KABARIKA.ID, MAKASSAR – Ada dua peristiwa tragedi berdimensi rasial yang terjadi pada tanggal 13 Mei, meskipun berselang 33 tahun. Di Malaysia terjadi pada 1969 terkait momentum Pemilu ketika itu, sedangkan di Indonesia terjadi pada 1998 dipicu aksi penembakan terhadap mahasiswa universitas Trisakti yang terjadi sehari sebelumnya. Peristiwa lainnya yang terjadi pada 13 Mei adalah percobaan pembunuhan terhadap Paus Yohanes Paulus II di Vatican City pada 1981.
13 Mei 1950 – Balap Mobil Formula Satu Pertama Kali Digelar
Balap mobil Formula Satu yang disingkat F1 adalah kelas tertinggi balap mobil kursi tunggal yang diatur oleh Federasi Otomotif Internasional (FIA) dan dimiliki oleh Formula One Group.
Kata formula pada “Formula Satu” mengacu pada peraturan dan regulasi yang harus diikuti semua peserta. Formula Satu terdiri dari sejumlah seri balapan yang dikenal dengan istilah Grand Prix. Balapan-balapan tersebut diselenggarakan, baik dalam sirkuit yang dibangun khusus atau jalan raya tertutup.
Hasil setiap balapan dihitung menggunakan sebuah sistem poin untuk menentukan dua gelar juara dunia: satu untuk pembalap, dan satu lagi untuk konstruktor. Setiap balapan harus mempunyai Super Licence, kelas izin balapan paling tinggi yang diberikan oleh FIA.
Balapan-balapan F1 harus diselenggarakan di sirkuit berperingkat “1” (dulu “A”), yang merupakan peringkat sirkuit tertinggi dalam sistem peringkat FIA.
Mobil Formula Satu adalah mobil balap tercepat di dunia, karena kecepatan tinggi saat menikung yang dihasilkan oleh aerodinamika gaya turun yang besar. Sebagian besar gaya turun tersebut berasal dari sayap depan dan belakang, yang memiliki efek samping, yaitu turbulensi di belakang mobil.
Pada musim 2022, terdapat perubahan besar pada regulasi mobil yang menggunakan lebih banyak aerodinamika efek tanah, dan sayap mobil yang diubah untuk mengurangi turbulensi di belakang mobil. Ini bertujuan untuk membuat penyalipan lebih mudah dilakukan.
Seri Formula Satu berakar pada seri Kejuaraan Eropa dari Grand Prix mobil sekitar 1920-an dan 1930-an. Sejumlah organisasi balap grand prix membuat sejumlah aturan untuk kejuaraan dunia sebelum Perang Dunia II.
Dengan alasan penundaan karena perang, kejuaraan dunia pembalap tidak diformalkan sampai 1947 dan berlangsung untuk pertama kalinya pada 1950. Kejuaraan dunia konstruktor kemudian menyusul pada 1958.
Balapan Formula Satu tanpa gelar diselenggarakan bertahun-tahun, tetapi dikarenakan membengkaknya biaya kompetisi mengakibatkan kompetisi ini berakhir pada awal 1980-an.
Gelar juara dunia Formula Satu pertama kali dimenangkan oleh pembalap asal Italia Giuseppe Farina dengan mobilnya Alfa Romeo pada tahun 1950, dengan mengalahkan rekan setimnya, pembalap Argentina, Juan Manuel Fangio.
Akan tetapi, Fangio memenangkan gelar juara dunia pada 1951 dan empat kali pada enam tahun berikutnya. Fangio kemudian menjadi legenda yang mendominasi tahun-tahun pertama kompetisi Formula Satu.
13 Mei 1969 – Kerusuhan Rasial di Malaysia
Kerusuhan rasial antara etnis Tionghoa dan orang Melayu di Kuala Lumpur, Malaysia pada 13 Mei 1969 telah merenggut nyawa sebanyak 184 orang. Insiden ini juga adalah puncak permasalahan pembauran di Malaysia dan punya kaitan erat dengan Pemilu atau Pilihan Raya Umum pada 10 Mei 1969. Peristiwa ini merupakan satu titik hitam dalam sejarah Malaysia.
