KITA hidup di era stackvalisme. Era ujung jari. Era perang media lewat ujung jari. Orang saling mempengaruhi menggunakan media di ujung jari mereka. Pandemi informasi menyebar secara masif tanpa terkontrol.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Masyarakatpun tenggelam dalam lautan kebingungan. Mereka tidak bisa menentukan mana yang benar dan mana yang salah. Yang benar dan palsu hanya dipisahkan oleh sebuah garis abu-abu yang tipis, yaitu media dan media sosial.

Media seolah menjadi penentu siapa yang benar dan yang salah. Media dan media sosial berkembang menjadi metasintesis of everything. Menjadi rujukan dari segala rujukan. Manusia menjadi bukan siapa-siapa, tetapi menjadi wakil terhadap apa yang media tanam dalam pikiran mereka. Mereka menjadi representative media. Human of media.

Orang hebat bukan lagi orang yang benar dan bicara kebenaran. Bukan lagi pemikir berdasar bukti ilmiah. Tetapi orang yang punya banyak followers. Yang kontennya meraih banyak ‘likes’.

Menyebarkan pembenaran tidak lagi dilakukan dengan menggunakan argumentasi berbasis bukti tetapi menggunakan buzzers dan influencers.

Jumlah followers dan likes seolah menjadi ukuran kebenaran. Orang dengan ribuan atau jutaan followers dianggap ‘Queen of Truth’. Padahal followers-nya bisa saja abal-abal dan tanpa arti.

Orang bisa follow orang lain tanpa ada aturan. Tanpa ada kriteria. Blind followers. Jutaan followers tidak berarti jutaan suka dan setuju.

Orang-orang bentrok setiap hari. Mereka mengklaim berbicara kebenaran. Padahal mereka tidak berjuang untuk kebenaran; mereka berjuang untuk apa yang media katakan sebagai kebenaran.

Mereka berjuang bukan untuk martabat diri dan pikirannya tetapi untuk martabat media.

Manusia selalu mengklaim diri sebagai manusia super. Mengklaim ‘super-human’. Namun, hal ini tidaklah benar.

Mereka adalah homo-sapiens secara fisik, tetapi otak mereka telah ditanami dengan ‘mikrochip informasi, nilai, dan keyakinan’ yang disebar oleh media.

Karena mikrochip ini, mereka berjalan dan berpikir bukan lagi atas nama dirinya tetapi atas nama mikrochip media yang tertanam dalam otak mereka.

Orang-orang bertengkar setiap hari. Saat ada pihak yang mengklaim dirinya benar, orang lain segera melakukan hal yang sama. Sampai pada titik ini masih wajar; tidak ada masalah. Setiap pihak memiliki hak untuk menyatakan bahwa mereka benar.

Ketidakadilan terjadi ketika mereka yang berteriak tentang kebenaran melangkah ke garis batas dan menyalahkan orang lain. Mereka menganggap diri mereka sebagai kebenaran mutlak.

Mereka adalah satu-satunya yang benar, sedangkan yang lain salah. Mereka adalah ‘messenger of truth’. Pada titik ini, fenomena ini menjadi aneh dan tidak adil. Refleksi keangkuhan.

Mestinya mereka bertanya: apa yang mempengaruhi keputusan anda untuk benar sementara yang lain salah? Nilai-nilaimu, pengetahuanmu, prinsip-prinsipmu? Bagaimana dengan nilai dan pengetahuan orang lain; apakah mereka salah? Apakah kamu ‘suara guntur kebenaran’?

Benar dan salah semakin membingungkan di era stackvalisme ini. Orang saling mengklaim bahwa mereka benar.

Bahkan jika engkau memiliki keadekuatan tingkat tinggi dalam pengetahuan, etika dan pengalaman, bersiaplah mengalami hal tak terduga: bahwa orang yang minim pengetahuan, pengalaman dan etika justru dengan arogan menyalahkanmu.

Orang yang tidak adekuat justru menertawai orang adekuat. Selamat datang di era stackvalisme. Miris, tetapi itulah kenyataan. “Welcome, sir. You are onboard…”. (***).