KABARIKA.ID, MAKASSAR – Ujian klinis fase ketiga vaksin Chikungunya di Jerman, mencatatkan tingkat efektivitas yang tinggi. Imunisasi terhadap virus yang disebar nyamuk Aedes Aegypti itu diyakini akan semakin relevan di era krisis iklim.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Studi klinis teranyar mencatatkan hasil yang menjanjikan bagi vaksin Chikungunya, dengan suksesnya uji klinis pertama pada manusia.

Jika diloloskan, vaksin ini akan mampu melindungi jutaan manusia dari penyakit Chikungunya akibat virus yang ditularkan dari gigitan nyamuk tersebut.

Chikungunya pertama kali ditemukan di Tanzania, Afrika, pada dekade 1950-an dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti. Sejak itu, penyakit Chikungunya menyebar ke berbagai kawasan di Afrika, Asia, Karibia, dan Amerika Selatan.

Gejalanya meliputi rasa pegal dan linu, demam tinggi, dan gatal-gatal. Saat ini belum ada terapi obat antiviral yang mumpuni. Chikungunya juga dikenal menyisakan gangguan jangka panjang, seperti penyakit rematik.

Nyamuk Aedes aegypti penyebab penyakit Chikungunya dan DBD. (Foto: DW/picture alliance)

Ancaman di Negeri Tropis 

“Chikungunya berakibat fatal dalam beberapa kasus saja. Tapi penyakitnya memang tidak menyenangkan. Anda bisa sakit selama dua pekan. Sebagai tambahan, dalam kasus parah, pasien mengalami pembengkakan sendi yang bisa bertahan selama berpekan-pekan,” kata Peter Kremsner, ahli penyakit tropis di Universitas Tübingen, Jerman.

Saat ini, sejumlah negara mencatatkan angka tertinggi penularan Chikungunya, yakni Paraguay, Brasil, Bolivia dan Thailand. Wabah Chikungunya juga dilaporkan merebak Afrika.

Saat ini, Kongo, Sudan dan Kenya masih menghadapi wabah Chikungunya yang belum mereda sejak 2018.

Pada 2013, Chikungunya mewabah di Amerika Selatan dan mencatatkan angka satu juta infeksi dalam hanya beberapa bulan.

Tingkat kematian tergolong rendah, dengan 52 persen pasien mengaku mengalami nyeri sendi selama beberapa bulan setelah infeksi.

Prospek Cerah bagi Vaksin Chikungunya

Vaksin Chikungunya saat ini sudah masuk fase ketiga. Menurut laporan hasil riset yang dirilis di jurnal ilmiah Lancet, satu dosis vaksin bernama VLA1553 itu mampu memproduksi antibodi sejak hari ke-28 yang bertahan selama 180 hari pada 98,9 persen partisipan.

“Vaksinasi Chikungunya menunjukkan tingkat efikasi yang sangat baik. Setelah vaksinasi, respons sistem imunisasi bisa dideteksi di hampir semua penerima vaksin setelah empat minggu,” kata Torsten Feldt, ahli penyakit tropis di Universitas Düsseldorf, Jerman.

Vaksin mengandung virus Chikungunya yang telah dimodifikasi dan bisa meniru penularan alami, tanpa memicu gejala penyakit.

VLA1553 juga tercatat bisa memicu efek samping, meski jumlahnya hanya sedikit. “Tingkat toleransinya lebih baik ketimbang vaksin lain. Walaupun sudah beberapa ribu pasien mendapat vaksin, kami tetap memonitor kondisinya untuk mendapat lebih banyak informasi tentang efek samping,” kata Feldt.

Vaksin hidup termasuk salah satu jenis vaksin yang didesain untuk diadopsi oleh sistem kekebalan tubuh untuk merangsang pembentukan antibodi.

Vaksin jenis lain adalah vaksin nonaktif yang menyimpan virus mati atau vaksin mRNA alias messenger RNA.

Vaksin Covid-19 atau bakal calon vaksin kanker juga dikembangkan dengan basis mRNA.

Pada 2018, virus Chikungunya didekalarasikan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) sebagai patogen prioritas untuk mendapat vaksin. (rus)