KABARIKA.ID, MAKASSAR – Ibnu Taimiyah cenderung menyalahkan Al-Murji’ah. Menurutnya, pangkal kesalahan itu merujuk pada dua faktor. Pertama, persepsi mereka bahwa iman itu semua sama. Menurut mereka, iman para malaikat, Nabi, dan manusia itu sama. Padahal, konsekuensi dari keimanan yang diwajibkan Allah atas mereka jelas-jelas berbeda. Yang diwajibkan kepada malaikat, belum tentu diwajibkan kepada manusia atau yang lain.
Yang dimaksud di sini bukan soal perbuatan semata, tetapi juga kepercayaan dan pembenaran dengan hati.
Kedua, Al-Murji’ah tidak membedakan keimanan manusia berdasarkan perbuatannya. Keimanan orang yang menunaikan kewajiban, tentu tidak sama dengan yang menelantarkan sebagian. Keimanan seorang pencuri, pezina, dan penenggak khamar tentu tidak sama dengan yang lain.
Akidah Al-Murji’ah terkesan menyimpan beberapa misteri. Barangkali itu terjadi karena Daulah Abbasiyah mempersempit ruang gerak kelompok ini. Bahkan, mematikan suara akidah ini. Sebab, Al-Murji’ah disinyalir mendukung Umawiyyun. Maka, pasca masa pemerintahan Umawiyah, kelompok ini mencair ke dalam beberapa kelompok yang lain.
Hubungan Imam Abu Hanifah dengan Al-Murji’ah
Di kalangan ahlul hadits, Imam Abu Hanifah dikenal sebagai Murji’ah As-Sunnah. Para penulis al-maqalah juga menyebutnya begitu. Menurut Asy-Syahrastani, disebut begitu, karena ketika ia mengatakan bahwa iman itu adalah pembenaran dengan hati, dan itu tidak bertambah atau berkurang, mereka mengira ia menunda hukum atas perbuatan dari hukum tentang iman.
Akan tetapi, mungkin juga karena sebab yang lain, yaitu karena ia berseberangan dengan Qadariyah dan Mu’tazilah yang lebih dulu muncul. Istilah murji’ disandangkan Mu’tazilah pada setiap yang berseberangan dengannya di dalam masalah qadar. Begitu pula sekte Al-Wa’idiyah di kalangan Khawarij.
Apakah Al-Murji’ah mewajibkan imamah? Ibnu Hazm dalam kitab Al-Fashl mengatakan bahwa Al-Murji’ah dan kelompok yang lainnya, seperti Ahlu Sunnah, Syiah, dan semua sekte di dalam Khawarij kecuali An-Najdat, mewajibkan imamah. Selain itu, mewajibkan loyalitas umat kepada seorang imam yang adil, menegakkan hukum Allah dan memimpin mereka berdasarkan syariat yang dibawa Rasulullah SAW.
Jika imamah itu wajib dalam pandangan Al-Murji’ah sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Hazm, apakah itu hanya berlaku di kalangan Quraisy, ataukah boleh juga dilaksanakan di wilayah lain?
Pendapat-pendapat yang kuat menegaskan bahwa Al-IMurji’ah tidak mempersyaratkan kesukuan Quraisy dalam soal imamah. Beberapa kitab ilmu kalam menyebutkan bahwa orang-orang yang menisbatkan diri mereka pada Al-Murji’ah, seperti Abu Marwan Ghailan Ad-Dimasyqi yang oleh sebagian penulis sejarah aliran disebut sebagai pengikut Tsawban Al-Murji’i, berpendapat bahwa imamah boleh di luar Quraisy.
Imam Abu Hanifah tidak memastikan bahwa pelaku dosa besar akan disiksa di akhirat. Ia menyerahkan urusannya kepada Allah. Jika Allah berkehendak menyiksa, Dia akan menyiksanya. Akan tetapi, jika dikehendaki untuk diampuni, Dia akan mengampuninya.
Dia mengutip ayat Al-Quran: “Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba-Mu, dan jika Engkau mengampuni mereka, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa, Maha Bijaksana“. (Al-Ma’idah [5]: 118).
Menurut pendapat yang paling kuat, inilah makna yang dimaksud oleh Imam Abu Hanifah, yang oleh Al-Wa’idiyah disebut irja’. Sebab menurut mereka, Allah akan menyiksa setiap mukmin yang bermaksiat. Atas dasar itulah kemudian Abu Hanifah disebut murji’.
Maksudnya, mereka menunda atau mengakhirkan ketetapan hukum atas mukmin (yang bermaksiat) hingga hari kiamat. Biarlah Allah yang menentukan hukum atas mereka. Jadi, istilah irja’ tidaklah disandangkan kepada Imam Abu Hanifah berdasarkan makna terminologis atau kebiasaan.
