KABARIKA.ID, MAKASSAR – Hari ini genap 25 tahun perjalanan reformasi. Tanggal 21 Mei 1998 merupakan titik balik dalam kehidupan sosial politik kebangsaan Indonesia. Presiden Soeharto yang telah memimpin Indonesia di bawah panji Orde Baru selama 32 tahun, ternyata tidak mampu menahan tsunami desakan dari para demonstran yang menuntut pengunduran dirinya sebagai jalan untuk melakukan reformasi.
Demonstrasi dari ribuan mahasiswa dan rakyat Indonesia di Jakarta dan sejumlah kota besar di Indonesia sejak 18 Mei 1998, menjadikan situasi politik di Jakarta memanas. Arus dukungan terhadap Presiden Soeharto dari DPR/MPR maupun tokoh masyarakat dan tokoh agama, semakin melemah. Karena Presiden Soeharto merasa semakin ditinggalkan oleh para pembantunya di kabinet dan mereka memihak pada rakyat yang menuntut reformasi, maka tidak ada pilihan lain kecuali menyerah pada keadaan dan memilih lengser dari jabatannya.
21 Mei 1998 – Presiden Soeharto Menyatakan Mundur
Menyusul kerusuhan tiga hari berturut-turut sejak 18 Mei 1998, loyalis Soeharto dan Ketua DPR Harmoko menyerukan agar Soeharto mundur dari kursi kepresidenan dalam waktu lima hari, pada konferensi pers.
Ini merupakan kejutan besar bagi banyak orang, termasuk bagi Soeharto sendiri, dan loyalis Soeharto lainnya. Soeharto sendiri melihat permintaan Harmoko sebagai pengkhianatan dan loyalis menyebut Harmoko sebagai “Brutus”, mengacu pada Senator Romawi Marcus Junius Brutus, yang membunuh paman buyutnya, Julius Caesar.
Sementara itu, Amien Rais, pimpinan Ormas Islam Muhammadiyah menyatakan akan menggelar aksi unjuk rasa sejuta pendukung untuk menuntut lengsernya Soeharto. Ini direncanakan pada 20 Mei, diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional Indonesia.
Menyusul peringatan dari Prabowo tentang kemungkinan pertumpahan darah, Amien Rais membatalkan rencna demonstrasi.
Pada tanggal 20 Mei, terjadi unjuk kekuatan besar-besaran dari militer, dengan tentara dan kendaraan lapis baja di jalan Jakarta.
Prabowo menginginkan tanggapan yang keras terhadap para demonstran, tetapi Wiranto menyadari bahwa era Soeharto akan segera berakhir dan lebih menerima tuntutan mahasiswa.
Wiranto mengunjungi Soeharto di kediamannya dan meminta Presiden untuk mengundurkan diri. Pada hari yang sama, beberapa loyalis Soeharto menolak masuk kabinet baru.
Menghadapi ancaman pemakzulan dari Harmoko selaku ketua DPR/MPR, dan menerima surat dari 14 anggota kabinet yang menolak pembentukan kabinet baru, maka tidak ada jalan lain bagi Presiden Soeharto selain mundur dari jabatannya.
Kamis, 21 Mei 1998. Pukul 08.30 WIB, seluruh pimpinan DPR sampai di Istana Negara. Pukul 08.50 WIB, Presiden Soeharto secara khusus menerima mereka. Di hadapan mereka, Soeharto mengatakan, “Dalam rangka memenuhi saran pimpinan dan fraksi-fraksi DPR, saya akan melaksanakan Pasal 8 UUD 1945. Saudara-saudara tetap di sini saja, saya akan mengumumkan kepada masyarakat.”
Pukul 09.00 WIB, Presiden Soeharto keluar dari ruangan untuk mengumumkan pemberhentian dirinya. Lalu, acara dilanjutkan dengan pembacaan sumpah jabatan oleh Wakil Presiden B.J Habibie yang kemudian menjadi presiden.
Usai acara itu, Soeharto masuk kembali ke ruang tunggu tempat para pimpinan DPR berada, terdiri dari Harmoko, Abdul Gafur, Syarwan Hamid, Ismail Hasan Metareum, dan Fatimah Achmad.
Dengan tangan dilipat di bawah perut, Soeharto mengatakan, “Saudara-saudara, saya sudah tak jadi presiden lagi. Saya mengharap DPR ikut menjaga negara dan bangsa.” Dengan senyum khasnya, Pak Harto menyalami satu per satu Pimpinan DPR itu.
Reformasi terjadi, dalam wujud mundurnya Presiden Soeharto.
Isi Lengkap Pidato Pengunduran Diri Presiden Soeharto
“Assalamual’aikum warahmatullahi wabarakatuh.
Sejak beberapa waktu terakhir, saya mengikuti dengan cermat perkembangan situasi nasional kita, terutama aspirasi rakyat untuk mengadakan reformasi di segala bidang kehidupan berbangsa dan bernegara.
Atas dasar pemahaman saya yang mendalam terhadap aspirasi tersebut, dan terdorong oleh keyakinan bahwa reformasi tersebut perlu dilaksanakan secara tertib, damai dan konstitusional demi terpeliharanya persatuan dan kesatuan bangsa serta kelangsungan pembangunan nasional, saya telah menyatakan rencana pembentukan Komite Reformasi dan mengubah susunan Kabinet Pembangunan VII.
Namun demikian, kenyataan hingga hari ini menunjukkan Komite Reformasi tersebut tidak dapat terwujud karena tidak adanya tanggapan yang memadai terhadap rencana pembentukan komite tersebut.
Dalam keinginan untuk melaksanakan reformasi dengan cara yang sebaik-baiknya tadi, saya menilai bahwa dengan tidak dapat diwujudkannya Komite Reformasi, maka perubahan susunan Kabinet Pembangunan VII menjadi tidak diperlukan lagi.
Dengan memperhatikan keadaan di atas, saya berpendapat sangat sulit bagi saya untuk dapat menjalankan tugas pemerintahan negara dan pembangunan dengan baik.
Oleh karena itu, dengan memperhatikan ketentuan Pasal 8 UUD 1945, dan setelah dengan sungguh-sungguh memperhatikan pandangan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat dan pimpinan fraksi-fraksi yang ada di dalamnya, saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden Republik Indonesia, terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini pada hari ini, Kamis 21 Mei 1998.
Pernyataan saya berhenti dari jabatan sebagai Presiden Republik Indonesia, saya sampaikan di hadapan Saudara-saudara pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang juga adalah pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Sesuai dengan Pasal 8 UUD ’45, maka Wakil Presiden Republik Indonesia Prof. H. BJ Habibie yang akan melanjutkan sisa waktu jabatan Presiden Mandataris MPR 1998-2003.
Atas bantuan dan dukungan rakyat selama saya memimpin negara dan bangsa Indonesia ini, saya ucapkan terima kasih dan minta maaf bila ada kesalahan dan kekurangannya.
Semoga Bangsa Indonesia tetap jaya dengan Pancasila dan UUD 45-nya. Mulai ini hari Kabinet Pembangunan VII demisioner dan kepada para menteri saya ucapkan terima kasih.
Oleh karena keadaan tidak memungkinkan untuk menyelenggarakan pengucapan sumpah di hadapan Dewan Perwakilan Rakyat, maka untuk menghindari kekosongan pimpinan dalam menyelenggarakan pemerintahan negara, kiranya Saudara Wakil Presiden sekarang juga agar melaksanakan pengucapan sumpah jabatan presiden di hadapan Mahkamah Agung Republik Indonesia.” (emrus)