KABARIKA.ID, JAKARTA – Tanggal 10 November yang ditetapkan sebagai Hari Pahlawan merupakan salah satu hari bersejarah bagi bangsa Indonesia, namun bukan sebagai hari libur.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Peringatan Hari Pahlawan tingkat nasional dipimpin oleh Wakil Presiden (Wapres) Ma’ruf Amin sebagai inspektur upacara, di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata, Jakarta Selatan, Kamis (10/11/2022).
Wapres Ma’ruf Amin menjadi inspektur upacara Hari Pahlawan menggantikan Presiden Jokowi yang tengah melakukan kunjungan kerja ke Kamboja dalam rangka mengikuti KTT ke-41 ASEAN di Kamboja pada 10-13 November 2022.
Tema peringatan Hari Pahlawan ke-77 tahun ini adalah, “Pahlawanku Teladanku”. Tema merefleksikan semangat untuk mengenang dan menghormati jasa serta perjuangan para pahlawan dalam mempertahankan kemerdekaan.
Menteri Sosial Tri Rismaharini dalam amanatnya memperingati Hari Pahlawan mengatakan, teladan dari para pahlawan bangsa yang telah merasuk sukma, kiranya menjadi semangat kita pada peringatan Hari Pahlawan tahun ini.
Dengan semangat “Pulih Lebih Cepat, Bangkit Lebih Kuat”, peringatan Hari Pahlawan 2022 diharapkan dapat terus memberikan energi tambahan untuk menggugah kesadaran segenap elemen bangsa untuk terus bersatu dan membantu sesama tanpa memandang sekat.
“Hari Pahlawan setiap tahun kita peringati dengan renungan yang sungguh-sungguh, untuk menemukan kembali jejak para pahlawan dalam hidup kita sebagai
bangsa dan negara merdeka. Kita hidupkan kembali dalam benak kita perjuangan para pahlawan bangsa. Dari para pejuang yang gugur dalam palagan pertempuran
mempertahankan kemerdekaan, penting kita resapi semangat dan keikhlasannya,” kata Mensos.
Perjuangan dan pengorbanan para pahlawan diharapkan dapat menginspirasi dan memotivasi seluruh rakyat Indonesia untuk meneruskan pembangunan dan mengisi kemerdekaan. Setiap orang dapat berperan sesuai kemampuan, keahlian, dan keterampilan masing-masing untuk memberikan kontribusi bagi bangsa sebagai wujud pahlawan masa kini.
“Mari kita jadikan momentum Hari Pahlawan tahun 2022 untuk memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa, saling menghargai satu sama lain dan mengisi kemerdekaan dengan hal-hal yang bermanfaat bagi kemajuan bangsa dengan bersama-sama menjadi pahlawan masa kini yang dapat dimulai dari sendiri, keluarga, lingkungan sekitar dan seterusnya. Jadikanlah semangat dan nilai-nilai kepahlawanan sebagai inspirasi di dalam setiap langkah kehidupan kita,” tulis Buku Pedoman Pelaksanaan Peringatan Hari Pahlawan Tahun 2022.
Anugerah Gelar Pahlawan Tahun 2022
Telah menjadi tradisi bahwa menjelang peringatan hari pahlawan 10 November setiap tahunnya, pemerintah memberikan anugerah gelar pahlawan kepada tokoh dan pejuang bangsa yang berjasa pada perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Pada tahun ini pemerintah memberikan anugerah gelar pahlawan kepada lima tokoh bangsa. Penganugerahan gelar pahlawan tersebut tertuang dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 96/TK/Tahun 2022 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional, tanggal 3 November 2022.
Berikut profil kelima tokoh penerima anugerah gelar pahlawan tersebut.
Dr. dr. H. R. Soeharto,
dari Jawa Tengah
Ia lahir di Tegalgondo, 24 Desember 1908 dan wafat pada 30 November 2000 pada usia 92 tahun. Dr R. Soeharto lulus dari Bataviase Geneeskundige Hoogeschool (kini Fakultas Kedokteran UI). Pada tahun 1942 ia dipercaya sebagai dokter pribadi Presiden Soekarno.
Dia juga dipercaya oleh Wapres Moh. Hatta pada saat itu memimpin Somobu, yakni Departemen Dalam Negeri pada masa pemerintahan Jepang, untuk mengelola poliklinik yang melayani kesehatan, khusunya tukang becak yang jumlahnya kurang lebih 6.000 oang pada waktu itu. Ia juga ditugaskan sebagai Kepala Bagian Kesehatan Pusat Tenaga Rakyat (Putera).
Beliau juga pernah dipercaya menempati posisi kepala Jawatan Administrasi Militer Pusat (AMP) di Kementerian Pertahanan.
Dia juga salah seorang yang memprakarsai berdirinya Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Ia juga merupakan penggagas pembentukan organisasi Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) demi kesejahteraan ibu dan anak-anak. Inilah yang kemudian diadaptasi oleh pemerintah Indonesia dengan mendirikan BKKBN
KGPAA Paku Alam VIII,
dari Daerah Istimewa Yogyakarta
Lahir di Yogyakarta pada 10 April 1910 dan wafat pada 20 Mei 1998 pada usia 88 tahun.
