani untuk merespons penderitaan sesama tanpa memandang batas negara, suku, atau ras.

Kisah Juliana Marins, pendaki berusia 27 tahun asal Brasil yang terjatuh ke jurang sedalam ratusan meter di dekat Danau Segara Anak pada 21 Juni 2025, menjadi titik balik yang mengukir nama Agam dalam memori kolektif kita.

Ketika jenazah Juliana ditemukan tiga hari kemudian di kedalaman lebih dari 600 meter, di situlah Agam dan tim SAR Indonesia menunjukkan dedikasi yang tak tergoyahkan. Proses evakuasi yang memakan waktu berhari-hari dengan menggunakan teknik vertical rescue bukan sekadar operasi penyelamatan biasa, tetapi sebuah perwujudan nilai-nilai luhur kemanusiaan yang melampaui sekat-sekat geografis.

Saya memahami betul bahwa Rinjani bukan gunung yang mudah ditaklukkan. Medan yang ekstrem, cuaca yang tidak terprediksi, dan tebing-tebing curam yang menganga seperti mulut raksasa telah menelan banyak nyawa. Namun, di balik keganasan alamnya, Rinjani juga melahirkan sosok-sosok seperti Agam yang dengan keahlian dan keberanian luar biasa menjadi garda terdepan dalam setiap misi penyelamatan.

Tantangan yang dihadapi Agam dan tim SAR dalam evakuasi ini bukan hanya soal teknis semata. Jurang sedalam 600 meter dengan dinding tebing yang hampir vertikal mengharuskan mereka menggunakan peralatan khusus dan keahlian vertical rescue yang mumpuni.

Cuaca ekstrem di ketinggian, risiko longsor, dan kondisi medan yang tidak stabil menjadi ancaman konstan bagi setiap anggota tim. Yang lebih menantang lagi adalah faktor psikologis, di mana mereka harus bekerja dengan jenazah dalam kondisi yang mengenaskan, bermalam di dasar jurang yang dingin dan gelap, sambil mempertaruhkan nyawa mereka sendiri.

Agam, yang telah berpengalaman bertahun-tahun sebagai pemandu lokal (di masa mahasiswa aktif di Korps Pencinta Alam atau Korpala Unhas)  dan mendapat penghargaan nasional pada 2024 atas kontribusinya dalam vertical rescue di kawasan Rinjani, menunjukkan profesionalisme yang luar biasa. Keputusannya untuk turun langsung ke dasar jurang bersama tiga rescuer lainnya dan bermalam dengan jenazah Juliana bukan sekadar tugas profesional, tetapi panggilan kemanusiaan yang mendalam. Dalam kondisi yang sangat berisiko, di mana satu langkah salah bisa berakibat fatal, Agam tetap menunjukkan dedikasi yang tak tergoyahkan.

Respons dunia internasional, khususnya dari Brasil, terhadap aksi heroik Agam menunjukkan bahwa kebaikan masih memiliki kekuatan untuk menyatukan hati manusia lintas benua. Inisiatif donasi sebesar 1,5 miliar rupiah yang digalang melalui platform VOAA dan organisasi Razões para Acreditar merefleksikan penghargaan mendalam warganet Brasil terhadap pengorbanan Agam.

Meskipun kemudian donasi tersebut mengalami kontroversi dan sempat dibatalkan karena isu transparansi dan kritik dari tim SAR lainnya, esensi dari gesture tersebut tetap murni, yaitu rasa terima kasih yang tulus dari satu bangsa kepada sosok yang telah menyelamatkan salah satu putri mereka.

Dalam pernyataannya, Agam menegaskan bahwa dana tersebut akan digunakan untuk dua tujuan mulia: peningkatan perlengkapan evakuasi pendakian di Gunung Rinjani dan membantu keluarga-keluarga yang membutuhkan. Komitmen ini menunjukkan kematangan karakter dan visi ke depan yang tidak hanya memikirkan pengakuan personal, tetapi juga keberlanjutan upaya penyelamatan untuk masa depan.

