Oleh Ahmad Musa Said
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Allah memerintahkan kepada umat Islam untuk menetapi jamaah (kesatuan) dan melarang mereka bercerai-berai. Banyak dalil yang isinya melarang bercerai-berai dan memerintahkan untuk bersatu dan rukun.
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعاً وَلا تَفَرَّقُوا
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai-berai. (Q.S. Ali Imran: 103)
Dalam kitab Sahih Muslim Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
إِنَّ اللَّهَ يَرْضَى لَكُمْ ثَلَاثًا، وَيَسْخَطُ لَكُمْ ثَلَاثًا، يَرْضَى لَكُمْ أَنْ تَعْبُدُوهُ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا، وَأَنْ تَعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا، وَأَنْ تُنَاصِحُوا مَنْ وَلَّاهُ اللَّهُ أَمْرَكُمْ، وَيَسْخَطُ لَكُمْ ثَلَاثًا: قِيلَ وَقَالَ، وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ، وَإِضَاعَةَ الْمَالِ
Sesungguhnya Allah rida kepada kalian dalam tiga perkara dan murka kepada kalian dalam tiga perkara. Allah rida kepada kalian bila kalian menyembah-Nya dan kalian tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun, bila kamu sekalian berpegang teguh kepada tali Allah dan tidak bercerai-berai, dan bila kalian saling menasihati dengan orang yang dikuasakan oleh Allah untuk mengurus perkara kalian. Dan Allah murka kepada kalian dalam tiga perkara, yaitu qil dan qal (banyak bicara atau berdebat), banyak bertanya dan menyia-nyiakan (menghambur-hamburkan) harta (HR. Muslim).
Dalam hadits tersebut jelas tercantum bahwa ALLAH SWT ridha ketika kita bersatu serta saling menasihati terhadap ulil amri dan murka ketika kita banyak berdebat. 3 poin ini yang menjadi fokus utama kami dalam mengkaji perbedaan metode penetapan awal Ramadhan dan Syawal di negeri ini.
Seperti kita ketahui, sejak almarhum Soeharto (presiden ke-2 RI) tidak berkuasa lagi, seringkali terjadi perbedaan awal Ramadhan dan Syawal di negeri ini, bahkan tahun lalu terjadi perbedaan waktu pelaksanaan Idul Adha di mana pemerintah mengumumkan bahwa pelaksanaan shalat Idul Adha di negeri ini dilakukan 2 hari (Ahad) setelah jamaah Haji melakukan Wuquf di Arafah (Jum’at).
Perbedaan ini dapat diterima oleh sebahagian orang yang memahami akan landasan dari kedua metode ini. Namun di masyarakat, kerap menjadi perdebatan yang tak kunjung habisnya. Kami tidak akan mendalami diskursus keduanya namun memikirkan bagaimana mencari jalan tengah agar umat lebih fokus pada ibadahnya dibanding berdebat masalah waktunya.
Kembali menilik ketika era almarhum Soeharto masih berkuasa, tidak pernah terjadi perbedaan dan perdebatan terkait waktu pelaksanaan hari raya dan puasa. Jauh-jauh hari pemerintah telah mentapkan tanggal merah dan tidak pernah bergeser tanggal merah tersebut. Meskipun untuk menjaga kemungkinan diberi 2 tanggal merah, namun semua umat Islam di Indonesia serempak menjalankan ketetapan pemerintah dan tidak ada yang berbeda.
Di sinilah kami ingin menekankan bahwa peran pemerintah dalam menghindarkan perbedaan ini sangat penting. Memang ada dalil yang menegaskan bahwa umat harus taat pada ulil amri (pemerintah), namun hari ini, pemerintah membolehkan dan mempersilakan bagi yang ingin berbeda dari pemerintah, maka mereka yang melaksanakan berbeda tidak dapat dihukumi sebagai pembangkangan terhadap pemerintah.
Olehnya, dalam diskusi terkadang kami melontarkan candaan, bahwa kalau kami yang jadi menteri agama, kami akan mengeluarkan kebijakan bahwa tidak boleh ada yang berbeda dalam melaksanakan shalat ied dan awal puasa Ramadhan. Tentunya ini terkesan otoriter, namun dapat dibijaksanai dengan mengakomodir kedua metode, misalnya untuk tahun 2023, penetapannya ditentukan dengan metode hisab dan tahun 2024 dilakukan dengan metode rukyah dan seterusnya bergantian.
Hal ini mungkin dianggap tidak konsisten, namun dalam penerapan fiqih, penerapan faham yang berbeda secara selang seling dapat dilakukan agar menghindari fitnah. Seperti yang dilakukan oleh Imam As Sudays (imam masjidil haram) yang menjaharkan bacaan basmalahnya ketika memimpin shalat jamaah di Indonesia yang mayoritas muslim penganut mazhab syafi’i.
Seperti bunyi kaidah fiqih,
دَرْءُ الْمَفَاسِدِ اَوْلَى مِنْ جَلْبِ الْمَصَالِحِ
Mencegah kejahatan / kerusakan (mafsadah) lebih didahulukan daripada mewujudkan kemaslahatan
Mencegah perpecahan yang berbuah perdebatan tak kunjung henti mesti diutamakan dibanding istiqamah bertahan dengan pendapat masing-masing yang dianggap benar. Biarlah diskursus tersebut berlangsung alot di lingkup Majelis Ulama Indonesia (yang karena diisi oleh orang-orang alim dan faqih biasanya justru tidak terlalu memperdebatkan perbedaan seperti hisab dan rukyah ini), dan umat dibiarkan tenang dan khusyu’ bersatu dalam menjalankan ibadah. Dengan ini ridha ALLAH SWT seperti dalam hadits di atas tadi dapat dicapai dengan bersatu dan menghindari perdebatan tak berujung.
Akhirnya, di 29 Ramadhan ini, kami ingin menyampaikan TaqabbalaLLAAHU minnaa wa minkum, kullu ‘aamin wa antum bikhayr. Selamat hari raya idul Fithri, kapanpun anda merayakannya. Aamiin yaa rabbal ‘aalamiin.
Penulis adalah peneliti di BRIN, pengurus Divisi Keagamaan PP IKA UNHAS, Korps Muballigh Muhammadiyah – Kota Depok, Wadah Silaturrahim Alumni (Wasilah) Pendidikan Kader Ulama – MUI Kota Depok, Majelis Nasional KAHMI 2022–2027.