Pada Pemilu 10 Mei 1969, koalisi aliansi yang memerintah diketuai oleh United Malays National Organization (UMNO) mengalami kekalahan terbesar sejak 1955, walaupun masih tetap memenangkan Pemilu.
Partai terbesar golongan Tionghoa Democratic Action Party dan Gerakan mendapat suara dalam pemilihan, dan berhak untuk mengadakan pawai kemenangan melalui jalur yang telah ditetapkan di Kuala Lumpur.
Namun, pawai jadi berisik, kasar, dan menyimpang dari jalurnya dan mengarah ke distrik Melayu Kampong Bahru, mengolok-olok penduduknya dengan spanduk berbau rasis bertulis “Malai Si” yang dalam bahasa Tionghoa berarti “Mampus Melayu”.
Meskipun Partai Gerakan langsung mengeluarkan permintaan maaf keesokan harinya, UMNO mengumumkan pawai tandingan mulai dari kepala negeri Selangor Dato’ Harun bin Idris di Jalan Raja Muda untuk merayakan kemenangan mereka.
Para pengunjuk rasa (orang Melayu) yang marah mulai berkumpul, termasuk organisasi-organisasi yang membela nasib orang Melayu di negara itu, seperti Gang Parang Terbang (Bugis), Gang Parang Panjang, Gang Sungai Manik, Gang Selendang Merah (Pesilat) dan ratusan orang Melayu lainnya datang dari berbagai partai.
Mereka bersatu di bawah satu atap, kemudian dengan cepat mengadakan pembalasan dengan menganiaya dua pengendara sepeda motor beretnis Tionghoa yang sedang lewat, dan kerusuhan pun meledak.
Perusuh kemudian mulai beraksi di ibu kota Kuala Lumpur dan wilayah sekitar negeri Selangor. Keadaan darurat nasional dan jam malam diumumkan pada 16 Mei, tetapi jam malam dikurangi di beberapa bagian di negara tersebut pada 18 Mei dan dihilangkan dalam waktu seminggu kemudian di pusat Kuala Lumpur.
Menurut data polisi, 184 orang meninggal dan 356 terluka, 753 kasus pembakaran dicatat dan 211 kendaraan hancur atau rusak berat. Sumber lain menyebutkan, jumlah yang meninggal sekitar 196 orang atau bahkan lebih dari 200 orang. Beberapa memperkirakan jumlah kematian bahkan mencapai 700 orang sebagai akibat dari kerusuhan.
Isu-isu golongan dan ras yang menyentuh emosi dan sentimen menjadi tema utama sepanjang kampanye Pemilu 1969 yang mengakibatkan meningkatnya semangat masyarakat Melayu dan Tionghoa di Malaysia. Selama kampanye Pemilu 1969, para calon serta anggota-anggota partai politik, khususnya dari partai oposisi, mengangkat soal-soal sensitif yang berkaitan dengan bahasa nasional (Bahasa Melayu), kedudukan istimewa orang Melayu (Bumiputera) dan hak kerakyatan warga non-Melayu. Hal ini menimbulkan sentimen rasial dan kecurigaan.
13 Mei 1981 – Upaya Pembunuhan terhadap Paus Yohanes Paulus II
Pada 13 Mei 1981, terjadi upaya pembunuhan terhadap Paus Yohanes Paulus II di Vatican City. Di saat menyapa para umat di Lapangan Santo Petrus itu, Sri Paus ditembak sebanyak empat kali dan roboh.
Dari empat kali tembakan, dua mengenai perut, satu di tangan kiri, dan sisanya di lengan kanan. Dalam sekejap mata, wajah Paus yang berasal dari Polandia itu pucat, hidupnya pun berada di ujung tanduk. Peristiwa itu terjadi pukul 17.15 waktu setempat.
