KABARIKA.ID, JAKARTA — Seorang siswi kelas II berinisial SAH yang bersekolah di SDN 235 Gresik mendapatkan perlakukan keji dari kakak kelasnya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

SAH terpaksa kehilangan penglihatan pada mata kanannya usai ditusuk dengan tusukan pentol oleh sang kakak kelas di area sekolah. Penusukan dilakukan lantaran korban tidak memberikan uang saat dipalak.

Ketua DPR RI Puan Maharani mengingatkan pihak sekolah agar korban maupun pelaku perundungan harus mendapat pendampingan yang terarah.

Ia mendorong Kemendikbudristek melalui dinas-dinas pendidikannya untuk memberikan pendampingan bagi korban melewati masa trauma agar dapat kembali ke lingkungan sekolah.

“Korban perundungan perlu mendapatkan dukungan emosional dan sosial. Pihak sekolah harus memberikan akses kepada konselor atau sumber daya lain yang dapat membantu korban mengatasi dampak psikologis dari bullying,” kata Puan di Jakarta, Selasa (19/9/2023).

Sementara untuk pelaku, Disdik dan pihak sekolah, lanjutnya, juga perlu memberi pendampingan namun harus dilakukan menurut asas keadilan. Puan mengatakan, pihak sekolah harus mampu menemukan akar permasalahan mengapa pelaku melakukan perundungan, sehingga dapat membantu pelaku mengubah kebiasaan perundungannya secara tepat.

“Penting untuk mendengarkan anak dengan penuh perhatian. Biarkan mereka mengungkapkan perasaan, kekhawatiran, dan pandangan mereka tentang sikap bullying yang mereka lakukan kepada siswa lain,” imbaunya.

Apabila pelaku perundungan berhadapan dengan hukum, Puan menekankan agar proses hukum dilakukan secara humanis namun tetap dengan ketegasan.

Apalagi bagi pelaku di bawah umur di mana pada peradilan anak harus memperhatikan sejumlah unsur khusus sesuai Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

“Penanganan kasus hukum pada anak harus berdasarkan perlindungan, keadilan, non-diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, penghargaan terhadap anak, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak, proporsional, pemidanaan sebagai upaya terakhir dan penghindaran balasan,” papar Puan.

Sesuai UU Sistem Peradilan Pidana Anak, dalam hal anak belum berumur 12 tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, maka penyidik atau pembimbing kemasyarakatan mengambil keputusan untuk menyerahkanan kepada orang tua/wali atau mengikutsertakannya dalam program pendidikan, pembinaan pada instansi Pemerintah atau lembaga penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang menangani bidang kesejahteraan sosial.

Oleh karenanya, Puan mendorong kasus-kasus pada anak di sekolah yang berpotensi berkaitan dengan hukum harus dijalani sesuai regulasi yang ada. Hal tersebut membutuhkan dukungan dari pihak sekolah dan penegak hukum, bukan malah justru diabaikan atau dihindari.

Puan menyebut, kasus perundungan fisik yang menyebabkan dampak permanen harus tetap mengedepankan prinsip perlindungan untuk korban dan pelaku anak. “Tapi tentunya keadilan harus ditegakkan, dan pihak sekolah juga punya tanggung jawab dalam kasus tersebut. Tidak boleh lepas tangan,” tukasnya.

Puan mengatakan, perlindungan bagi korban perundungan tentunya demi memenuhi unsur keadilan. Namun bagi pelaku anak, semua pihak disebut perlu memberikan kesempatan kepada anak untuk tumbuh dan memperbaiki diri.

“Dan seringkali anak yang berurusan dengan hukum mengalami stres, trauma, dan masalah emosional lainnya. Untuk menghindari dampak buruk, berikan akses kepada layanan konseling atau psikologis yang bisa membantu mereka mengatasi perasaan tersebut,” pungkas Puan. (**)