KABARIKA.ID, MAKASSAR – Masyarakar internasional memperingati 30 tahun Hari Kebebasan Pers Sedunia atau World Press Freedom Day hari ini, 3 Mei 2023. Peringatan ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran mengenai pentingnya kebebasan wartawan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Tujuan lain pringatan Hari Kebebasan Pers Sedunia adalah untuk mengingatkan pemerintah atas kewajibannya untuk menghormati, menjunjung tinggi, dan menghargai hak kebebasan berekspresi.

Hak kebebasan berekspresi seakan menjadi norma dasar dan faktor utama eksistensi pers.

Tema peringatan Hari Kebebasan Pers Sedunia tahun ini yang ditetapkan oleh UNESCO adalah “Shaping a Future of Rights: Freedom of Expression as a Driver for all other human rights”. (Membentuk Masa Depan Hak Asasi: Kebebasan Berekspresi sebagai Pendorong bagi Semua Hak Asasi Manusia Lainnya).

Direktur Jenderal UNESCO Audrey Azoulay mengatakan, selama 30 tahun terakhir perayaan Hari Kebebasan Pers Sedunia telah membawa kita dalam sebuah perjalanan, menonjolkan hak atas kebebasan berekspresi dan menekankan berbagai aspek pentingnya kebebasan pers.

“Namun, dalam menghadapi berbagai krisis, kebebasan media, keamanan jurnalis, dan kebebasan berekspresi, serta hak asasi manusia lainnya semakin diserang,” ujar Azoulay.

Benarkah Eropa Mendukung Kebebasan Pers?

Negara-negara Eropa selama ini mengklaim diri sebagai pembela kebebasan pers, kebebasan berekspresi dan kebebasan menyampaikan pendapat di seluruh dunia. Namun banyak laporan yang menyebutkan bahwa Uni Eropa bertindak sebaliknya, dan membungkam kebebasan pers.

Komite Perlindungan Wartawan atau CPJ (Committee to Protect Journalists) dalam sebuah studi baru yang diterbitkan pada hari Rabu (26/4/2023) mengungkapkan bahwa awak media di Uni Eropa dibungkam dan dipaksa untuk tetap diam.

Simbol berduka atas pembunuhan jurnalis saat melaksanakan tugas di berbagai belahan dunia. (Foto: Unesco)

Dalam penelitiannya, komite tersebut mengungkapkan bahwa beberapa pemerintah dan negara Eropa telah memperketat pembatasan kontrol atas media sejak merebaknya virus Covid-19.

Langkah untuk mengontrol media tersebut dilakukan ketika Uni Eropa telah mengajukan Undang-Undang Kebebasan Media Eropa pada September 2022 untuk melindungi jurnalis, namun ternyata UU itu hanya di atas kertas.

Berdasarkan laporan CPJ, banyak negara telah menerapkan undang-undang seperti itu sesuai keinginan mereka, bahkan mereka menggunakan perangkat lunak penyadap untuk memata-matai jurnalis.

Tom Gibson, pengacara CPJ di Eropa mengatakan, pihaknya menyaksikan peningkatan harian dalam gangguan secara online dan ancaman digital oleh orang-orang yang sangat kaya dan berkuasa terhadap para jurnalis yang ingin membungkam mereka melalui tuntutan hukum dan pengaduan.

Dengan melihat standar ganda Barat, termasuk Uni Eropa, terkait kebebasan berbicara dan berpendapat, terutama kebebasan media menunjukkan bahwa isu ini hanya berlaku ketika mempertanyakan isu atau negara-negara yang ditarget Barat seperti mengenai isu Rusiafobia, Iranofobia, atau Islamofobia.

Negara-negara Eropa yang selalu menekankan dukungannya terhadap hak asasi manusia dan mendukung kebebasan, termasuk kebebasan berbicara dan media, tetapi pada praktiknya, tindakan mereka bertentangan dengan slogan ini.

Mereka telah mencegah dan menghalangi penyiaran yang dilakukan oleh media-media yang tidak sejalan dengan kepentingan mereka seperti Press TV milik Iran atau Russia Today, dan sebaliknya, mereka telah mendukung secara terbuka dan diam-diam terhadap media-media yang sejalan dengan kebijakan Barat.

Pada akhir Februari 2022, Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen mengumumkan pelarangan aktivitas media Rusia, termasuk kantor berita Sputnik dan jaringan Russia Today di Uni Eropa.