Al-Murji’ah dan Batasan Kekafiran
Dalam menetapkan kekafiran, Al-Murji’ah terbagi menjadi dua golongan. Golongan pertama berpendapat, kekafiran itu satu macam, yaitu aljahlu billah (tidak mengenal Allah). Mereka adalah Al-Jahmiyah.
Golongan kedua berpendapat, kekafiran itu banyak macamnya, bisa terjadi dengan hati atau yang lain. Tidak mengenal Allah itu kafir, begitu pula sombong dan angkuh terhadap-Nya. Selain itu, berbohong kepada Allah dan Rasul-Nya dengan hati, atau menganggap remeh kepada Allah dan Rasul-Nya.
Mayoritas Al-Murji’ah tidaklah mengafirkan seseorang, kecuali sepakat dikafirkan oleh umat. Seluruh kalangan Al-Murji’ah sepakat bahwa dunia ini adalah dunia iman. Seluruh penghuninya dihukumi beriman, kecuali yang tampak menyalahinya. Selain itu, pendapat mengenai fana’-nya surga dan neraka juga dinisbatkan kepada Al-Murji’ah. Juga bahwa Allah tidak boleh mengabadikan penghuni surga abadi di surga, dan penghuni neraka abadi di neraka.
Mereka juga berbeda pendapat mengenai ampunan bagi pelaku dosa besar dengan tobat. Dalam hal ini, mereka terbagi menjadi dua golongan. Kelompok pertama mengatakan, Allah Swt mengampuni pelaku dosa besar, asal ia bertobat. Ampunan ini merupakan anugerah Allah Swt, bukan hak yang harus ditunaikan.
Kelompok kedua berpendapat, ampunan Allah bagi pelaku dosa besar yang bertobat adalah hak.
Poin-poin penting yang dapat kita intisarikan dari sejarah kelahiran kelompok atau aliran Al-Murji’ah adalah sebagai berikut:
Al-Murji’ah tergolong kelompok yang muncul di awal masa-masa Islam, seiring masalah tahkim yang mengemuka kala itu. Di masa kemunculannya, Al-Murji’ah dikenal sebagai kelompok yang moderat dan adil. Mereka menolak penyelesaian masalah dengan pedang. Kehadiran mereka pun disambut baik oleh pemerintah Umawiyah.
Makna irja’ bagi kelompok ini lebih fokus pada sikap mereka yang membedakan antara pembenaran dengan perbuatan. Pernyataan mereka ini berbuah buruk, antara lain, prinsip terkenal yang menyatakan bahwa ketaatan dalam kekafiran tidaklah memberikan manfaat, sedangkan maksiat dalam keimanan tidak berbahaya. Akibatnya, amalan dan syiar agama disepelekan.
Terjadi diversifikasi antara perkataan dengan perbuatan. Ini pemahaman konsep irja’ yang kebablasan. Kelompok ini harus bertanggung jawab, termasuk pengikutnya yang tidak berpandangan seperti itu. Iklim pemikiran yang cenderung permisif dan menyebarkan dogma irja’, telah memberikan ruang bagi masuknya akidah yang keluar dari Islam, seperti Majusi, Manawiyah, Mazdakiyah, dan sebagainya.
Terkait dengan imamah. Al-Murji’ah membolehkan diselenggarakannya baiat terhadap dua imam di dua wilayah yang berbeda. Misi politis mereka adalah menetapkan imamah bagi Muawiyah di Syam atas kesepakatan para pengikutnya di sana, juga menetapkan imamah bagi Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib di Madinah dan Irak atas kesepakatan para sahabat.
Mereka membenarkan perkataan dan perbuatan Muawiyah, seperti memburu pembunuh Utsman bin Affan dengan dibiayai dari Baitul Mal.
Di antara pendapat Al-Murji’ah dalam hal imamah yang dipengaruhi oleh pemikiran politik Khawarij adalah perlawanan mereka dalam pemikiran keagamaan, yaitu bahwa khilafah sepatutnya dipilih dari muslim terbaik melalui pemilihan yang bersifat mutlak, dan tidak disyaratkan harus dari kalangan Quraisy.
Berbeda dengan Syiah yang menjadikan loyalitas terhadap imam sebagai pokok ajaran agama, Al-Murji’ah justru mengatakan bahwa keberagamaan tidak ada hubungannya dengan dunia politik.
Mereka juga mempersiapkan iklim pemikiran untuk menyambut hukum ini. Mereka menolak pandangan-pandangan Syiah yang tidak mau bergabung di bawah panji kekhalifahan, kecuali melalui dasar-dasar politik.
(Penulis: Muhammad Ruslan)