SIANG itu, Oktober 2003. Tepat 20 tahun lalu.
“Apa benar, ini Pak Armin?” tanya seseorang di seberang sana, masuk lewat hape saya.
“Iyya”, jawab saya. “Siapa?”, balik, saya bertanya.
“Maaf pak, saya ajudan Bapak Gubernur”. Dimaksud tentu saja Bapak Amin Syam. “Pak Armin, diminta menghadap beliau!”, jelas ajudan asal kepolisian itu.
“Kapan?”, tanya saya. Dijawab, sekarang! “Dimana?“. Dijawab, ruang kerja gubernur.
***
Perjalanan ke kantor gubernur, pada adik yang menyopiri saya, tak henti saya tanyai, sekira apa urusan orang selevel gubernur meminta saya menemui. Saya ini, bukan siapa-siapa.
Kala 2003 itu, saya Sekretaris KNPI. Juga Sekretaris AMPG, organisasi sayap Golkar Sulsel, parpol yang diketuai Pak Amin Syam.
Ajaibnya, semalam saya baru saja tiba di Makassar, setelah sebulan berada di Jakarta. Tapi siang itu, saya diminta menemui. Dari mana ia tau, saya telah berada di Makassar? Apakah Brigjen TNI (Purn) itu memata-matai saya? Entah, juga buat apa?
***
Memasuki ruang tunggu, ruangan kerja gubernur, sesak banyak orang antri menunggu giliran bersua gubernur. Tak ada lagi, kursi kosong. Beruntung, ajudan — yang tadi menelpon — menyodori saya kursi kosong.
Agar tak membelakangi tetamu lain, kursi saya geser ke samping. Tapi, ajudan mejegat. “Pak Armin di posisi situ saja”. Lalu, membisiki saya. “Agar Pak Armin tersorot kamera cctv dari meja kerja Pak Gub!”
Ohw, begitu! Ajudan itu, benar. Tak lama, bell dari meja kerja gubernur, berbunyi. Ajudan gesit masuk, lalu balik memberi isyarat, mengikuti masuk ruang kerja gubernur.
“Saya lebih dulu antri dari Bapak itu!”, jegat seorang tamu menunjuk ke arah saya. Ajudan memberi penjelasan, dia makhfum. Tetamu lain, hanya bisa melongo.
“Silahkan duduk dek!”, sapa Gubernur. Saya duduk, tepat depan meja kebesaran orang nomor wahid di Sulsel. Gerangan urusan apa saya diminta menghadap? Muka saya, merunduk. Jantung saya, berdegub kencang. Kedua tungkai kaki saya, gemetaran. Berada dalam ruangan itu, seolah mustahil bagi saya.
Inilah kali pertama saya bersua empat mata dengan seorang gubernur. Juga sekalian ketua parpol dimana saya bergabung. Sambutannya ramah, senyuman khasnya tiada henti dikulum, membuat saya lebih tenang.
Lebih lagi, kala Jenderal Bintang Satu itu, meninggalkan kursi kebesarannya, menghampiri saya. Menepuk-nepuk pundak saya. Lalu, menyodori saya benda berbungkus koran, terlilit karet gelang.
***
Diucapkan, hanya sekian patah kalimat. Dari mulut saya, tak ada kata selain, “Siap Pak”. Lima menit, saya pamit keluar. Sekalian menjauhi area kantor gubernur.
Perjalanan pulang, didera rasa penasaran, ujung bungkusan koran itu, saya sobek. Wow, setumpuk uang warna merah. Ada lima lilitan kertas merek sebuah bank, masing-masing tertulis Rp. 10.000.000,- Maka, totalnya Rp.50.000.000,-
Semur-umur, baru kali itu saya memegang uang sebanyak itu. Juga kali pertama, seseorang memberi uang sebesar itu, tanpa saya minta.
Tapi, diberi sekira alasan apa? Juga buat apa? “Kamu caleg, pakailah itu agar kamu peroleh suara sebanyaknya!”.
Pemilu 2004, sistem tertutup. Keterpilihan berdasar nomor urut. Kali itu, saya belum terpilih.
***
Kini, Pak Amin Syam, telah tiada. Jika peristiwa itu saya kenang, bola mata saya berkaca-kaca.
Bukan semata di 2003 itu, saya diberi uang sebesar itu. Tapi jauh lebih dari itu, tauladan kerendahan hati seorang pemimpin yang saya hormati. Mengucap maaf pada saya, bukan siapa-siapa, selain anak buahnya. Juga, empatinya pada saya, anak muda usia 36 tahun yang kala itu menjajak karir di rimba politik.
“Dek Armin, saya minta maaf. Nomor urutmu (caleg), bagian bawah. Dek Armin masih muda, mesti bersabar. Masih punya waktu cukup panjang untuk berjuang meraih masa depan”.
Terima kasih Pak Amin Syam, kelak 2009-2019 harapan Bapak terkabul, 10 tahun saya menduduki kursi DPRD Sulsel.
Selamat jalan. Selamat berpisah. Kebaikan Bapak, amal jariyah, abadi dalam kenangan. Ila arwahu, al-Fatihah.
Makassar, 07 September 2023
ARMIN.MUSTAMIN TOPUTIRI
ANGGOTA DPRD SULSEL FRAKSI PARTAI GOLKAR
PERIODE 2009-2019