KABARIKA.ID, MAKASSAR – Al-Murji’ah merupakan salah satu aliran dalam Islam yang muncul di masa-masa awal. Semula, aliran ini merupakan partai politik yang netral. Dalam menjelaskan pandangan-pandangan mereka, Ibnu Asakir mengatakan, “Mereka adalah orang-orang yang ragu-ragu. Mereka ikut peperangan. Ketika kembali ke Madinah setelah terbunuhnya Utsman, mereka masih bersatu dengan masyarakat, tidak ada perpecahan.
Beberapa penulis aliran dalam Islam berpendapat, salah satu penyebab utama munculnya Al-Murji’ah adalah karena kaum Khawarij mengkafirkan Ali dan Utsman, serta menyuarakan tahkim. Di kalangan Syiah ada pula yang mengkafirkan Abu Bakar, Umar, Utsman, dan para pendukung mereka.
Keduanya sama-sama mengkafirkan Umawiyyun, membunuh dan memburu mereka. Masing-masing kelompok mengaku benar, sedangkan yang lain kafir. Kemunculan Al-Murji’ah berdamai dengan semua kalangan, tidak mengkafirkan salah satu dari mereka. Menurutnya, ketiga kelompok (Khawarij, Syiah, dan Umawiyyun) adalah orang-orang mukmin. Sebagian dari mereka salah, dan sebagian yang lain benar.
Benih kelompok ini bersemi di tengah para sahabat. Beberapa sahabat Rasulullah SAW tidak mau terlibat dalam sengketa di akhir masa Utsman bin Affan, seperti halnya Abdullah bin Umar. Salam bin Miskin Al-Azdi berkata, “Ketika Utsman bin Affan dibunuh, mereka berkata kepada Abdullah bin Umar, ‘Kamu adalah pemimpin masyarakat, dan putra pemimpin. Keluarlah, biar masyarakat membaiatmu.
Mengenai fitnah (pembunuhan) Utsman bin Affan, Sa’ad bin Abi Waqqash menegaskan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Suatu saat nanti, yang duduk lebih baik daripada yang berdiri, yang berdiri lebih baik daripada yang berjalan, dan yang berjalan lebih baik daripada yang berlari-lari kecil.”
Pada malam pembunuhan itu Al-Ahnaf bin Qais At-Tamimi keluar membawa senjata. Tiba-tiba ia bertemu dengan Abu Bukrah. Ia bertanya kepada Al-Ahnaf, “Mau ke mana kamu?” Al-Ahnaf menjawab, “Aku ingin menolong putra paman Rasulullah SAW.
Kemudian ia mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Jika dua muslim saling berhadapan sambil memegang pedang, maka keduanya adalah penghuni neraka.” Ada yang bertanya, “Ya bagi yang membunuh, bagaimana dengan yang dibunuh?” Rasulullah menjawab, “Dia sebenarnya ingin membunuh temannya (juga).
Inilah iklim yang memicu munculnya kelompok Al-Murji’ah.
Para sahabat yang tidak mau terlibat dalam fitnah itu adalah orang-orang pertama kelompok Al-Murji’ah di awal masa-masa Islam. Sebab, mereka menunda urusan manusia hingga hari kiamat, dan menyerahkan keputusan seluruh perbuatan manusia kepada Allah Swt.
Mereka bersikap sama terhadap muslim yang terlibat dalam Perang Shiffin, tidak menyalahkan yang satu, tidak pula membenarkan yang lain. Bahkan, tidak menumpahkan darah salah satu dari mereka. Alih-alih, persoalan mereka telah menyulitkan mereka juga.
Pengertian Istilah Al-Murji’ah
Nama ini dipakai beberapa kelompok dan golongan, diambil atau dinisbatkan pada kata al-irja’. Kata irja’ mengandung dua makna: Pertama, penundaan. Kedua, memberi harapan.
Ada juga yang mengatakan, al-irja’ berarti menunda hukum pelaku dosa besar sampai hari kiamat. Jadi, tidak diputuskan di dunia, apakah ia masuk neraka atau surga. Atas dasar itu, Al-Murji’ah dengan Al-Wa’idiyah sama saja.
Sebab, mereka menunda urusan orang-orang yang bertikai dan menumpahkan darah hingga hari kiamat. Mereka tidak memutuskan hukum apa-apa bagi kedua belah pihak. Kecenderungan makna ini didukung oleh orang-orang yang menulis sejarah Al-Murji’ah.
Ada pula yang berpendapat, al-irja’ itu berarti mengakhirkan derajat Ali dari yang pertama menjadi yang keernpat. Pemaknaan seperti ini, menjadikan Al-Murji’ah sama dengan Syiah.
