Site icon KABARIKA

Menlu RI Retno Marsudi Tegaskan, Asia Tenggara Harus Jadi Kawasan Bebas Nuklir

KABARIKA.ID, MAKASSAR – Menteri Luar Negeri (Menlu) RI Retno LP Marsudi menegaskan bahwa Asia Tenggara harus dijaga menjadi kawasan yang bebas senjata nuklir. Saat ini, Asia Tenggara belum menjadi wilayah yang benar-benar aman karena masih terdapat negara yang memiliki senjata pemusnah massal itu.

“Tidak ada senjata yang lebih kuat dan merusak daripada senjata nuklir,” tegas Retno dalam pidatonya pada pertemuan para Menteri Luar Negeri Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) ke-56, Selasa (11/07/2023), di Hotel Shangri-La, Jakarta.

Retno menggarisbawahi risiko penggunaan senjata nuklir tinggi saat ini. Namun, pada kenyataannya masih ada negara yang memegang doktrin militer berbasis senjata nuklir.
Dengan adanya senjata nuklir, lanjutnya, maka akan memicu terjadinya bencana global.

“Menjaga perdamaian dan stabilitas di kawasan adalah prioritas kita. Ini adalah fondasi untuk menjadikan kawasan Asia Tenggara sebagai Epicentrum of Growth. Untuk itu, kita harus tetap menjaga kawasan Asia Tenggara bebas dari senjata nuklir,” tegas Retno.

Dalam pidatonya pada hari pertama ini, Menlu RI Retno LP Marsudi membahas bahaya senjata nuklir di dunia. Menurut Retno, ASEAN harus proaktif dalam menjaga kawasan agar terbebas dari senjata nuklir. (Foto: voa/reuters)

Nuklir menjadi salah satu pokok bahasan dalam pertemuan para menteri luar negeri ASEAN tersebut. Mereka membahas kelanjutan perundingan penandatanganan Protokol Perjanjian Kawasan Bebas Senjata Nuklir Asia Tenggara (SEANWFZ Treaty).

Retno mengatakan, Traktat SEANWFZ telah berkontribusi dalam upaya pelucutan senjata global dan rezim non-proliferasi. Namun, lanjut Retno, sejak 25 tahun terakhir tidak ada negara pemiliki senjata nuklir yang menandatangani Protokol Traktat tersebut.

Sebelumnya, Direktur Jenderal Kerja Sama ASEAN Kemlu, Sidharto Suryodipuro mengatakan isu pengembangan kapal selam bertenaga nuklir oleh aliansi AUKUS secara khusus tidak akan dibahas di pertemuan menteri luar negeri.

Menurutnya, Komisi SEANWFZ akan tetap berfokus pada upaya mengajak lima pemilik senjata nuklir untuk menandatangani protokol perjanjian kawasan bebas nuklir.

Traktat Asia Tenggara sebagai zona bebas nuklir ditandatangani oleh seluruh negara anggota ASEAN pada 1995 di Bangkok.

Dalam perjanjian tersebut disebutkan, bahwa negara-negara yang menandatangani traktat tidak dapat mengembangkan, membuat atau memperoleh, memiliki atau memiliki kendali atas senjata nuklir, menempatkan atau mengangkut senjata nuklir dengan cara apapun. Mereka juga dilarang untuk melakukan uji coba.

Perundingan ASEAN dengan para pemilik senjata nuklir, yaitu Amerika Serikat (AS), China, Prancis, Inggris dan Rusia, terhenti pada 2012. Ada sejumlah kendala yang memicu penghentian perundingan itu.

Salah satunya, sejumlah negara pemilik senjata nuklir menyatakan keberatan terhadap beberapa bagian protokol meski tidak diketahui lebih lanjut soal keberatan itu.

Kursi Menlu Myanmar terlihat kosong (kiri) saat pertemuan antarmenteri Menlu ASEAN dengan Komisi Antarpemerintah untuk Perwakilan Hak Asasi Manusia ASEAN, sebagai bagian dari Pertemuan Menlu ASEAN di Jakarta. Soal kudeta militer dan pembantaian rakyat sipil oleh junta militer penyebab tidak hadirnya Menlu Myanmar. (Foto: voa/reuters)

Dalam Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN 2022 akhirnya disepakati, pemilik senjata nuklir bisa meneken traktat itu secara terpisah. Kesepakatan itu salah satu modal penting untuk melanjutkan lagi perundingan yang terhenti lebih dari satu dekade lalu itu.

Pengamat ASEAN dari Universitas Jenderal Ahmad Yani, Yohanes Sulaiman mengatakan, protokol tersebut penting secara simbolisme daripada secara praktis.

Secara simbolisme, ASEAN menekankan keterlibatannya untuk perdamaian dunia dan mengurangi rasa ketidakpercayaan antara negara-negara nuklir dunia. Tentu saja masalah utamanya adalah bagaimana pelaksanaannya.

Negara-negara nuklir, kata Yohanes, umumnya memiliki kapabilitas yang sulit dideteksi, terutama untuk teknologi kapal selam.

“Jadi bagaimana kita bisa mengetahui bahwa, misalnya Amerika Serikat atau China menandatangani dan tidak akan melanggarnya? Tapi pada dasarnya, yang paling penting di sini adalah ASEAN memperlihatkan komitmen untuk menjaga agar kawasan ASEAN bebas dari senjata nuklir, terutama setelah pembelian kapal selam nuklir oleh Australia. Jadi bisa dibilang AUKUS sebagai impetus dari perundingan ini,” kata Yohanes.

Ia menilai ada dua masalah di balik keengganan negara-negara pemilik nuklir menandatangani protokol tersebut, yaitu dengan meneken perjanjian ini, mereka pada dasarnya akan bisa diatur oleh negara-negara ASEAN dalam segi penggunaan senjata nuklir. Hal tersebut, katanya, menjadi masalah secara prinsip bagi mereka.

Lalu masalah lain lagi, tambah Yohanes, adalah seberapa besar zona ini. Dia menyatakan yang disebut sebagai “wilayah ASEAN” sendiri tidak terdefinisikan dengan baik.

“Misalnya Laut China Selatan: itu wilayah ASEAN atau China? Anggap LCS adalah wilayah China yang terletak di Asia Tenggara, apa ini artinya kawasan bebas nuklir ini melingkupi LCS?, ujar Yohanes. (voa/rus)

Exit mobile version