PRESIDEN Jokowi telah menjalankan amanat pendiri negeri yang tercantum dalam konstitusi. Sebagai presiden dengan konstitusi yang mewajibkan siapapun presidennya untuk memimpin agenda menciptakan ketertiban dunia.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Oleh: Andi Zulkarnain (Sekretaris Duta Besar RI Untuk Kazakhstan & Tajikistan/Peneliti Sosok Jokowi/Alumni Unhas)

Presiden Jokowi meyakini bahwa jalur diplomasi bisa digunakan untuk mengurai persoalan di Benua Eropa tersebut. Pemegang mandat Presidensi G20 tersebut meneruskan apa yang dikatakan oleh Peu Ghosh bahwa diplomasi merupakan peradaban manusia yang sudah sangat tua.

Jika perang ini terus berlanjut, maka semakin banyak anak yang akan melewati tahap emas pertumbuhannya dalam suasana yang penuh teror, banyak negara yang akan menghadapi krisis pangan dan energi karena Rusia dan Ukraina merupakan pemasok penting pada kedua kebutuhan dasar tersebut.

Presiden Jokowi telah menjalankan tugas politik luar negerinya dengan sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.

Sebagai manusia. Beliau telah berusaha mendamaikan dua kelompok manusia yang bertikai.

Dengan kewenangan tertingginya untuk mewakili negara besar dengan 273 juta jiwa, serta secara simbolik sebagai Presidensi G 20 telah ikut bersikap dan bertindak bahwa perang itu tidak baik, kita harus berdamai agar lebih baik, dan siap menjadi jembatan agar ada gerak dari titik tidak baik menuju titik baik tersebut.

Untuk sikapnya itu, bukan hanya berakibat pengorbanan tenaga, beberapa agenda tertunda, tapi lebih jauh berpotensi kehilangan nyawa. Karena medan perang memiliki hukumnya sendiri.

Mengajak Ibu Iriana tentu memiliki risiko tambahan, sekaligus pesan simbolik yang kuat bahwa beliau datang untuk menyumbang “satu batu bata” dalam bangunan perdamaian kedua pihak.

Selanjutnya, himbauannya bisa didengar, bisa juga tidak. Namun yang lebih tinggi dari itu semua adalah beliau telah mengajarkan tentang tafsir politik bebas aktif, bagaimana cara kerja politik non-blok, tentang bagaimana menjadi tuan rumah yang baik, serta bagaimana menjadi pemimpin yang adil di komunitas internasional, seperti G20.

Beliau telah memberi contoh kepada 200-an kepala negara di dunia bahwa derita Ukraina adalah derita manusia. Semua harus terlibat aktif untuk mengakhiri derita tersebut.
Selanjutnya, beliau telah menggambarkan bahwa memang yang membedakan pemimpin dengan orang biasa adalah keberaniannya untuk mengambil resiko, termasuk resiko kehilangan nyawa.

Ini bukan yang pertama. Ketika banyak orang yang meragukan keamanan vaksin Covid-19, beliau sebagai kepala negara bersedia divaksin pertama kali dan ditayangkan secara langsung di televisi.

Ketika saya menceritakan hal tersebut kepada orang asing, mereka sangat kaget karena itu terlalu beresiko bagi seorang kepala negara. Di negaranya, cukup wakil menteri kesehatan yang yang tampil sebagai contoh, katanya.

Jauh sebelum menjadi politisi nasional, ketika beberapa walikota sebelumnya menghindari untuk menata Taman Banjarsari Solo, karena selalu ada ancaman dari PKL, maka Pak Jokowi sebagai walikota memberanikan diri melakukan relokasi melalui diplomasi meja makan sebanyak 54 kali. Pada akhirnya, relokasi 989 PKL di Taman Banjarsari ke Pasar Klithikan Notoharjo dilakukan melalui pesta adat yang dipimpin oleh Pak Jokowi.

Demikian pula, saat menjadi Gubernur DKI Jakarta, Pak Jokowi memberanikan diri untuk menata Pasar Tanah Abang yang waktu itu diketahui dikuasai oleh kelompok preman. Baginya, Pasar Tanah Abang merupakan bagian dari” wajah” Indonesia karena merupakan pasar tekstil terbesar di Asia Tenggara.

Dalam riset saya tentang fenomena politik Jokowi, termasuk saat berdiskusi langsung dengan ibunda beliau di rumahnya di Solo, saya menemukan beberapa catatan, dari mana beliau menemukan nyali di atas rata-rata tersebut. Nyali tersebut merupakan salah satu “koenci” yang membedakannya dengan ribuan politisi lainnya. (*)

https://www.asiayouthinfo.com/diplomasi-jokowi/