Sementara itu, makna terminologis Al-Murji’ah tidak bisa dilepaskan dari makna leksikalnya. Kelompok Al-Murji’ah ini termasuk yang melakukan penundaan keputusan hukum bagi pelaku maksiat di kalangan umat Islam hingga hari kebangkitan.
Meski begitu, istilah al-irja’ dalam pemikiran Islam terkadang dimaknai sebagai perbedaan antara iman yang diklaim sebagai pembenaran dengan hati, keyakinan yang tidak terlihat dengan amal sebagai kegiatan yang kasat mata dan merepresentasikan keimanan di dalam hati.
Alasan pembedaan ini adalah penolakan keras untuk menghukumi akidah manusia, apapun kedudukan dan kekuasaannya. Selama perbuatan tidak merepresentasikan akidah, tidak ada jalan untuk menghukumi kepercayaan. Jika demikian yang bisa kita lakukan adalah menunda keputusan hukum atas akidah dan keimanaan hingga hari perhitungan. Itulah waktu yang tepat.
Itu adalah wewenang Sang Pencipta semata, tak seorang makhluk pun berwenang melakukan itu dalam kehidupan di dunia. Maka, al-irja’ seolah-olah bermakna memberikan harapan, dan Al-Murji’ah adalah yang memberi harapan.
Golongan Al-Murji’ah
Seorang penulis sejarah golongan, Al-Asy’ari mengatakan bahwa Al-Murji’ah memiliki 12 golongan, antara lain, Al-Jahmiyah, Al-Bukhariyah, Al-Aqlaniyyah, Al-Hanafiyah, dan Al-Murisiyah.
Berbeda dengan Al-Asy’ari, Al-Baghdadi mengatakan bahwa Al-Murji’ah terdiri dati tiga golongan, yaitu:
1. Al-Murji’ah yang menyuarakan takdir dan harapan.
2. Al-Murji’ah yang cenderung pada pendapat Jahm dalam hal perbuatan,
akan tetapi mereka menyuarakan al-irja’ dalam hal keimanan.
3. Al-Murji’ah menyuarakan al-irja’ saja, tidak mencampuradukkan
dengan takdir atau jabr (keterpaksaan manusia).
Sementara itu, Asy-Syahrastani menyebutkan empat golongan Al-Murji’ah, yaitu:
1. Murji’ah Al-Khawarij.
2. Murji’ah Al-Qadariyah.
3. Murji’ah Al-Jabariyah.
4. Murji’ah murni.
Karakter dasar Al-Murji’ah merujuk pada masalah-masalah keagamaan yang berhubungan dengan keimanan dan kekafiran, juga hubungan antara amal saleh dengan keimanan. Adapun politik dan perebutan kekuasaan memunculkan narasi Al-Murji’ah dengan beragam trennya.
Oleh karena itu, tidak ada cara lain untuk mengenal mereka, kecuali melalui lingkungan pertumbuhannya. Kita bisa melihat tren mereka melalui eskalasi politik yang melingkupinya, khususnya pada mereka yang lari meninggalkan golongannya, tidak berpihak kepada Ali dan tidak pula pada lawannya.
Mereka menegaskan bahwa kelompoknya tidak mau masuk ke dalam pusaran fitnah di kalangan para sahabat. Mereka terdiri dari Abdullah bin Umar, Sa’ad bin Abi Waqqash, Muhammad bin Mablamah Al-Anshari, Usamah bin Zaid bin Haritsah Al-Kalbi (budak Rasulullah).
Di tengah banyaknya nama-nama golongan Al-Murji’ah dapat dikatakan bahwa tema sentral kajian mereka menyangkut batasan keimanan dan kekafiran, serta definisi mukmin dan kafir.
Kajian ini memicu Khawarij mengkafirkan yang lain, begitu pula Syiah. Mereka menganggap setiap pelaku dosa besar itu kafir. Bahkan, Syiah cenderung berlebihan karena mereka menganggap percaya terhadap imam merupakan salah satu rukun fundamental keimanan.
Kalangan Al-Murji’ah memandang iman sebagai makrifatullah (mengenal Allah) dan Rasul-Nya. Barangsiapa mengenal bahwa tidak ada Tuhan yang patut disembah selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah, berarti ia mukmin.
Inilah bantahan Al-Murji’ah atas Khawarij yang mengatakan bahwa iman itu adalah makrifatullah (mengenal Allah) dan Rasul-Nya, melaksanakan kewajiban, dan menahan diri dari dosa besar. Barang siapa beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, tetapi meninggalkan kewajiban dan mengerjakan sebagian dosa besar, maka ia adalah mukmin menurut Al-Murji’ah, tetapi kafir menurut Khawarij.
Ini juga merupakan bantahan Al-Murji’ah atas Syiah yang percaya bahwa iman terhadap imam dan menaatinya merupakan bagian dari keimanan.
(Penulis: Muhammad Ruslan)