Dia menekankan bahwa Uni Eropa melarang aktivitas “mesin media Kremlin” di Uni Eropa, dan dua media, Russia Today dan Sputnik, tidak lagi dapat mempublikasikan konten mereka di Uni Eropa untuk membenarkan perang yang dilancarkan Vladimir Putin ke Ukraina dan menciptakan perpecahan di Uni Eropa.

“Kami sedang mengembangkan alat untuk melarang dan mencegah informasi keliru dan beracun di Eropa,” Leyen.

Josep Borrel, Perwakilan Tinggi Uni Eropa untuk Urusan Luar Negeri dan Kebijakan Keamanan, pada awal Februari 2023 menyinggung definisi baru kebebasan berekspresi. Dia mengklaim bahwa pelarangan penyiaran media Rusia di negara-negara Eropa adalah pembelaan atas kebebasan berekspresi.

“Dengan melakukan ini (melarang siaran media Rusia di Eropa), kami tidak menyerang kebebasan berbicara, tetapi kami membela kebebasan berbicara,” kata Borrel dalam pidatonya di sebuah konferensi untuk memerangi informasi palsu (hoaks).

Menurut Borrel, melarang penyiaran media Rusia di Uni Eropa tidaklah cukup. “Kita harus maju lagi. Kita harus memahami di mana pusat yang memberikan informasi keliru ini, dan dari mana koordinasinya, kita harus mengidentifikasi pelakunya, dan menemukan sumbernya,” papar Borrel.

Jerman Catat Rekor Kejahatan terhadap Pers

Sebuah laporan dari polisi federal Jerman mengungkap bahwa serangan terhadap jurnalis telah meningkat tiga kali lipat selama empat tahun terakhir. Seperlima di antaranya berkaitan langsung dengan protes virus corona.

Layanan pelaporan nasional dari Polisi Kriminal Federal Jerman (BKA) mencatat ada sebanyak 320 tindakan kriminal terhadap jurnalis pada 2022. Angka kejahatan ini adalah yang tertinggi sejak tahun 2016, di mana pengumpulan data kejahatan semacam itu pertama kali dilakukan di Jerman.

Pekerja media melakukan unjuk rasa memprotes penembakan terhadap jurnalis kriminal ternama Belanda, Peter R. de Vries saat dia meninggalkan studio televisi di Amsterdam, pada 6 Juli 2021. (Foto: DW)

Surat kabar Jerman, Welt, dengan mengutip laporan tersebut menyebutkan bahwa dari 320 serangan bermotif politik terhadap media, 46 di antaranya adalah tindakan yang melibatkan kekerasan, 41 melibatkan ancaman, 31 melibatkan kerusakan properti, dan 27 melibatkan penghasutan.

Saxony menjadi negara bagian dengan daftar kejahatan terbanyak, yaitu 69 kejahatan. Diikuti Berlin dengan 66 kejahatan, dan Bayern dengan 40 kejahatan. Sementara di negara bagian terpadat Jerman, North Rhine-Westphalia, tercatat sekitar 20 kejahatan.

Statistik yang dikutip oleh Welt dan beberapa media Jerman lain tersebut menunjukkan bahwa tingkat kejahatan yang menargetkan media di Jerman telah meningkat tiga kali lipat selama empat tahun terakhir. Di tahun 2018, tercatat sebanyak 93 serangan terhadap media.

Sepanjang tahun 2022 sebanyak 67 pekerja media terbunuh. Angka ini meningkat 50 persen dari tahun sebelumnya. Hampir tiga perempat jurnalis perempuan pernah mengalami kekerasan online, dan satu dari empat diancam secara fisik.
Sepuluh tahun yang lalu, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) membentuk Rencana Aksi Keselamatan Jurnalis untuk melindungi pekerja media dan mengakhiri impunitas atas kejahatan yang dilakukan terhadap mereka.

“Pada hari ini dan setiap Hari Kebebasan Pers Sedunia, dunia harus berbicara dengan satu suara. Hentikan ancaman dan serangan. Berhenti menahan dan memenjarakan jurnalis karena melakukan pekerjaan mereka. Hentikan kebohongan dan disinformasi. Berhenti menargetkan kebenaran dan pengungkap kebenaran. Saat jurnalis membela kebenaran, dunia mendukung mereka,” ujar Sekjen PBB Antonio Guterres, dalam pidatonya memperingati World Press Freedom Day 2023. (rus)