Khusnul Yaqin dan Supa Atha’na
(Kedua Penulis Dosen Aktif di Universitas Hasanuddin)

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

 

The quality of our lives depends not on whether or not we have conflicts, but on how we respond to them. – Thomas Crum

II. Anatomi Tawuran Mahasiswa Dalam Neraca Teologi Free Will

CARA pandang dan cara berpikir di atas sudah tentu ditolak oleh mereka yang menganut mazhab free will. Bagi penganut mazhab free will, mahasiswa itu manusia dewasa. Sebagaimana manusia dewasa pada umumnya, maka mahasiswa bebas untuk menentukan tindakannya. Mahasiswa bebas memilih untuk mau melakukan hal yang terpuji atau tercela. Baik atau buruk.

Tindakan baik atau buruk mahasiswa adalah murni betul independensinya. Seutuhnya hanya tergantung pada free will atau kebebasan berkendak dari mahasiswa. Karena mengikuti asas demokrasi, kampus tidak menyetir perilaku mahasiswa. Mahasiswa memunyai kebebasan akademik.

Oleh karena itu, keburukan apapun yang dilakukan oleh mahasiswa tidak bisa disangkutpautkan dengan dosen atau pejabat kampus. Kalau mahasiswa tawuran, konsekuensi logisnya harus dihukum. Tidak logis mengaitkan tawuran mahasiswa dengan tudingan keteledoran atau kelalaian seorang pejabat yang bertanggung jawab dengan urusan kemahasiswaan. Sebab mahasiswa di kampus mempunyai free will yang merupakan refleksi dari kebebasan akademik.

III. Anatomi Tawuran Mahasiswa Dalam Neraca Teologi Jalan Tengah

Anatomi tawuran mahasiswa dalam neraca teologi free will (amru bainal amrain) memahami bahwa relasi mahasiswa dengan dosen atau pejabat kampus itu bukan free will dan bukan pula deterministik.

Kampus sudah menyediakan sarana dan prasaran pendidikan bagi mahasiswa. Aturan-aturan juga sudah dibuat untuk mengatur jalannya pendidikan agar berjalan dengan lancar. Mahasiswa dipersepsi sebagai manusia dewasa yang dapat memahami seluruh fasilitas pendidikan yang tersedia beserta aturannya dan menggunakannya.

Bila mahasiswa memanfaatkan sarana dan prasarana di kampus berdasarkan aturan yang ada, maka ia akan lulus dengan baik beserta akumulasi sejumlah ilmu yang telah dipelajari. Akan tetapi, jika mereka membuat onar, maka mereka harus mempertangungjawabkan keonaran itu sesuai dengan gradasi keonarannya. Semakin tinggi keonaran yang diperbuat, maka semakin tinggi atau berat sanksi yang akan mereka terima.

Sekiranya kemampuan dan aneka cara berpikir sebagaimana di atas dipopulerkan baik di kampus atau masyarakat, maka stigmatisasi terhadap suatu kejadian tidak gampang untuk dijustifikasi sebagai suatu kebengisan dan memalukan. Sebab sepanjang manusia mengikuti fitrahnya sebagai makhluk yang punya akal pikiran sebagai tanda kemuliaan dari makhluk lainnya, maka selama itu pula manusia tidak akan bertindak dan berlaku bengis. Karena laku bengis hanya milik setan.

Untuk keberlanjutan hidup dalam menyongsong peradaban di hari esok yang semoga saja menjadi lebih baik, tergantung pada pilihan kita, karena kita punya “free will”! Tidakkah begitu? (*/rs)