KABARIKA.ID, MAKASSAR – Wakil ketua umum (Waketum) 9 yang membawahi bidang pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, kesehatan, hukum dan HAM, Hj. Aliyah Mustika Ilham, SE menggelar nonton bareng (Nobar) film Miracle in Cell No. 7 dan bedah film, di bioskop XXI Trans Studio Mall, Makassar, Minggu siang (16/10/2022).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Selain Waketum 9, juga hadir Wasekjen Dr. Sakka Pati, SH, MH; ketua bidang pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, Meisy Papayungan, M.Ph; kepala divisi pemberdayaan perempuan, Husaimah Husain, SH, M.Hum; serta kepala divisi perlindungan anak, Suryanarni Sultan, SKM, M.Ph.
Jumlah anggota IKA Unhas yang hadir Nobar dan bedah film sebanyak 200 orang, sesuai jumlah tiket yang disiapkan panitia.
Film Adaptasi Korea
Film Miracle in Cell No. 7 merupakan film adaptasi dari film produksi Korea Selatan dengan judul yang sama. Pada versi Koreanya, film Miracle in Cell No. 7 mengangkat kisah nyata dari sosok Yong-Goo, seorang ayah yang menderita cacat mental.
Yong-Goo adalah seorang ayah yang amat mencintai putrinya. Namun, Yong-Goo dituduh melakukan kejahatan yang menyebabkan dirinya harus dikirim ke penjara.
Putrinya, Ye-Seung yang merupakan siswa sekolah hukum pun membuktikan bahwa ayahnya tak melakukan kejahatan yang dituduhkan.
Drama Komedi yang Menguras Air Mata
Miracle in Cell No. 7 merupakan film yang bergenre drama komedi. Versi Indonesia film ini secara keseluruhan alur ceritanya masih mempertahankan versi Korea. Namun, ada beberapa yang membedakan, di antaranya joke-joke yang muncul dalam alur cerita yang bersifat lokal.
Film ini menceritakan kehidupan Dodo Rozak yang diperankan oleh Vino G. Bastian, seorang ayah yang memiliki keterbatasan atau disabilitas yang membuatnya bertingkah dan berperilaku seperti anak-anak. Meski demikian, ia berusaha menjadi ayah yang baik untuk putrinya, Kartika yang diperankan oleh Graciella Abigail.
Kartika adalah anak yang sederhana, dan bangga dengan ayahnya yang sehari-hari bekerja sebagai penjualan balon.
Dalam kehidupan sehari-hari, Kartika lebih sering menjaga dan merawat sang ayah, meski begitu keduanya tetap menjalani hidup bahagia.
Suatu hari terjadi peristiwa yang membuat Kartika terpisah dari Dodo Rozak, ayahnya. Dodo Rozak ditangkap dengan tuduhan pemerkosaan dan pembunuhan seorang gadis kecil bernama Melati.
Karena keterbatasan mental, Dodo Rozak mengalami kesulitan dalam menjelaskan peristiwa yang sebenarnya.
Ia kemudian dijebloskan ke dalam penjara dan ditempatkan di sel nomor tujuh yang dihuni oleh para napi, mulai dari kepala napi yang diperankan Indro Warkop, Jaki yang diperankan Tora Sudiro, Bewok yang diperankan Rigen Rakelna, Atmo yang diperankan Indra Jegel, dan Asrul “Bule” yang diperankan oleh Bryan Domani.
Setelah Dodo Rozak mengalami berbagai peristiwa di penjara, Dodo Rozak kemudian berteman dengan para napi di sel nomor tujuh. Dodo Rozak agak beruntung setelah bertemu dengan mereka, karena mendapatkan bantuan untuk menyelundupkan Kartika, anaknya yang sangat ia sayangi, ke dalam selnya.
Pertemuan maupun perpisahan antara ayah dan anak atau antara Dodo Rozak dan Kartika yang memiliki hubungan emosional yang mendalam, mampu menguras air mata para penonton.
Kedekatan hubungan emosional Dodo Rozak dan Kartika, mampu menularkan kebahagiaan kepada para napi penghuni sel nomor tujuh, termasuk sipir.
Karena kedekatan itulah, semua penghuni sel nomor 7 akhirnya ragu atas tuduhan terhadap Dodo Rozak yang disangka memperkosa hingga membunuh gadis kecil seperti Melati.
Perspektif Hukum dan HAM
Sebuah film pada umumnya merupakan replikasi sebuah peristiwa atau realitas sosial yang terjadi di sekitar kita. Jika film Miracle in Cell No. 7 versi Korea mengacu pada kisah hidup Yong-Goo yang dituduh melakukan kejahatan yang menyebabkan dirinya harus dikirim ke penjara. Dalam versi Indonesianya, film Miracle in Cell No. 7 sepenuhnya mereplikasi kisah yang ada dalam versi Koreanya.
Penyiksaan yang dialami Dodo Rozak dalam selnya secara semiotis merefleksikan peristiwa yang kerap terjadi dalam dunia hukum Indonesia. Bukanlah sebuah cerita baru tentang penyiksaan tahanan oleh aparat atau perkelahian antara sesama tahanan.
Juga bukanlah peristiwa langka jika ada tahanan yang dijebloskan ke penjara tanpa peradilan. Gambaran buram dan menyeramkan dalam penjara adalah refleksi ikonik dari belantara dunia hukum Indonesia.
Setelah pemutaran film berakhir, Waketum 9 Hj. Aliyah Mustika Ilham, SE dalam pengantarnya saat memulai bedah film mengatakan, kegiatan Nobar ini digelar untuk memberikan perspektif hukum dan HAM tentang perlindungan anak serta kaum penyandang disabilitas, sebagaimana yang digambarkan dalam film.
Sementara itu, ketua umum IKA Unhas Dr. Andi Amran Sulaiman (AAS) saat memberi sambutan pada kegiatan bedah film tersebut, mengatakan bahwa cerita film ini mengingatkan sebuah peristiwa yang terjadi dalam keluarganya yang menyebabkan keluarga berurusan dengan aparat penegak hukum.
AAS juga mengaku ikut sedih menonton film ini dengan melihat hubungan emosional antara Dodo Rozak dengan anak tersayangnya, Kartika.
“Saya tadi keluar karena tidak tahan melihat peristiwa hubungan antara ayah dan anaknya yang menyedihkan,” ujar AAS.
Menyinggung soal hubungan anak dan orang tua, AAS berpesan kepada para alumni yang hadir Nobar agar menghormati dan menjaga hubungan baiknya dengan orang tua mereka, terutama ibunya.
“Jaga ibumu, ibumu dan ibumu,” tandas Andi Amran Sulaiman.
Meskipun Dodo Rozak pada akhirnya dinyatakan tidak bersalah oleh majelis hakim, namun film ini tetap memberi pesan semiotis untuk meningkatkan literasi hukum, agar dapat memahami realitas dan peristiwa hukum yang terjadi di tanah air. (rus)