Peneliti Muda Indonesia Tampilkan Inovasi e-Nose, Alat Deteksi TBC di Forum Penerima Nobel di Jerman

KABARIKA.ID, MAKASSAR – Sebuah forum internasional bergensi bernama Lindau Nobel Laureate Meetings ke-72, digelar di Negara Bagian Bayern, Jerman wilayah selatan.

Pertemuan tahunan yang berlangsung dari 25-30 Juni 2023 lalu itu, dihadiri sekitar 40 orang penerima Hadiah Nobel dan 600 peneliti muda dari 90 negara.

Program pertemuan dan diskusi tahun ini didedikasikan untuk Hadiah Nobel dari disipllin ilmu fisiologi dan kedokteran.

Kecerdasan buatan atau artificial intelligence dalam ilmu pengobatan dan dampak perubahan iklim terhadap kesehatan merupakan isu terkini yang juga ikut dibahas.

Di ajang bergengsi tersebut, ada pula kitar 10 orang peneliti dari Indonesia. Dari sekitar 600 peserta, hanya 45 peneliti yang dipilih tampil di panggung ini. Antonia Morita Iswari Saktiawati menjadi satu-satunya perwakilan dari Indonesia.

Dengan penuh percaya diri, Morita naik ke podium Next Gen Science Sessions di Lindau Nobel Laureate Meetings ke-72 di Lindau, Jerman, untuk mempresentasikan hasil risetnya, yakni e-Nose alat deteksi TBC lebih cepat dan mudah.

Slide yang memperlihatkan visualisasi e-Nose dan cara penggunaannya.

Di hadapan para ilmuwan dari berbagai negara, peneliti dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta itu, memaparkan mengenai e-Nose alias electonic nose. Inovasi ini dikembangkan untuk mendeteksi Tuberkulosis (TBC).

Studi yang dilakukan Morita adalah tentang inovasi alat diagnostik dalam penyakit infeksi. Menurutnya, ini merupakan sesuatu yang inovatif karena ada nilai kebaruannya.

“Saya rasa karena sekarang kan sedang zamannya teknologi, dan salah satu topik dalam Nobel Laureate ini adalah AI, perkembangan artificial intelligence. Jadi mungkin dianggap cocok menjawab permasalahan yang ada,” ujar Morita seperti dilansir DW.

e-Nose digunakan untuk mendiagnosis penyakit lewat aroma tubuh atau napas. Untuk menggunakannya, seseorang perlu bernapas ke dalam kantong yang menampung udara yang terkoneksi ke alat e-Nose.

Data ini lalu terkoneksi ke laptop. Kecerdasan buatan di laptop akan menganalisis data dan memberi tahu kita apakah seseorang sakit atau tidak.

Sisi menarik dari riset yang dilakukan Morita terkait e-Nose adalah alatnya yang praktis.
Alat untuk mendiagnosis atau men-screening penyakit biasanya berukuran besar. Sementara di Indonesia banyak sekali orang yang tinggal di daerah-daerah terpencil.

Pertemuan tahunan Lindau Nobel Laureate Meetings ke-72 tahun 2023 di Jerman ini, dihadiri sekitar 600 peserta, namun hanya 45 peneliti yang dipilih tampil di podium untuk mempresentasikan hasil penelitiannya

Untuk ke pusat kesehatan masyarakat saja harus berjalan jauh. Padahal, kata Morita, mereka dalam kondisi sakit.

“Jadinya sering tidak mampu datang, akhirnya tidak terdiagnosis, tidak dapat terapi, dan meninggal. Permasalahan pertama adalah jarak,” ujar Morita.

Masalah kedua menurut Morita adalah harga alat-alat medis untuk kebutuhan diagnosis pada umumnya mahal. Misalnya untuk TB, kultur (alat pemeriksaan dahak mikroskopis) itu mahal sekali.

“Jadi tetap tidak menguntungkan, karena harus pakai mikroskop, harus ada petugas kesehatan khusus yang meneliti. Jadi kita tidak bisa melakukannya sendiri,” tandas Morita.