Umat Katolik yang awalnya bersorak sorai menjerit ketika mobil kepausan (Popemobile) membawa Paus Yohanes Paulus II ke rumah sakit.
Pemimpin Gereja Katolik sejak 1978 sampai kematiannya di 2005 itu kehilangan tiga perempat darah dalam upaya pembunuhan tersebut.
Dia menjalani operasi selama lima jam, dan berhasil selamat. Namun yang membuatnya makin dihormati di seluruh dunia adalah, dia memutuskan memaafkan calon pembunuhnya, Mehmet Ali Agca.
Agca yang berasal dari Istanbul, Turki, menyebut Sri Paus sebagai “saudara”.
13 Mei 1998 – Kerusuhan Rasial di Jakarta
Pada 13-15 Mei 1998 terjadi kerusuhan rasial khususnya di ibu kota Jakarta, yang menyasar etnis Tionghoa. Selain di Jakarta, kerusuhan rasial juga terjadi di beberapa kota lain di Indonesia.
Kerusuhan ini berawal dari krisis finansial Asia dan dipicu tragedi Trisakti yang mengakibatkan empat mahasiswa Universitas Trisakti meninggal dunia pada demonstrasi 12 Mei 1998.
Pada kerusuhan ini banyak toko dan perusahaan dihancurkan oleh amukan massa, terutama milik warga Indonesia keturunan Tionghoa. Konsentrasi kerusuhan terbesar terjadi di Jakarta, Medan dan Surakarta.
Dalam kerusuhan tersebut, banyak warga Indonesia keturunan Tionghoa yang meninggalkan Indonesia. Tak hanya itu, seorang aktivis relawan kemanusiaan yang bergerak di bawah Romo Sandyawan, bernama Ita Martadinata Haryono, yang masih seorang siswi SMU berusia 18 tahun, disiksa, dan dibunuh karena aktivitasnya.
Amukan massa ini membuat para pemilik toko di kedua kota tersebut ketakutan dan menulisi muka toko mereka dengan tulisan “Milik pribumi” atau “Pro-reformasi” karena penyerang hanya fokus ke orang-orang Tionghoa. Beberapa dari mereka tidak ketahuan, tetapi ada juga yang ketahuan bukan milik pribumi.
Sampai bertahun-tahun berikutnya Pemerintah Indonesia belum mengambil tindakan apapun terhadap nama-nama yang dianggap aktor dari peristiwa kerusuhan Mei 1998. Pemerintah mengeluarkan pernyataan yang menyebutkan bahwa bukti-bukti konkret tidak dapat ditemukan atas kasus-kasus pemerkosaan tersebut, tetapi pernyataan ini dibantah oleh banyak pihak.
Sebab dan alasan kerusuhan ini masih banyak diliputi ketidakjelasan dan kontroversi sampai saat ini. Namun umumnya masyarakat Indonesia secara keseluruhan setuju bahwa peristiwa ini merupakan sebuah lembaran hitam sejarah Indonesia, sementara beberapa pihak, terutama pihak Tionghoa, berpendapat ini merupakan tindakan pembasmian (genosida) terhadap orang Tionghoa.
Walaupun masih menjadi kontroversi apakah kejadian ini merupakan sebuah peristiwa yang disusun secara sistematis oleh pemerintah atau perkembangan provokasi di kalangan tertentu hingga menyebar ke masyarakat.
Tidak lama setelah kejadian berakhir dibentuklah Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) untuk menyelidiki masalah ini. TGPF ini mengeluarkan sebuah laporan yang dikenal dengan “Laporan TGPF”.
Mengenai pelaku provokasi, pembakaran, penganiayaan, dan pelecehan seksual, TGPF menemukan bahwa terdapat sejumlah oknum yang berdasar penampilannya diduga berlatar belakang militer. Sebagian pihak berspekulasi bahwa Pangab saat itu (Wiranto) dan Pangdam Jaya Mayjen Sjafrie Sjamsoeddin melakukan pembiaran atau bahkan diduga kuat terlibat dalam provokasi kerusuhan ini. (rus)