KABARIKA.ID, MAKASSAR – Hubungan strategis antara negara-negara Eropa dan Filipina tumbuh seiring meningkatnya kepentingan bersama para pemimpin, untuk melawan aktivitas militer Cina di dekat Taiwan dan Laut Cina Selatan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Di tengah peningkatan hubungan militer dengan Amerika Serikat dan Jepang, Filipina tampaknya siap memasukkan negara-negara Eropa dalam strategi keamanannya guna meningkatkan kewaspadaan terhadap Cina di Laut Cina Selatan.

Sebuah subkomite baru Uni Eropa dan Filipina untuk kerja sama maritim dibentuk minggu lalu, hampir bersamaan waktunya dengan kunjungan seorang pejabat militer senior Prancis ke Manila, dalam rangka memohon kerja sama militer yang lebih luas.

Analis berpendapat bahwa di bawah kepemimpinan Ferdinand Marcos Jr., Filipina telah kembali ke sikap keberpihakan pro-Barat dan mengambil sikap yang lebih tegas di Laut Cina Selatan, wilayah maritim yang memiliki kepentingan ekonomi global.

Klaim sejumlah negara di Laut Cina Selatan.

Cina mengklaim hampir seluruh Laut Cina Selatan sebagai wilayahnya. Ketegangan berlangsung seiring meningkatnya kontrol penjaga pantai Cina atas sengketa sumber daya maritim, misalnya di kawasan tempat penangkapan ikan.

Sebagai respons atas sikap Cina tersebut, Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya melakukan latihan “kebebasan navigasi” di perairan yang dipersengketakan.

Pada awal Maret lalu, Washington mengumumkan bahwa pihaknya terlibat dalam pembicaraan dengan Manila untuk mengadakan patroli bersama di Laut Cina Selatan dengan Filipina, dan mengikutsertakan Australia dan Jepang.

Eropa Incar Peran Keamanan yang Lebih Besar

Sementara itu, saat kunjungan ke Manila, utusan khusus Uni Eropa untuk kawasan Indo-Pasifik, Richard Tibbels, mengatakan bahwa ada ”kepentingan yang kuat untuk memastikan bahwa kebebasan navigasi dan penerbangan terus berlanjut, dan bahwa sistem perdagangan global tidak terpengaruh oleh meningkatnya ketegangan di wilayah tersebut.”

Subkomite UE-Filipina untuk Kerja Sama Maritim yang baru dibentuk minggu lalu. bertujuan untuk memperkuat kerja sama dalam masalah maritim.

Penegasan itu dimuat dalam sebuah laporan yang diterbitkan setelah pertemuan ketiga Komite Gabungan UE-Filipina yang berlangsung di Brussel pada 30 Juni 2023 lalu.

“Uni Eropa dan Filipina sepakat untuk terus bekerja sama secara erat dan membela tatanan internasional berbasis aturan, prinsip kedaulatan, integritas wilayah, dan nonagresi,” demikian komunikasi yang disampaikan pascapertemuan.

Komandan Gabungan Prancis untuk Asia-Pasifik dan Angkatan Bersenjata Prancis, Laksamana Muda Geoffroy d’Andigne, pekan lalu, mengunjungi Manila untuk menggarisbawahi kepentingan Prancis dalam meningkatkan hubungan keamanan tersebut.

Selama pertemuan dengan Menteri Luar Negeri Filipina, Enrique Manalo, d’Andigne dilaporkan mengundang Angkatan Darat Filipina untuk ikut serta dalam latihan bersama di Polinesia Prancis dan Kaledonia Baru, untuk pelatihan penanggulangan bencana, dan untuk meningkatkan kemampuan berbagi informasi di antara mereka.

Mempertahankan Kebebasan Maritim di Sekitar Filipina

Angkatan laut negara-negara Eropa telah terlibat dalam latihan kebebasan navigasi di Laut Cina Selatan, dan Jerman mengumumkan pada bulan Mei silam, bahwa mereka akan mengirim gugus tugas dua kapal ke wilayah tersebut tahun depan.

Jika dikaitkan dengan posisinya dalam konflik di Laut Cina Selatan, Angkatan Laut Filipina dengan kekuatan 24.000 personel militer merupakan yang paling lemah di antara negara-negara yang bekonflik. Negara tetangga Indonesia di sebelah utara ini, hanya memiliki 4 kapal fregat buatan AS, 10 unit korvet, 66 kapal patroli, 4 kapal pendarat, dan 72 kapal penjaga pantai. (Foto: DW/picture alliance)

Duta besar Jerman untuk Filipina, Anke Reiffenstuel menjanjikan lebih banyak dukungan dari Berlin. “Kita perlu memperkuat kemitraan dengan negara-negara yang berpikiran sama di kawasan. Bentuknya bisa berupa kerja sama keamanan maritim, berbagi informasi, latihan militer bersama, dan upaya kerja sama diplomatik,” kata Duta Besar Anke Reiffenstuel.

Tahun lalu, Konferensi PBB tentang Perdagangan dan Pembangunan memperkirakan total perdagangan bernilai sekitar 3,26 triliun Dolar AS atau 21 persen dari total perdagangan global, melewati Laut Cina Selatan pada 2016.

“Uni Eropa dan Eropa memiliki kepentingan vital dalam menegakkan kebebasan navigasi di Laut Cina Selatan, jalur komunikasi penting bagi Eropa,” kata pakar hubungan internasional Indo-Pasifik di Universitas Wina, Alfred Gerstl.

Menurut Gerstl, saat ini merupakan perjuangan berat bagi negara-negara Eropa untuk membuktikan komitmen mereka.

“Bahkan kehadiran maritim Prancis di kawasan ini, yang terkuat di antara kekuatan Eropa, masih sangat terbatas. Oleh karena itu, kerja sama angkatan laut dan keamanan dengan negara-negara Asia Tenggara sangat penting,” tandas Gerstl. (DW/rus)