Yang ketiga adalah masalah efek samping. Salah satu alat diagnosis TB adalah menggunakan foto Rontgen, yang efek sampingnya adalah paparan radiasi, sehingga tidak aman.

“Pasien yang ingin mendapatkan pemeriksaan itu juga harus datang ke pusat kesehatan. Makanya, kami berusaha menemukan suatu inovasi alat diagnosis yang mana orang bisa melakukan secara mandiri di rumah,” terang Morita.

Ketika ditanya bagaimana e-Nose bisa bermanfaat untuk mengatasi penyebaran penyakit TBC?

Moritas mengatakan hasil pemeriksaan di rumah bisa dibaca oleh petugas di pusat kesehatan masyarakat. Petugas kesehatan bisa mengetahui di daerah tertentu ada yang positif TB.

Petugas dari pusat kesehatan masyarakat akan datang ke rumah orang tersebut. Cara ini lebih praktis,” kata Morita.

Ia menambahkan bahwa bukan hanya soal jarak, melainkan juga masalah budaya yang menjadi hambatan dalam penanganan penyakit TBC.

Kadang-kadang orang yang mau ke pusat kesehatan masih menunggu persetujuan keluarga, sehingga jumlah yang terlambat didiagnosis sangat besar.

“Jadi, tujuan kami membuat inovasi alat diagnosis ini adalah untuk menciptakan alat yang murah, portable atau mudah dibawa, sehingga bisa digunakan mandiri,” lanjut Morita.

Permasalahan utama kenapa kasus TB tidak turun adalah karena diagnosisnya lama sekali, dengan berbagai macam alasan tadi. Selama penderita belum terdiagnosis, TBC akan menyebar ke lebih banyak orang.

Semakin cepat kita bisa men-screening, kata Morita, maka asumsinya, diagnosisnya akan lebih cepat daripada menunggu orang datang ke pusat kesehatan.

“Jadi alat e-Nose ini bisa menyelesaikan masalah tersebut. Membuat diagnosis lebih cepat, sehingga lebih cepat dapat terapi, dan angka kesembuhan lebih tinggi. Kalau diagnosisnya lebih cepat, maka kita bisa mengurangi angka penyebaran penyakit,” tegas Morita.

Peneliti muda Indonesia yang terpilih menghadiri pertemuan tahunan Lindau Nobel Laureate Meetings ke-72 tahun 2023 di Jerman.

Morita dan kawan-kawan dalam satu tim riset, berharap dapat membuat alat yang mudah dan murah sehingga bisa digunakan orang secara mandiri. Seperti halnya alat tes kehamilan.

Alat e-Nose ini ukurannya masih besar dan masih perlu listrik. Ke depannya akan dikembangkan untuk bisa menggunakan baterai. Hal ini penting dipikirkan karena di daerah terpencil di Indonesia ada yang belum terjangkau listrik atau listriknya sering padam.

“Untuk sekarang, yang penting akurat dulu. Jika sudah akurat, nanti dipikirkan praktikalnya. Ini sebenarnya temuan tim. Saya dari sisi medisnya, nanti dari tim fisika yang merakit sensornya,” papar Morita.

Hingga saat ini Afrika Selatan telah menyampaikan minatnya untuk bekerja kerja sama pengembangan alat e-Nose ini untuk mendiagnosa TBC.

Meski demikian, Morita masih ingin fokus dulu untuk mendiagnosis kasus TBC di Indonesia. Karena Indonesia adalah negara dengan beban tuberkulosis kedua terbesar di dunia.

Countess Bettina Bernadotte af Wisborg, Presiden Dewan Lindau Nobel Laureate Meetings, pada pidato pembukaannya di pada Minggu (25/06/2023) mengatakan, organisasinya terus berusaha untuk menghadirkan para peneliti dari latar belakang yang berbeda, dan utamanya dari gender minoritas, yakni perempuan.

Ia mengakui mendatangkan para peneliti perempuan dari seluruh dunia bukanlah hal yang mudah. Namun perlahan usaha mereka mulai terlihat hasilnya. Tahun ini, sekitar 52 persen peserta yang hadir adalah perempuan, 47 persen laki-laki, dan 1 persen menolak berkomentar tentang gender mereka. (DW/rus)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *