KABARIKA.ID, MAKASSAR – Sekelompok menteri luar negeri Liga Arab menggelar pertemuan penting di Amman, Yordania, pada Senin (1/05/2023), untuk membahas syarat diterimanya kembali Suriah di kalangan negara-negara Arab.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Hal itu menjadi bagian dari penyelesaian konflik politik di Suriah yang telah berlangsung lebih dari satu dekade.
Pembicaraan yang diprakarsai oleh menteri luar negeri Yordania itu dihadiri oleh sejawatnya dari Suriah, Arab Saudi, Irak, dan Mesir.
Pembicaraan itu merupakan yang pertama antara pemerintah Suriah dan sekelompok negara Arab, sejak keputusan untuk menangguhkan keanggotaan Suriah dalam organisasi regional Liga Arab pada 2011, setelah Presiden Bashar al-Assad melakukan tindakan keras terhadap protes atas pemerintahannya.
Pertemuan tersebut dilakukan dua minggu setelah pembicaraan di Jeddah, Arab Saudi, antara Dewan Kerja Sama Teluk serta Mesir, Yordania, dan Irak gagal mencapai kesepakatan tentang kemungkinan kembalinya Suriah ke pangkuan Arab.
Juru bicara Yordania mengatakan, pertemuan itu merupakan tindak lanjut dari pembicaraan dengan negara-negara Teluk Arab, Yordania, Irak dan Mesir yang berlangsung di Arab Saudi bulan lalu.
Juru bicara itu menambahkan bahwa negara-negara tersebut ingin membangun kontak dengan pemerintah Suriah dan membahas prakarsa Yordania.
Yordania telah meminta Suriah untuk terlibat dengan negara-negara Arab bersama-sama dalam membuat peta jalan, langkah demi langkah untuk mengakhiri konflik, menangani pengungsi, tahanan, penyelundupan narkoba dan milisi yang didukung Iran di Suriah, yang semuanya memengaruhi tetangganya.
Menurut Kementerian Luar Negeri Yordania, sebelum para menteri luar negeri Suriah, Mesir, Irak, Arab Saudi, dan Yordania duduk untuk berunding di Amman, Menteri Luar Negeri Suriah Faisal Mekdad telah bertemu secara bilateral dengan mitranya dari Yordania, Ayman Safadi.
Mereka membahas pengungsi, masalah air, dan keamanan perbatasan, termasuk perang melawan penyelundupan narkoba.
Amman telah memerangi kelompok bersenjata yang menyelundupkan narkotika dari Suriah, termasuk captagon amfetamin yang sangat membuat ketagihan. Yordania adalah tujuan sekaligus rute transit utama ke negara-negara Teluk yang kaya minyak untuk captagon.
Suriah dikucilkan oleh pemerintah negara-negara Arab karena penindakan brutal pemerintahan Presiden Bashar al-Assad terhadap demonstran, dalam pemberontakan tahun 2011 yang kemudian berubah menjadi perang saudara.
Namun dalam beberapa tahun ini, sewaktu Assad mengonsolidasikan kontrol atas sebagian besar wilayah negara itu, negara-negara tetangga Suriah mulai mengambil langkah ke arah pemulihan hubungan.
Langkah ini mengalami kemajuan pesat setelah gempa bumi dahsyat di Turkiye dan Suriah pada Februari lalu, dan dibangunnya kembali hubungan antara Arab Saudi dan Iran yang diprakarsai oleh China. Kedua negara itu telah mendukung pihak yang berlawanan dalam konflik.
Baru-baru ini, Arab Saudi, yang sebelumnya mendukung pemberontak Suriah, mengubah sikapnya terhadap pemerintahan al-Assad, dan mendorong negara-negara tetangganya untuk mengikuti sikap tersebut.
Menteri Luar Negeri Saudi Pangeran Faisal bin Farhan, mengunjungi Damaskus bulan lalu untuk pertama kalinya sejak kerajaan itu memutuskan hubungan diplomatik dengan Suriah lebih dari satu dekade silam.
Negara-negara Arab dan negara-negara yang paling terkena dampak konflik Suriah mencoba untuk mencapai konsensus tentang apakah akan mengundang al-Assad ke KTT Liga Arab pada 19 Mei mendatang di Riyadh.
KTT Liga Arab itu akan membahas langkah normalisasi hubungan dengan al-Assad dan dengan syarat apa Suriah dapat diizinkan kembali.
Korban Sipil dan Pengungsi
Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) dalam laporannya menyebutkan, 10 tahun pertama konflik Suriah, yang pecah pada 2011, telah menewaskan lebih dari 300.000 warga sipil.
Konflik Suriah bermula ketika terjadi pemberontakan damai antipemerintah yang pecah pada Maret 2011 di sejumlah kota di Suriah, untuk menuntut reformasi demokrasi.
Konflik itu menyusul protes Arab Spring di Mesir, Tunisia, Yaman, Libya, dan Bahrain yang menyingkirkan beberapa pemimpin Arab yang telah berkuasa selama beberapa dekade.
Namun, konflik itu dengan cepat berubah menjadi perang saudara besar-besaran yang menewaskan ratusan ribu jiwa dan menghancurkan sebagian besar infrastruktur dan perekonomian negara.
Laporan yang dirilis oleh Kantor Hak Asasi Manusia PBB menyebutkan, 306.887 warga sipil diperkirakan tewas di Suriah dalam rentang waktu 1 Maret 2011 hingga 31 Maret 2021, tepat 10 tahun meletusnya konflik yang brubah menjadi perang saudara.
Kantor Hak Asasi Manusia PBB menyebut laporan itu sebagai penilaian yang ketat dan analisis statistik dari data yang tersedia tentang korban sipil.
Angka-angka yang dikeluarkan oleh PBB itu tidak termasuk tentara dan pemberontak yang tewas dalam konflik, jumlah mereka diyakini mencapai puluhan ribu jiwa.
Jumlah tersebut juga tidak termasuk orang yang dibunuh dan dikuburkan oleh keluarga mereka tanpa memberitahu pihak berwenang.
Selain korban di pihak penduduk sipil, soal pengungsi juga menjadi masalah pelik dari konflik Suriah.
Satu dekade setelah berlindung di Yordania, harapan para pengungsi Suriah untuk tanah air yang bebas dan demokratis tetap menggantung di awang-awang.
Saat konflik Suriah memasuki tahun ke-11, keputusasaan membayangi para pengungsi, sementara krisis terus berlanjut.
Konflik bersenjata antara rezim al-Assad dan kelompok oposisi yang bergabung di bawah bendera Tentara Pembebasan Suriah (FSA) bermula pada 2012.
Menurut badan pengungsi PBB, UNHCR, ada sekitar 6,6 juta warga Suriah terpaksa meninggalkan negaranya untuk mengungsi di negara tetangga, seperti Yordanian dan Turkiye. Sebelum konflik terjadi penduduk Suriah tercatat sekitar 23 juta jiwa.
Yordania yang berbagi perbatasan sepanjang 375 kilometer dengan Suriah, menampung sekitar 1,4 juta warga Suriah, hampir setengah dari mereka terdaftar sebagai pengungsi di UNHCR. (rus)