KABARIKA.ID, JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 tetap menggunakan sistem proporsional terbuka. MK menolak permohonan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang diajukan sejumlah pihak.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

“Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Anwar Usman saat membacakan Putusan Perkara Nomor 114/PUU-XX/2022, perihal Pengujian Marteriil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, di Ruang Sidang Pleno Gedung MK lantai 2, Jakarta, Kamis (15/6/2023).

“Pokok permohonan pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya,” ujar Ketua MK Anwar Usman.

Permohonan uji materi kepada MK diajukan pada 14 November 2022 oleh lima orang yang keberatan dengan sistem proporsional terbuka. Mereka menginginkan Pemilu menerapkan sistem proporsional tertutup.

Para pemohon terdiri dari Demas Brian Wicaksono (pengurus PDIP cabang Banyuwangi); Yuwono Pintadi; Fahrurrozi (Bacaleg 2024); Ibnu Rachman Jaya (warga Jagakarsa, Jakarta Selatan); Riyanto (warga Pekalongan); dan Nono Marijono (warga Depok). Mereka memilih pengacara dari kantor hukum Din Law Group sebagai kuasa.

Para pemohon dan kuasa hukum mereka menghadiri sidang pleno Mahkamah Konstitusi dengan agenda pembacaan putusan uji materi UU Nomor 7 Tahun 2017, tentang sistem proporsional tertutup. (Foto: tangkapan layar TV/YouTube MK)

Para pemohon mendalilkan Pasal 168 ayat (2), Pasal 342 ayat (2), Pasal 353 ayat (1) huruf b, Pasal 386 ayat (2) huruf b, Pasal 420 huruf c dan huruf d, Pasal 422, Pasal 426 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bertentangan dengan konstitusi.

Pada pokok permohonannya, para pemohon mendalilkan bahwa sistem Pemilu proporsional berbasis suara terbanyak, telah dibajak oleh Caleg pragmatis yang hanya bermodal popular dan menjual diri tanpa ada ikatan ideologis dengan partai politik.

Akibatnya, saat terpilih menjadi anggota DPR/DPRD seolah-olah bukan mewakili partai politik, namun mewakili diri sendiri.

“Kata ‘terbuka’ pada Pasal 168 ayat (2) UU 7/2017 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat,” demikian salah satu petitum pemohon, sebagaimana dibacakan oleh hakim MK.

“Kata ‘proporsional’ dalam Pasal 168 ayat (2) bertentangan sepanjang tidak dimaknai ‘sistem proporsional tertutup’,” tulis pemohon yang dibacakan hakim MK.

Ada sembilan petitum yang dimohonkan oleh para pemohon. Namun menurut hakim MK, bertumpu pada norma Pasal 168 ayat 2 UU Nomor 7 Tahun 2017 khususnya pada kata ‘terbuka’.

Namun, apa pertimbangan MK menolak permohonan para pemohon?

Hakim MK mengatakan, norma Pasal 168 ayat (2) UU Pemilu, yang dimohonkan para pemohon intinya menyatakan “Sistem pemilu […] dilaksanakan dengan sistem proporsional dengan daftar terbuka. Berkenaan dengan sistem proporsional dengan daftar terbuka, pada intinya [pemohon] mendalilkan bertentangan dengan UUD 1945.”

Bagi para pemohon, yang konstitusional atau tidak bertentangan dengan UUD 1945, adalah sistem Pemilu proporsional dengan daftar tertutup.

Terkait itu, MK mempertimbangkan terlebih dahulu baik buruknya sistem politik antara sistem Pemilu proporsional terbuka dan tertutup dalam putusannya.

MK menilai sistem Pemilu dipahami sebagai metode mengonversi jumlah suara yang diperoleh peserta pemilih menjadi perolehan kursi di parlemen.

Hakim konstitusi juga membantah segala jenis dalil pemohon terkait perlunya Indonesia menggunakan sistem Pemilu proporsional tertutup. Yaitu berkaitan dampak penyelenggaraan Pemilu.

Mahkamah mempertimbangkan implikasi dan implementasi penyelenggaraan Pemilu, tidak semata-mata disebabkan oleh pilihan sistem Pemilu.

Hakim konstitusi Sadli Isra mengatakan, dalam setiap sistem Pemilu terdapat kekurangan yang dapat diperbaiki dan disempurnakan tanpa mengubah sistemnya.