Namun, di balik sorotan media dan pujian internasional, kita tidak boleh melupakan tantangan sistemik yang masih menghadang dunia SAR Indonesia. Keterbatasan peralatan, minimnya anggaran untuk pelatihan berkelanjutan, dan kurangnya standardisasi protokol evakuasi di medan ekstrem masih menjadi PR besar yang harus diselesaikan.

Agam dan rekan-rekannya bekerja dengan dedikasi tinggi meski seringkali dengan resources yang terbatas, mengandalkan keahlian personal dan pengalaman lapangan yang diperoleh melalui trial and error selama bertahun-tahun.

Ke depan, kisah Agam Rinjani harus menjadi momentum untuk meningkatkan kapasitas SAR nasional secara komprehensif. Investasi dalam peralatan canggih, pelatihan regular dengan standar internasional, dan pembentukan tim khusus untuk medan ekstrem seperti vertical rescue bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan mendesak. Setiap detik yang hilang dalam operasi penyelamatan bisa berarti perbedaan antara hidup dan mati, dan kita tidak boleh membiarkan keterbatasan teknis menghalangi misi kemanusiaan.

Selain itu, perlu juga dikembangkan sistem early warning dan edukasi yang lebih baik bagi pendaki, terutama wisatawan asing. Banyak tragedi yang sebenarnya bisa dicegah jika ada pemahaman yang lebih baik tentang kondisi cuaca, tingkat kesulitan jalur, dan protokol keselamatan. Rinjani, dengan segala keindahan dan tantangannya, harus tetap bisa dinikmati sambil meminimalkan risiko kecelakaan.

Refleksi mendalam tentang sosok Agam Rinjani mengajarkan kita bahwa heroisme sejati tidak selalu berupa tindakan spektakuler yang dipublikasikan luas. Seringkali, heroisme terwujud dalam dedikasi sehari-hari, dalam keputusan untuk tetap berkomitmen pada misi penyelamatan meski menghadapi risiko personal yang besar, dan dalam kerelaan untuk menempatkan keselamatan orang lain di atas kepentingan diri sendiri.

Dalam konteks yang lebih luas, kisah ini juga mengingatkan kita pada kekuatan diplomasi kemanusiaan. Di tengah dunia yang seringkali terpolarisasi oleh perbedaan politik, ekonomi, dan budaya, tindakan kemanusiaan seperti yang dilakukan Agam mampu membangun jembatan persahabatan antarbangsa. Brasil dan Indonesia, yang terpisah oleh samudra dan benua, kini terhubung oleh ikatan emosional yang terjalin melalui tragedi dan kepahlawanan.

Sebagai penutup tulisan ini, izinkan saya menyampaikan bahwa Agam Rinjani bukan hanya representasi individual dari keberanian dan pengabdian, tetapi juga simbol dari potensi terbaik bangsa Indonesia. Di tengah berbagai tantangan yang dihadapi negeri ini, masih ada sosok-sosok seperti Agam yang dengan tulus mengabdikan hidup mereka untuk melayani sesama. Mereka adalah penjaga nilai-nilai luhur kemanusiaan yang harus kita dukung, apresiasi, dan teladani.

Gunung Rinjani akan terus berdiri kokoh dengan segala misteri dan tantangannya. Dan selama masih ada sosok-sosok seperti Agam–pria asal Sulawesi Selatan– yang rela berkorban untuk keselamatan sesama, kita boleh yakin bahwa spirit kemanusiaan akan terus hidup di puncak-puncak tertinggi negeri ini.

Dalam setiap langkah pendakian ke depan, semoga nama Agam Rinjani dikenang bukan hanya sebagai seorang pahlawan, tetapi sebagai pengingat bahwa dalam setiap diri kita, tersimpan potensi untuk menjadi cahaya bagi sesama di saat-saat tergelap.

Penulis adalah Vice President Procurement EPC dan Investasi Divisi SCM PT.Nindya Karya Jakarta, Alumi Teknik Mesin Unhas angkatan 1989 serta mengasuh blognya di https://daengbattala.com/