ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Oleh Khusnul Yaqin
LEBAH adalah salah satu binatang yang diberikan wahyu oleh Allah swt. Oleh karena wahyu ini menjadikan masyarakat lebah menjadi masyarakat yang tertata dengan rapi. Pemimpinnya secara genetik sudah jelas. Tidak bisa lebah pekerja menjadi pemimpin, karena lebah pekerja berasal dari derivasi sel yang berbeda dengan sang ratu atau pemimpin.
Salah satu karakteristik unik pada lebah adalah sang ratu secara berkala menyebarkan feromon atau wewangian ke seluruh anggota masyarakatnya. Dengan begitu ratu dapat mengenali atau memakrifati setiap anggota masyarakatnya. Ratu harus makrifat dengan masyarakatnya, begitu juga sebaliknya. Penyebaran feromon ini bukan tanpa biaya, karena pembentukan feromon membutuhkan energi tertentu. Tapi mengapa ratu lebah mau bersusah payah menyebarkannya?
Fenomena penyebaran feromon ini jika kita pandang dari perspektif ekologi transenden adalah proses peleburan ego sang ratu menjadi ego komunal masyarakat. Meskipun berbadan lebih besar, ratu tidak adigan adegung adiguno. Ratu tidak berkeinginan dan berkebutuhan untuk menonjolkan dirinya sendiri dan mau enaknya sendiri.
Bagi ratu lebah, pemimpin itu harus manunggal dengan yang dipimpin. Keinginan masyarakat adalah keinginan pemimpin, begitu juga keinginan pemimpin adalah keinginan yang dipimpin. Tidak ada di luar itu.
Apa yang disebarkan ratu lebah itu adalah hasil atau berkah dari suluk ruhani sang ratu, kepada masyarakatnya. Sang ratu sudah tidak mempunyai ego lagi, karena semuanya sudah dilimpahkan kepada masyarakat lebah. Dengan cara itu sudah terjadi apa yang disebut manunggaling kawulo lan gusti secara pragmatis, terjadi penyatuan spirit antara sang pemimpin (ratu lebah/gusti) dengan masyarakat lebah (kawulo).
Penggunaan kata kawulo di depan kata gusti menunjukkan bahwa konsep ini diproduksi dari perspektif pragmatis, yaitu dari kawulo. Mungkin itu yang membedakan dari konsep induknya yaitu wahdatul wujud, atau penyatuan wujud yang dipandang dari perspektif Zat Yang Maha Wujud, atau Wajibul Wujud.
Penghilangan ego sang ratu itu terbukti sangat berguna bahkan hal itu adalah poros mekanisme kepemimpinan masyarakat lebah. Bagaimana hal itu bisa terjadi? Dalam pandangan filsafat transendennya Mulla Sadra, untuk mencapai kedudukan pemimpin seperti itu, manusia harus melakukan empat perjalanan ruhani.
Empat perjalanan itu, yaitu berjalan naik menuju Allah, berjalan bersama dan di dalam Allah, berjalan turun menuju masyarakat bersama Allah, dan berjalan di masyarakat bersama Allah. Untuk penjelasan pragmatisnya dapat dilihat pada https://sulsel.idntimes.com/opinion/politic/unul-1/opini-meditasi-jantung-kembar-dan-pengelolaan-alam-semesta.
Imam Khomeini adalah satu pemimpin yang telah tamat melakukan perjalanan spiritual yang diprotokolkan oleh sesepuhnya, yaitu Mulla Sadrah melalui jalur-jalur pendidikan yang sahih dari guru yang satu ke guru yang lainnya hingga ke Mulla Sadra.
Imam Khomeini bukanlah orang yang sendirian sebagai representasi par excellence pemimpin Rabbani. Murid-murid Imam Khomeini baik langsung maupun tidak langsung, juga sampai hari ini membuktikan bahwa kepemimpinan yang dibentuk oleh ajaran tauhid melalui perjalanan transendental bukanlah hal yang utopis, seperti diigokan oleh kaum pseudodemokrat.
Kaum pseudodemokrat menyebut kepemimpinan rabbani adalah utopis, karena mereka takut jargon pesta demokrasinya menjadi sunyi senyap, tidak ada yang meminatinya.
Hari ini kepepiminan Rabbani dapat kita lihat pada diri Sayyid Ali Khamenei sebagai penerus Imam Khomeini. Sayyid Ali Khamenei, berhasil membawa masyarakat Iran menjadi masyarakat yang berperadaban dan berteknologi tinggi, meskipun dibawa tekanan Amerika dan antek-anteknya.
Di Nusantara, Raden Mas Said atau yang dikenal dengan nama Sunan Kalijogo, juga merupakan orang yang telah selesai dengan empat perjalanan itu dan dia mengkader murid-muridnya dengan pendidikan ruhani yang ketat sebelum menjadi pemimpin di setiap wilayahnya.
Sekali lagi hal ini membuktikan bahwa model pemerintahan ilahi dan pemimpin Rabbani bukanlah hal yang utopis, sebagaimana diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW dan ahlul baitnya yang suci.
——–
Penulis adalah guru besar dalam bidang ekotoksikologi perairan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin dan pegiat Pranic Healing Makassar. email: [email protected].