Oleh Ana Mustamin
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Lily Yulianti Farid berpulang. Ia menghembuskan nafas terakhir di RS Peter MacCallum Cancer Center di Melbourne pada Jumat 10 Maret 2023 pukul 01.00 dini hari.
Kabar itu membuat saya terhenyak, dan terisak. Betapa tidak. Buat saya, Lily adalah sahabat dan adik sekaligus. Ia dulu junior saya di penerbitan kampus IDENTITAS Universitas Hasanuddin, Makassar. Adik yang mengesankan, karena selama kuliah, dia adik yang paling cerdas yang pernah saya kenal. Teman diskusi yang selalu mencerahkan.
Kenangan dengan Lily berlarian. Seperti film yang diputar ulang.Tiga dekade silam, kami adalah karib yang menghabiskan waktu berjam-jam ngobrol berdua di kamar. Sesekali Azhariah Rahman dan Anil Hukma, sahabat yang juga penyair perempuan Makassar, ikut nimbrung. Kami reriungan, bicara tentang cita-cita masa depan, dan menertawai kekonyolan-kekonyolan yang kerap kami jumpai dari kaum kami, sesama perempuan.
Satu yang disembunyikan Lily ke saya, adalah ketika ia jatuh cinta ke Farid Ma’ruf Ibrahim. Tapi kemudian tersipu-sipu ketika akhirnya mengakui mereka pacaran (dan akhirnya menikah). Di sela-sela waktu luang, saya dan Lily kerap bermain piano bersama. Lily mahir memainkan alat musik ini, sementara saya adalah pembelajar musik yang bebal.
Saya dan Lily dipersatukan oleh hobi yang sama. Kami sama-sama menulis cerpen di usia dini, SMP. Saya tentu lebih dulu menulis, karena Lily waktu itu mengaku salah satu pembaca intens tulisan-tulisan saya. Dan kami bisa saling mengenal, karena Lily melacak jejak saya di kampus. Mungkin karena di Makassar saat itu tidak banyak penulis perempuan yang bisa menembus media massa nasional.
Meski demikian, saya diam-diam juga adalah penggemar cerpen-cerpen Lily. Tulisan-tulisannya satir. Kalimat-kalimatnya jenaka, ngeledek, tapi menohok. Imajinasinya liar. Pilihan katanya sering tak terduga. Ia bisa marah melihat perilaku tercela politisi melalui proses pembuatan roti di dapur, misalnya.
Lily memperkenalkan jurnalisme warga di Makassar melalui kanal “panyingkul”, ketika belum banyak orang mengembangkan situs berita yang diinisiasi warga. Tulisan-tulisan di Panyingkul cukup bernas, dan saya kira banyak penulis muda Makassar yang lahir dari situ.
Ketika Lily menggagas Makassar International Writer Festival (MIWF) dan Rumata Art Space, ia mengirim email yang cukup panjang ke saya. Ia sebetulnya berharap saya ikut terlibat secara serius di program tersebut. Ia mengabari Riri Riza, partner Lily di Rumata Art Space. Dan saya sempat berdiskusi panjang dengan Riri, sang sutradara yang juga punya idealisme sama untuk mengembangkan ruang kreatif di kampung halamannya.
Sayang waktu itu saya masih sangat disibukkan dengan pekerjaan kantor dan konsentrasi merawat ibu yang sakit. Karir saya di industri keuangan sedang bagus-bagusnya. Aktivitas menulis menjadi urusan ke sekian dalam agenda saya. Namun demikian, Lily tetap berharap saya hadir di perhelatan MWIF, dan saya akhirnya benar-benar datang sebagai salah satu narasumber di perhelatan perdana MIWF.
Sejak saya menetap di Jakarta tahun 1997 dan Lily memilih berdiam di Tokyo dan akhirnya ke Melbourne, kami jarang berkomunikasi. Saya hanya mengikuti aktivitas Lily melalui media sosial. Ia aktivis perempuan yang sayapnya lebar. Ia terbang dari satu negara ke negara lain dengan berbagai kepentingan. Meski demikian, Lily sesekali mengirim kabar ke saya. Aktivitas-aktivitas penting di Jakarta, tetap dia kabarkan ke saya. Termasuk ketika ia meluncurkan kumpulan cerpennya, “Ayahmu Bulan, Engkau Matahari”.
Terakhir, dua tahun silam, saya mengontak Lily untuk menulis di MAJAS, majalah sastra yang saya gagas dengan sejumlah kawan sastrawan. Saya juga meminta Lily untuk memberi kesan pada video memoar yang saya produksi di kanal youtube mengenang berpulangnya penyair besar Sapardi Djoko Damono. Lily mengirim video panjang, ia adalah pengagum berat SDD.
Semua tampak baik-baik saja dari kejauhan. Siapa mengira bahwa Lily akhirnya harus berjuang melawan kanker. Padahal bertahun-tahun sebelumnya ia termasuk penyemangat saya dari jauh untuk penyakit sama dengan jenis berbeda.
Selamat jalan, adikku. Engkau sudah melakukan banyak hal untuk mewarnai hari-hari kita sebagai perempuan dan penulis. Banyak hati yang mengenangmu. Dengan cinta yang hangat, tentu. Termasuk saya.
Selamat beristirahat panjang. Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun