KABARIKA.ID, MAKASSAR – Seorang senator Amerika Serikat (AS) dari Negara Bagian Florida, memperingatkan pemerintah AS mengenai keruntuhan dominasi Dolar AS di arena internasional dan berbagai dampaknya.
Marco Rubio mengatakan, sebagaimana dikutip koran The Hill edisi Rabu (17/5/2023), Cina saat ini sedang berusaha menggantikan Dolar AS dengan Yuan, sebagai mata uang yang paling banyak diperjual belikan di dunia.
Rubio menegaskan bahwa China telah mengakali sanksi AS terhadap Rusia, dengan membuka sistem transfer perdagangan independen dari bank-bank Barat.
Ia menambahkan, kemampuan AS dalam menghukum negara lain melalui sanksi keuangan dan perbankan, sekarang sedang ditantang oleh Yuan Cina, yang saat ini menjadi mata uang yang paling banyak diperdagangkan di Rusia.
Jika ekonomi Cina terus tumbuh, lanjut Rubio, maka akan lebih banyak negara di dunia yang masuk ke dalam orbit Cina, dan sistem keuangan alternatif yang baru muncul.
Oleh karena itu, senator AS ini mengusulkan dua solusi untuk mengatasi masalah dedolarisasi ini.
Pertama, AS harus merevitalisasi manufaktur dalam negeri karena untuk bertahan dan berkembang di era multipolar, AS harus mampu memproduksi semua barang mulai dari semikonduktor hingga obat-obatan.
Kedua, AS harus menjadi lebih baik, dengan menjaga sekutu-sekutu dan tidak mengandalkan negara lain yang mengikuti jejak AS secara standar.
“Untuk menghadapi pertumbuhan koalisi anti-AS yang digalang Cina, dan mempertahankan Dolar sekuat tenaga, AS harus membangun koalisinya sendiri,” tandas Rubio.
Popularitas Dolar Kian Redup
Indonesia mulai gencar menunjukkan upaya mengurangi ketergantungan terhadap Dolar AS melalui dedolarisasi. Bahkan pada Mei ini, Indonesia bekerja sama dengan Bank Sentral Korea Selatan dan beberapa negara Asia Tenggara untuk menggunakan mata uang lokal dalam transaksi perdagangan dan investasi.
Dedolarisasi ini sejalan dengan hasil KTT ke-42 ASEAN beberapa waktu lalu, saat negara-negara anggota ASEAN sepakat memperkuat implementasi transaksi mata uang lokal dan konektivitas pembayaran digital antarnegara. Keputusan ini relevan dengan tujuan sentralitas ASEAN agar regional ini makin kuat dan mandiri.
Langkah banyak negara mengurangi penggunaan Dolar AS terus meluas. Beberapa negara di dunia yang tergabung dalam aliansi BRICS, yaitu Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan, juga mulai menggaungkan rencana penggantian Dolar AS sebagai mata uang transaksi antarnegara.
Fenomena dedolarisasi ini terjadi akibat tingginya inflasi serta ketidakpastian global. Salah satu penyebabnya karena dalam beberapa tahun terakhir, AS mengalami defisit neraca pembayaran yang mengakibatkan mata uang berkode USD, relatif bergejolak dan sensitif terhadap isu global.
Ketua Komite Analis Kebijakan Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Ajib Hamdani, menilai dedolarisasi menjadi fenomena yang menarik ketika Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo dan Menteri Keuangan Sri Mulyani mengemukakan pandangan senada. Kebijakan dedolarisasi ini bagi Indonesia setidaknya memberi tiga dampak positif terhadap ekonomi Indonesia.
Pertama, efisiensi karena transaksi bisa langsung menggunakan mata uang bersangkutan.
Kedua, relatif bisa menghindarkan ekonomi Indonesia dari ancaman krisis keuangan global, karena banyaknya diversifikasi mata uang yang dilakukan dalam transaksi internasional.
Ketiga, keuntungan dalam neraca pembayaran dan kesehatan fiskal Indonesia ketika Dolar AS menjadi lebih terdepresiasi dan stabil.
Beberapa ekonom menilai tujuan dedolarisasi adalah menciptakan stabilitas nilai tukar bagi mata uang lokal dan meningkatkan kedaulatan moneter.
Meski penggantian dolar AS sebagai mata uang dominan dalam perdagangan internasional memerlukan waktu yang panjang dan melibatkan berbagai faktor yang saling berinteraksi, namun mengurangi ketergantungan terhadap dolar AS akan tambah mendorong stabilitas nilai tukar mata uang, termasuk bagi rupiah. (emrus)