ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Oleh Khusnul Yaqin
(Dosen Senior Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Unhas)

 

Rasulullah SAW bersabda bahwa berpuasalah agar kamu memperoleh kesehatan. Tentunya kesehatan yang dimaksud Nabi Muhammad SAW adalah kesehatan yang multidimensi. Ia adalah kesehatan jasadi, tetapi juga ia adalah kesehatan rohani. Ia bukan sekadar kesehatan individu, tapi ia adalah kesehatan komunitas bahkan kesehatan lingkungan. Kesehatan jasad atau materi tanpa kesehatan rohani adalah nonsense. Kesehatan individu tanpa kesehatan lingkungan adalah lelucon yang tidak berharga.

Teks-teks suci Islam yang bersumber pada al Qur’an dan al Hadist banyak menyebutkan tentang pentingnya menjaga kesehatan individu sebanyak penyebutan tentang pentingnya penjagaan kesehatan lingkungan. Pada saat al Qur’an memerintahkan kita untuk makan dan minum tanpa berlebihan, al Qur’an juga menyebut janganlah membuat kerusakan di atas bumi. Di sisi lain Nabi SAW memerintahkan kita untuk menjaga lingkungan meskipun satu hari lagi dunia akan kiamat.

Nabi suci Islam itu bersabda, “Tanamlah biji kurma meskipun engkau mengetahui satu hari lagi dunia akan kiamat”.

Dalam berpuasa Rasulullah mengajarkan kepada kita agar tidak sekadar memindahkan waktu makan, dari siang hari ke malam hari. Orang yang berpuasa model seperti itu disebut oleh Nabi Muhammad SAW sebagai manusia yang berpuasa hanya memperoleh lapar dan dahaga. Puasa yang diajarkan oleh Rasulullah adalah puasa yang menjadi sarana untuk belajar memutus hubungan antara rohani kita dengan hal-hal yang bersifat profan dari materi.

Lapar dan haus di siang hari menjadi semacam ekperimentasi untuk membuktikan bahwa rohani kita tidak serta-merta niscaya butuh secara mutlak dengan materi. Pada saat yang sama puasa adalah latihan bagi rohani kita untuk meretas hubungan dengan materi sedemikian sehingga kita menyadari bahwa rohani kitalah yang mengendalikan materi.

Selanjutnya munajat di malam hari pada bulan Ramadan adalah momen paling tepat untuk menyambungkan dan mengikatkan diri pada Zat yang menjadi sumber dari segala sumber di alam semesta ini, yaitu Allah Rabbul ‘Aalamiin. Allah Swt berfirman : “Dan sesungguhnya mengingat Allah adalah lebih besar keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain”. (QS. Al Ankabut [29]: 45).

Dalam pandangan Islam materi menjadi semacam enzim untuk mempercepat proses keterikatan kita sebagai makhluk dengan Allah Swt. Selayaknya enzim, ia ikut dalam proses kimiawi, tetapi ia tidak ikut sebagai produk proses kimiawi itu. Materi akan kita tinggalkan ketika kita sudah menjadi manusia yang berketuhanan (Insan kamil).

Sejauh kita masih dalam bayang-bayang materi, sejauh itu kita masih dalam proses bergelut dengan enzim atau materi. Proses enzimatik itu boleh jadi gagal atau berhasil. Ia berhasil ketika didukung oleh faktor exo– dan endogenous. Kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya yang secara fitrawi ada di dalam diri setiap makhluk adalah faktor endogenous dan momentum Ramadan adalah faktor exogenous. Ia akan menemui kegagalan ketika cinta suci itu sudah tipis bahkan sirna di dalam diri dan momentum Ramadan disia-siakan.

Ramadan menjadi sia-sia ketika ia menjadi sarana mengumbar hawa nafsu dan memupuk gengsi. Ramadan menjadi tidak berarti ketika ia dikapitalisasi dengan persiapan buka yang melebihi takaran normal. Ramadan menjadi tanpa makna ketika ia dipolitisir dengan pengajian-pengajian yang sekadar mengumbar gengsi bahwa kita seolah-olah telah mengisi Ramadan dengan sesuatu yang positif.

Ramadhan menjadi keliru ketika ia dipersiapkan untuk mengkapitalisasi lebaran dengan berbagai acara hura-hura. Akan tetapi Ramadan menjadi bernas, ketika ia dijadikan sarana untuk meretas keterikatan rohani kita dengan sesuatu yang berbau materialisme dan egosentrisme.

