KABARIKA.ID, JAKARTA – Menko Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) RI, Muhadjir Effendy, membuka secara resmi Jakarta Plurilateral Dialogue (JPD) 2023, di Hotel Borobudur, Jakarta, Selasa (29/08/2023).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Dalam sambutannya, Menko PMK Muhadjir mengatakan bahwa JPD 2023 mengangkat tema toleransi sebagai urgensi kemanusiaan di tengah-tengah maraknya perilaku diskriminasi dan intoleransi berdasarkan agama dan kepercayaan yang terjadi secara global.

“JPD 2023 menjadi relevan guna menjawab tantangan perdamaian dunia, untuk itu budaya toleransi perlu untuk menjaga kebhinnekaan masyarakat dan seluruh negara perlu bekerja sama secara konstruktif untuk membangun budaya toleransi,” ujar Muhadjir.

Menko PMK Muhadjir Effendy dalam sambutannya mengatakan JPD 2023 menjadi relevan guna menjawab tantangan perdamaian dunia. (Foto: Kemenag)

Menko PMK Muhadjir menilai pelaksanaan JPD 2023 sebagai tepat waktu dan tepat guna, untuk memperkuat budaya toleransi di Indonesia, sebab toleransi tidak lepas dari kemajuan politik, sosial, dan ekonomi.

Kegiatan bertaraf internasional ini diselenggarakan atas kerja sama Kantor Staf Presiden, Kementerian Luar Negeri, dan Kementerian Agama. JDP 2023 dihadiri Wakil Presiden Dewan HAM PBB, Muhammadou MO Kah, para tokoh agama, aktivis HAM, perwakilan Kedubes 64 negara dan 57 negara berasal dari negara-negara Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dari 34 provinsi, para penyuluh agama, dan para akademisi dari berbagai negara.

Tema yang diangkat, “Strengthening the Culture of Tolerance by Mainstreaming the UN Resolution 16/18”.

Dalam mempromosikan budaya toleransi global, Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi kembali mengingatkan pentingnya komitmen tiap-tiap negara dalam mengimplementasikan Resolusi 16/18.

Oleh sebab itu, forum dialog JPD 2023 diharapkan menjadi praktik baik dalam menyampaikan budaya toleransi berbasis agama untuk negara-negara anggota.

Menlu Retno dalam sambutannya menyampaikan tiga hal yang perlu dilakukan bersama dalam mempromosikan nilai-nilai toleransi berbasis agama, yaitu:

Pertama, perlunya keseimbangan antara hak ‘bebas berekspresi’ dan ‘bebas dari diskriminasi’.

“Bebas berekspresi tidak berarti bebas untuk melakukan diskriminasi dan melukai pihak lain. Bebas berekpresi tidak boleh mengorbankan hak bebas dari diskriminasi,” tegas Retno.

Kedua, membangun kerangka hukum yang jelas dalam melawan diskriminasi berbasis agama seperti melalui International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang secara jelas meminta negara-negara melarang penyebaran kebencian terhadap agama.

Ketiga, melakukan berbagai inovasi dalam upaya untuk melawan intoleransi, termasuk memanfaatkan teknologi dan informasi.

Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dalam rambutannya menyebut tiga hal yang perlu dilakukan bersama, dalam mempromosikan nilai-nilai toleransi berbasis agama. (Foto: Kemenag)

Sementara itu, Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas dalam sambutannya menggarisbawahi pentingnya mengukuhkan budaya toleransi (culture of tolerance) dalam menghadapi dinamika globalisasi.

Konflik dan perang masih terjadi di berbagai tempat yang berdampak pada migrasi besar-besaran manusia. Bencana dan perubahan iklim juga mengantarkan perjumpaan antarmanusia secara baru dan terus-menerus.

Menurut Menag, tiap masyarakat, tiap bangsa, dan tiap etnis saat ini dipaksa untuk secara permanen berhadapan dengan mereka yang lain (the other), dan mereka yang berbeda (difference).

“Tanpa culture of tolerance, gejolak dan perubahan ini akan dengan mudah terpeleset menjadi tragedi kemanusiaan baru,” tegas Menag Yaqut,

Menag Yaqut menyatakan pentingnya toleransi berdasarkan agama dan kepercayaan dalam menciptakan di tengah perkembangan global saat ini.

Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas dalam sambutannya menggarisbawahi pentingnya mengukuhkan budaya toleransi (culture of tolerance) dalam menghadapi dinamika globalisasi. (Foto: Kemenag)

Ia menyatakan, pengalaman Indonesia dalam merawat toleransi erat kaitannya dengan budaya demokrasi yang dianut oleh masyarakat Indonesia.

“Indonesia merupakan salah satu negara dengan eksperimen toleransi terpanjang dan paling intens. Tradisi dan kepercayaan Indonesia mendorong warga negara untuk memahami, mengilustrasikan, dan menerjemahkan perbedaan menjadi fakta yang dapat dipahami dan disesuaikan dengan interaksi sosial antar-sesama warga,” papar Menag Yaqut.

Menag menambahkan, Resolusi Dewan HAM PBB 16/18 sendiri merupakan resolusi untuk memerangi intoleransi, stereotip negatif dan stigmatisasi, serta diskriminasi, hasutan terhadap kekerasan, dan kekerasan terhadap orang berdasarkan agama atau kepercayaan.

“Saya kira konferensi ini mungkin langkah awal dari sekian langkah yang kita buktikan. Tentu tidak cukup dengan sekali konferensi kemudian terus kita berharap ada dampak yang sangat besar,” tandas Menag Yaqut.

Agenda JPD 2023 terdiri dari lima sesi dialog yang mengeksplorasi praktik terbaik dan pembelajaran dari berbagai pemangku kepentingan di seluruh dunia dalam memperkuat implementasi Resolusi 16/18 UNHRC. (rus)