SEKARANG sedang ramai berita ini: Seorang calon presiden dikabarkan berkampanye terselubung melalui tayangan adzan magrib di dua stasiun televisi nasional.
Dalam tangkapan layar yang beredar, calon presiden itu terlihat sedang posisi duduk bersimpuh. Ia tampak mengenakan baju putih dengan sarung motif batik.
Benarkah berita itu? Terus terang saya sudah sangat jarang menonton televisi. Karya content creator di Youtube dan Tiktok rasanya jauh lebih menarik. Meski banyak akun media sosial yang tingkat kengawurannya ‘’super-duper’’.
Saya coba cari di internet. Berita hanya saya peroleh dari news portal yang bukan mainstream. Saya tidak bisa mengonfirmasi kebenaran berita itu.
Bila berita itu benar, tentu saya sangat menyayangkan. Walau demikian, saya sangat bisa memahami jalan pikiran tim pemenangannya. Dengan menampilkan tokoh yang sedang salat, persepsi pemirsa diharapkan bisa berubah menjadi orang yang (seolah-olah) saleh.
Memang salah satu fungsi iklan adalah untuk membangun persepsi. Bila persepsi awalnya sudah positif, black campaign bisa mengubah citra seseorang menjadi negatif. Bila persepsi awalnya negatif, iklan akan memperbaiki persepsi tersebut. Walau hanya seolah-olah.
Dulu, 12 tahun lalu, saya juga pernah melakukannya dengan memproduksi konten adzan berbalut pesan sponsor. Ide muncul memanfaatkan fenomena banyaknya penonton televisi yang menunggu adzan magrib untuk berbuka puasa. Guyonannya, adzan magrib merupakan program siaran dengan rating tertinggi sepanjang Ramadan.
Produksi konten dilakukan tim Jagaters Studio tiga bulan sebelum Ramadan, dengan membuat perekaman adzan bergaya Masjidil Haram. Setelah rekaman suara beres, mulailah dibuat storyboard untuk mengisi visual atau videonya. Nah, storyboard inilah yang ditawarkan ke sponsor.
Ternyata ada dua perusahaan yang berminat: Satu perusahaan produk otomotif dan satu pabrik minuman teh dalam kemasan.
Agar sesuai dengan produk sponsor, dibuatlah storyboard baru: Ceritanya ada seorang karyawan pulang kerja mengendarai sepeda motor model terbaru.
Dengan lincahnya, sepeda motor itu membelah kemacetan Ibukota. Saat berhenti di traffic light suatu perempatan jalan, ia melihat arloji. Ternyata waktu berbuka hampir tiba.
Karyawan itu kemudian berhenti di sebuah warung kaki lima yang menjual minuman teh dalam kemasan. Sedetik kemudian adzan berkumandang dari pengeras suara di sebuah masjid tak jauh dari warung tersebut.
Setelah menikmati kesegaran teh dingin selama adzan berlangsung, si karyawan bergegas ke masjid untuk menunaikan salat magrib. Adegan ditutup dengan perjalanan karyawan itu menuju rumahnya menaiki sepeda motor yang masih gres itu.
Saya sudah membayangkan cuan yang cukup besar saat mengikuti preview terakhir di kantor sponsor. Selain dari margin biaya produksi, sponsor setuju membiayai penayangan konten adzan magrib di 34 stasiun TV lokal selama satu bulan Ramadan.
Kalau setiap kali adzan dapat cuan Rp 1 juta saja, selama Ramadan sudah terbayang memperoleh keuntungan lebih dari Rp 1 miliar. Untuk perusahaan rumah produksi berskala UKM. Uang Rp 1 miliar itu terasa sangat besar.
Namun bayangan keuntungan itu lenyap seketika gara-gara muncul surat edaran KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) yang melarang komersialisasi tayangan adzan magrib. Ambyar!
Nah, bagaimana dengan nasib iklan capres itu? Bila berita itu benar, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) wajib menghentikannya. Segera. Adzan magrib harus dibebaskan dari tujuan-tujuan komersial seperti promosi dan kampanye politik. Akan ebih baik kalau capresnya adzan beneran setiap masuk waktu salat.
Joko Intarto: Wartawan Senior, Mantan Pemred Indopos. (**)