Menyadari adanya upaya adu domba oleh pihak Jepang, Paku Alam VIII berinisiatif meminta izin berkantor di Kepatihan bergabung dengan Hamengku Buwono IX. Hal ini dimaksudkan agar mereka dapat bekerja sama menghadapi Jepang dan tidak mudah dipecah belah.
Sejak saat itu, peran Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII di awal kemerdekaan sangat penting untuk bangsa Indonesia. Pada 27-29 Desember 1945, pasukan NICA melancarkan operasi militer di Jakarta. Dengan adanya krisis keamanan tersebut, Hamengku Buwono IX mengirim surat kepada Presiden Soekarno dan menawarkan Yogyakarta sebagai ibu kota sementara dengan disertai jaminan keamanan.
Hal tersebut diterima dengan baik oleh Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta. Pada 4 Januari 1946, rombongan Presiden, Wakil Presiden beserta para Menteri dan keluarga mereka tiba di stasiun Tugu Yogyakarta.
Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII telah menempatkan Yogyakarta sebagai jantung perjuangan Republik Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan.
dr. Raden Rubini Natawisastra,
dari Kalimantan Barat
Lahir di Bandung pada 31 Agustus 1906 dan wafat pada 28 Juni 1944 pada usia 38 tahun.
Pada 7 Juli 1930 Rubini dinyatakan lulus dan berhak menyandang gelar Indische Artsen. Ia kemudian diangkat menjadi dokter pengawal negeri Gouvernment Indisch Arts, dan bekerja di Rumah Sakit Pusat CBZ, Batavia (yang saat ini menjadi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.
Karier kedokterannya dimulai di Rumah Sakit Umum Sungai Jawi, Pontianak. Menjalankan misi kemanusiaan dengan menjadi dokter keliling melayani pengobatan di daerah terpencil dan pedalaman di Kalimantan Barat. Melayani semua golongan penduduk tanpa membeda-bedakan status. Ia pun berjuang untuk menurunkan angka kematian ibu dan anak saat melahirkan dengan cara tradisional.
Terlepas dari karir politiknya di Partai Indonesia Raya (Parindra) komisariat Kalimantan Barat, Rubini tetap menjalani profesinya sebagai dokter. Ia yang sehari-hari dekat dengan masyarakat ini, terus berjuang melawan penjajahan Jepang hingga akhir hayatnya. Pada 28 Juni 1944, Rubin dinyatakan gugur di tangan Jepang.
Haji Salahuddin bin Talabuddin,
dari Maluku Utara
Lahir di Patani pada 1887 dan wafat pada 6 Juni 1948 pada usia 61 tahun.
Pada tahun 1916 Haji Salahuddin bin Talabuddin pindah ke Salawati, Raja Ampat dan menikah serta menyebarkan dakwah di sana dan menyatukan umat Islam untuk menentang penjajahan. Aktivitasnya tersebut tidak disukai oleh polisi Belanda di Salawati.
Pada rentang waktu 1918-1923 Raja Ampat dilanda penyakit hepatitis. Hal itu menyebabkan Samari (anak angkatnya) meninggal dunia karena hanya diobati dengan obat tradisional. Haji Salahuddin dituduh membunuh anaknya. Atas tuduhan dan fitnah yang dilakukan Belanda itu, ia kemudian dijatuhi hukuman pengasingan ke Sawah Lunto.
Sepulang dari pengasingannya di Sawah Lunto tahun 1937, melalui organisasi Syarikat Jamiatul Iman Wal-Islam (SJII) yang dibentuknya. Ia menyuarakan perjuangan anti Belanda pada murid dan pengikut-pengikutnya.
Pada 16-17 Februari 1947 kepal Perang Belanda tiba di Patani dengan membawa tambahan pasukan. Ikut serta Sultan Ternate yang juga sebagai Residen Ternate menjemputnya ke Ternate dengan tangan diikat. Ia pun berteriak, Hidup Islam, Hidup Sarekat Islam, Hidup Republik Indonesia, Allahu Akbar! Pada 1948 ia pun dijatuhi hukuman mati.
K.H. Ahmad Sanusi,
dari Jawa Barat.
Lahir di Sukabumi pada 18 September 1888 dan wafat pada 31 Juli 1950 pada usia 62.
K.H. Ahmad Sanusi telah memimpin dan melakukan perjuangan politik melawan pemerintah Kolonial Belanda. Ulama yang dikenal sebagai Ajengan Genteng ini dianggap menentang pemerintah kolonial melalui fatwa-fatwanya, sehingga ia seringkali mendapatkan hukuman untuk menjadi tahanan kota.
Pada masa pendudukan Jepang, K.H. Ahmad Sanusi aktif pula dalam mendirikan pasukan sukarela Pembela Tanah Air (PETA) di Bogor dan Sukabumi. Pada 1944 ia diangkat menjadi anggota BPUPKI. Setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, K.H. Ahmad Sanusi diangkat sebagai anggota KNIP dan ikut hijrah ke Yogyakarta setelah perjanjian Renville.
K.H. Ahmad Sanusi tidak pernah menyerah pada lawan atau musuh dalam perjuangan. Selama di penjara, K.H. Ahmad Sanusi tidak patah semangat, malah ia mendirikan Al Ittihadyatul Islamiyah (AII) meskipun ia terus-menerus berstatus sebagai tahanan kota. Jiwa juangnya tidak pernah surut.(rus)