KARAKTER asli seseorang, biasanya ikut memudar seiring dengan usia yang makin renta. Tetapi hal itu tampaknya tak berlaku bagi seorang Surya Paloh. Ia masih yang dulu seperti pada era 1980-an atau 1990-an, sangat teguh memegang prinsip. Terhadap kebenaran yang diyakininya, ia lebih memilih patah ketimbang bergeser.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Sejak dulu, Bang Surya, begitu ia kerap disapa, tidak suka pada kekuasaan yang suka mencampuri hal-hal yang bukan campurannya. Ketaksukaannya itu bahkan dinyatakan secara tegas dan lugas, tanpa tedeng aling-aling. Ia seperti tak memiliki rasa takut berhadapan dengan kekuasaan yang paling otoriter sekalipun.

Rekam jejaknya melawan kekuasaan yang otoriter, memiliki sejarah panjang. Misalnya, baru sebulan menjabat Ketua Umum Forum Komunikasi Putra Putri Purnawirawan Indonesia (FKPPI), di hadapan Menpora Abdul Ghafur saat Konres II KNPI di Jakarta, 1978, Bang Surya berpidato menolak intervensi pemerintah dalam pemilihan Ketua Umum KNPI.

Itu belum seberapa. Bang Surya bahkan pernah melakukan hal gila yang tak seorang pun berani melakukannya. Di hadapan Rakernas FKPPI di Malang pada 1983, ia berpidato menolak usulan menjadikan Soeharto sebagai Bapak Pembangunan. Padahal usulan itu dicetuskan oleh Ali Moertopo, sosok yang paling ditakuti di masanya.

Dekade 1980-an dapat disebut sebagai era puncak kejayaan Soeharto dan rezim Orde Baru. Pada masa itu, peristiwa kelam pembantaian ummat muslim di Tanjung Priok, 1984, terjadi. Demikian pula tragedi Talangsari di Lampung, 1986. Sejarah juga tak lupa mencatat bahwa pada era itu terjadi kasus penembakan misterius, yang lebih dikenal sebagai “Petrus”.

Bayangkan, jika pada situasi semacam itu, lalu muncul sosok-sosok pembangkang terhadap rezim, maka dapat dipastikan kalau mereka adalah sosok-sosok pemberani yang seolah memiliki nyawa rangkap. Jumlah mereka tentu tak banyak, bahkan dapat dihitung jari. Namun, diantara yang sedikit itu, Surya Paloh pantas disebut.

Bagaimana tidak? Meski ia kader Golkar, tapi bukan halangan baginya untuk tetap bersikap kritis terhadap Orde Baru. Sikap perlawanannya itu disalurkan melalui pers dan jurnalistik, yang diyakini dan kerap ia sebut sebagai pilar ke empat demokrasi.

Itu sebabnya, bersama Widjanarko Puspoyo pada 1985, Surya Paloh mendirikan surat kabar ‘Prioritas’, sebuah harian berwarna pertama di Indonesia. Dan, terbukti kemudian menjadi satu-satunya corong demokrasi kala itu. Sangking masyarakat meminatinya, oplah Harian Prioritas menembus angka seratus ribu eksamplar dalam waktu relatif singkat, tak sampai dua tahun.

Bagi mahasiswa yang concern pada ide tentang perubahan dan demokrasi, yang paling digandrungi adalah editorialnya, ‘Selamat Pagi Indonesia’, tajam dan kritis, namun mencerahkan. Penulis teringat tatkala ingin membaca harian itu, penulis harus mencari Mulawarman. Semasa mahasiswa dahulu, ia wartawan koran kampus, ‘Identitas’, di Universitas Hasanuddin.

Harian Prioritas sebenarnya adalah cerminan sosok Surya Paloh sendiri, berani dan lugas, yang kala itu baru 30-an tahun. Sayang, Harian Prioritas tak bertahan lama karena keburu dibredel pada 1987 oleh Harmoko, Menteri penerangan ketika itu yang terkenal dengan julukan, “Menurut petunjuk bapak presiden.”

Kendati pada akhirnya ruh Harian Prioritas bereinkarnasi pada Harian Media Indonesia, namun cerminan karakter Paloh muda tak pernah terlihat lagi secara utuh semenjak itu. Cita rasanya, tetap saja tak sama. Apakah Surya Paloh telah berubah menjadi seorang penakut? Tidak. Mungkin ia hanya mencoba lebih bijak, atau situasi yang dihadapinya memang sudah berbeda.

Namun, pada usianya yang sudah mulai sepuh, karakter asli Paloh muda seolah muncul kembali. Hal itu terlihat pada keteguhan sikapnya mendukung Anies Baswedan sebagai Capres pada Pilpres 2024. Padahal upaya rezim Jokowi agar dirinya mau meninggalkan Anies, tak kurang-kurang. Mulai dari rayuan hingga ancaman, sejauh ini tetap tak membuatnya goyah.

Tetapi kali ini, keteguhan sikap seorang Surya Paloh kembali diuji dengan penangkapan Johny G. Plate, Sekjend Partai Nasdem. Apakah tetap bergeming bersama Anies, ataukah akan memilih menyerah kemudian meninggalkan Anies?

Pada 36 tahun silam, Bang Surya juga menghadapi ujian yang kurang lebih sama. Kala itu, Ia dipaksa memilih antara tunduk patuh pada Soeharto atau mengorbankan Harian Prioritas. Namun, demi perjuangan yang diyakininya, akhirnya lebih memilih mengorbankan Harian Prioritas, yang tak lain adalah dirinya sendiri.

Sama seperti ujian kali ini, jika ia masih Bang Surya yang dulu, maka demi keyakinannya pada Indonesia akan menjadi jauh lebih baik, yang sedang diperjuangkannya bersama Anies Baswedan, maka ia tetap memilih bergeming bersama Anies, kendati dirinya akan menjadi korban.

Sebab, sang bijak menitip, “Tak ada seorang pun yang benar-benar bersih. Tetapi manusia macam apa kita, tergantung seperti apa kita di akhir waktu.” (ym)

Makassar, 19 Mei 2023.