“Karena dalam setiap sistem pemilihan umum terdapat kekurangan yang dapat diperbaiki dan disempurnakan tanpa mengubah sistemnya,” kata Saldi Isra.

Menurut mahkamah, lanjut Saldi Isra, perbaikan dan penyempurnaan dalam penyelenggaraan Pemilu dapat dilakukan dalam berbagai aspek, mulai dari kepartaian, budaya politik, kesadaran dan perilaku pemilih, hingga hak dan kebebasan berekspresi.

Dari seluruh partai politik (Paprol) di DPR RI, hanya PDIP yang menginginkan sistem proporsional tertutup diterapkan pada Pemilu 2024. Sedangkan Parpol lainnya berharap MK tidak mengubah sistem proporsional terbuka dalam Pemilu yang sudah dijalankan selama ini.

Mayoritas Parpol menegaskan bahwa sistem pemungutan suara yang digunakan dalam Pemilu adalah kewenangan pembuat undang-undang, yakni Presiden dan DPR.

Oleh karena itu, mereka merasa MK tidak berwenang untuk mengubahnya lewat putusan uji materi.

Sidang Pleno Dihadiri Delapan Hakim Konstitusi

Sidang plenon pembacaan putusan uji materi UU Nomor 7 Tahun 2017 MK hari ini, dihadiri delapan hakim konstitusi dari sembilan hakim MK. Hakim Wahiduddin Adams tidak hadir.

Juru bicara MK, Fajar Laksono menjelaskan hakim Wahiduddin sedang berada di luar negeri untuk menjalankan tugas.

“Hakim Wahiduddin sedang ada tugas MK ke luar negeri, berangkat tadi malam,” kata Fajar Laksono.

Sidang pleno Mahkamah Konstitusi untuk pembacaan putusan uji materi UU Nomor 7 Tahun 2017, tentang sistem proporsional tertutup, dihadiri delapan Hakim Konstitusi. (Foto: Ist)

 

Menurut Laksono, sidang tetap bisa berlangsung meski tidak dihadiri secara lengkap oleh sembilan orang hakim konstitusi. Dia mengatakan sidang tak dapat dilaksanakan jika hakim kurang dari tujuh orang.

“Sidang pleno dihadiri oleh sembilan hakim, dalam kondisi luar biasa dapat dihadiri tujuh hakim. Kurang dari tujuh hakim, sidang pleno tidak dapat dilaksanakan,” ujar Laksono.

Delapan hakim konstitusi yang hadir adalahLaksono: Anwar Usman, Guntur Hamzah, Enny Nurbaningsih, Saldi Isra, Suhartoyo, Daniel Yusmic P. Foekh, Arief Hidayat, dan Manahan MP Sitompul.

Putusan MK ini diwarnai pendapat berbeda atau dissenting opinion dari satu hakim konstitusi, yakni Arief Hidayat.

Presiden Jokowi Ikuti Putusan MK

Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan, apapun keputusan MK terkait sistem Pemilu mendatang, pemerintah akan tetap berpegang pada Undang-Undang.

Kepala Negara mengatakan, apapun putusannya, baik itu sistem terbuka maupun tertutup, sama-sama memiliki kelebihan dan kekurangan.

Presiden Joko Widodo memberi keterangan kepada awak media mengenai tanggapannya tentang putusan MK yang akan disampaikan hari ini, saat berkunjung ke Pasar Menteng Pulo, Jakarta, Kamis (15/6/2023). (Foto: RRI Pro3)

“Nunggu dari MK saja, karena setiap partai setiap orang harus ditanya itu, bisa beda-beda. Karena memang dua-duanya ada kelebihan ada kelemahannya,” ujar Presiden dalam keterangannya di Pasar Menteng Pulo, Kamis (15/6/2023), sebelum MK membacakan putusan, sebagaimana dilansir RRI Pro 3 Jakarta.

Ketika ditanya mana yang terbaik versi Presiden, dirinya hanya menjawab semua kembali kepada Undang-Undang.

“Ya terserah UU, terserah keputusan MK,” ujar Presiden.

Presiden Jokowi bahkan tidak ingin berandai-andai untuk Pemilu mendatang. Karena baginya, tetap harus menunggu putusan MK. (rus)