KABARIKA.ID, MAKASSAR – Menguatnya tuntutan para demonstran agar Presiden Soeharto mengundrukan diri, merupakan peristiwa politik nasional yang paling menyita perhatian seluruh rakyat Indonesia. Situasi politik kenegaraan sudah genting ketika itu, namun Presiden Soeharto masih kukuh pada sikapnya yang enggan meninggalkan kekuasaannya. Bahkan masih menawarkan untuk membentuk Komite Reformasi, me-reshuffle kabinet, dan mempercepat Pemilu. Bagaimana dinamika politik saat itu? Silakan baca narasi berikut.
19 Mei 1998 – Presiden Soeharto Didesak untuk Mundur
Setelah ribuan demonstran menduduki gedung DPR/MPR pada 18 Mei 1998, maka keesokan harinya, tanggal 19 Mei 1998 Presiden Soeharto diminta mundur dari kursi kepresidenan.
Namun Presiden masih enggan mundur. Presiden Soeharto bersikukuh bahwa keadaan masih bisa diperbaiki. Untuk mengatasi keadaan tersebut, Presiden Soeharto mengundang beberapa ulama dan tokoh masyarakat untuk berunding, seperti Nurcholis Madjid dan Abdurrahman Wahid. Pertemuan tersebut dilakukan di Istana Negara pada 19 Mei 1998.
Berikut adalah kronologi pertemuan Presiden dengan ulama dan tokoh masyarakat, dari jam ke jam.
Pukul 09.00 WIB, pertemuan Presiden Soeharto dengan sembilan tokoh masyarakat berlangsung hampir 2,5 jam. Usai pertemuan, Pak Harto mengumumkan akan membentuk Komite Reformasi. Kabinet juga akan di-reshuffle dan Pemilu akan dipercepat. Tapi, Cak Nur sudah bersepakat bahwa sembilan orang yang diundang tersebut tak mau menjadi anggota Komite Reformasi atau duduk dalam kabinet yang akan di-reshuffle itu.
Pukul 11.00 WIB, pimpinan DPR mengadakan rapat dengan unsur pimpinan fraksi. Rapat berlangsung selama lima jam. Hasilnya tetap, mereka mendukung Presiden Soeharto mundur secara konstitusional.
Pukul 17.00 WIB, Ketua DPR/MPR Harmoko kembali mengirimkan surat untuk konsultasi dengan Presiden.
“Dalam menanggapi situasi seperti tersebut di atas, pimpinan dewan, baik ketua maupun wakil-wakil ketua, mengharapkan, demi persatuan dan kesatuan bangsa, agar Presiden secara arif dan bijaksana sebaiknya mengundurkan diri,” ujar Harmoko, Selasa 19 Mei 1998. (rus)