Rasulullah berpesan kepada kita agar memosisikan diri seperti orang sakit yang berhadapan dengan sejumlah makanan yang menggairahkan selera makan ketika kita berpuasa. Itulah cara latihan yang paling jitu agar kita bisa terbebas dari materialitas.

Memperindah Bumi dengan Puasa

Salah satu penyebab serius dari kerusakan lingkungan adalah keserakahan manusia. Perairan dieksploitasi tanpa mengindahkan kaidah ekologis hingga overfishing. Hutan digunduli tanpa ampun. Mineral dan barang tambang lainnya seperti emas, perak, tembaga, nikel dan minyak bumi dikeruk dan disedot tanpa batas dan digunakan untuk menyuplai kebiasaan-kebiasan hedonis.

Dengan puasa, kita diingatkan bahwa perilaku-perilaku berlebihan tidak hanya akan merusak lingkungan, tetapi juga menjauhkan rohani kita dari ujung perjalanan kita, yaitu Allah Swt. Semakin jauh kita dari ujung perjalanan itu semakin sengsara kehidupan kita dalam pengertian yang sebenarnya. Orang yang mencari selain Allah Swt di dunia ini akan semkain kelelahan dan sengsara.

Selanjutnya puasa mengajarkan kepada kita agar kita menggunakan sumber daya alam seperlunya sebagaimana dikonseptualisasi dalam kaidah-kaidah ekologis.

Al Qur’an mengajarkan kepada kita agar makan dan minumlah tanpa berlebihan (QS 6: 141, 7:31). Spirit dasar dari puasa adalah agar manusia terhindar dari berlebih-lebihan yang datang beriringan dengan keserakahan. Puasa adalah latihan bagi manusia untuk mengendalikan nafsu memamabiak dan birahi agar berada pada titik kontrol untuk dapat digunakan sebagai cara mendekatkan diri kepada Sang Pecipta.

Di samping itu, puasa adalah upaya pembentukkan karakter mulia agar kita dapat menghindari dengan kekuatan maksimal karakter-karakter buruk seperti, dengki, tamak, serakah, sombong, pemarah dan yang lainnya yang semuanya itu akan merusak diri manusia dan lingkungannya.

Makan dan minum adalah salah satu cara kita untuk mempertahankan hidup. Tubuh kita membutuhkan nutrisi untuk proses metabolisme, sedangkan nutrisi itu berasal dari makanan dan minuman kita.

Oleh karena itu, Allah menyuruh kita untuk makan dan minum, akan tetapi melarang kita makan dan minum secara berlebihan atau mubazir. Makan dan minum secara berlebihan akan mendorong kita untuk masuk dan tersedot dalam dimensi setan. Al Quran mnyebut bahwa orang-orang yang mubazir adalah saudaranya setan.

Kata saudara dalam bahasa Indonesia berasal dari kata seudara. Artinya orang-orang yang berlebih-lebihan atau mubazir menjadi satu atmosfir atau seudara dengan setan. Pekerjaan-pekerjaan setan selalu berkaitan dengan kemubaziran dan kemubaziran adalah sumber bencana dan kerusakan di alam semesta.

Mengapa ikan-ikan di perairan menjadi punah atau overfishing? Mengapa bahan pencemar mencemari tanah, air dan udara? Mengapa hutan-hutan menjadi gundul yang kemudian menimbulkan banjir dan tanah longsor? Mengapa kebakaran hutan terjadi dan menimbulkan pencemaran udara dan bencana ekologis lainnya?

Jawabannya satu. Semua itu karena ulah keserakahan, keberlebih-lebihan dan kemubaziran yang dilakukan manusia. Puasa diwajibkan oleh Allah Swt untuk mengikis semua karakter itu yang pada muaranya manusia yang berpuasa akan memperoleh karakter tertinggi kemanusiaan, yaitu takwa (insan kamil).

Oleh karenanya sekiranya ajaran puasa di bulan Ramadan ini dijalankan dengan sungguh-sungguh dan maksimal oleh kaum muslimin, maka kita tidak akan melihat lagi eksploitasi alam oleh manusia hanya untuk memenuhi simbolitas berlebaran yang sangat materialistis dan konsumeristis.

Hasil akhirnya, laku puasa yang dijalankan dengan benar dan maksimal justru akan menjadi spirit aktivitas antropogenik dengan paradigma memperindah bumi (memayu hayuning bawono). Bumi tidak hanya lestari tetapi justru akan menjadi lebih indah dan sempurna dengan laku puasa makhluk yang secara potensial paling sempurna di bumi, yaitu manusia.