KABARIKA.ID, MAKASSAR — Pengamat Pemerintahan Universitas Hasanuddina, Dr. Andi Lukman Irwan menilai pemotongan masa jabatan kepala daerah hasil Pilkada 2020 yang berakhir 2024 sebagai konsekuensi demokrasi.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Masa jabatan yang seharusnya berakhir 2026 tapi dipotong dua tahun ini juga berlaku bagi beberapa pejabat di Sulsel yang harus berhenti 2024.

“Ini adalah konsekuensi demokrasi, bagi mereka siapa untung dan buntung? Karena Pilkada serentak sudah disepakati dari November maju ke September 2024,” ujarnya, saat ditemui di acara Maulid Nabi Muhammad SAW yang digelar IKA Unhas, Ahad (1/10/2023).

Menurut alumni Fisipol Unhas, ini konsekuensi dari Pilkada serentak 2024 yang pelantikannya di 2025. Termasuk kepala daerah yang dilantik 2021 seharusnya berakhir pada 2026 (masa normal jabatan 5 tahun).

“Tapi ada masa transisi dari penyelenggaraan pilkada serentak. Akhirnya masa jabatan itu  berkurang dari 5 tahun menjadi hanya kurang lebih 3,5 atau 4 tahun,” jelasnya.

Diketqhui pemerintah pusat telah menetapkan pemilihan kepala daerah akan digelar secara serentak dari November ke September 2024. Setelah pemilu nasional pada Februari 2024 mendatang.

Dengan begitu masa jabatan kepala daerah hasil pemilihan 2020 hanya akan menjabat kurang 3,5  atau 4 tahun saja. Pasalnya kepala daerah hasil pilkada 2020 dilantik 2021 seharusnya masa jabatan hingga 2026. Namun, kursi jabatam itu dipangkas sehingga Pilkada serentak 2024.

11 Wali Kota dan Bupati Lengser

Di Sulsel, ada 11 pasangan bupati-wakil bupati dan wali kota-wakil wali kota hasil Pilkada Serentak 2020 yang masa jabatan akan berakhir di September 2024.

Mereka masing-masing Adnan Purichta Ichsan-Abdul Rauf Mallagani (Gowa), Mohammad Ramdhan Pomanto-Fatmawati Rusdi (Makassar), Chaidir Syam-Suhartina Bohari (Maros), Muhammad Yusran Lalogau-Syahban Sammana (Pangkep), dan Suardi Saleh-Aska Mappe (Barru).

Kemudian, Andi Kaswadi Razak-Lutfi Halide (Soppeng), Basli Ali-Syaiful Arif (Kepulauan Selayar), Andi Muchtar Ali Yusuf-Andi Edy Manaf (Bulukumba), Theofilus Allorerung-Zadrak Tombeg (Tana Toraja), Andi Indah Putri Indriani-Suaib Mansyur (Luwu Utara), dan Budiman Hakim- Mochammad Akbar Andi Leluasa (Luwu Timur).

Perintah pemotongan masa jabatan kepala daerah itu termaktub dalam UU 10/2016 khususnya Pasal 201 ayat (7) yang berbunyi: Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota hasil pemilihan tahun 2020 menjabat sampai dengan Tahun 2024.

Pasal itu sempat di juducial review ke Mahkamah Konsitusi setahun silam. Namun, oleh Hakim MK, permohonan JR itu ditolak dengan berbagai pertimbangan.

Dengan berlakunya Pasal ini lanjut Lukman, artinya  kepala daerah hasil pilkada 2021 yang pertama berkurang masa jabatannya. Walaupun kemudian secara kompensasi pendapatan gaji tetap diberikan sesuai dengan hak-hak 5 tahun yang dimiliki.

Ada aspek psikologis di mana kepala daerah ingin memangku jabatan, mereka ini justru dirugikan karena semestinya mereka masih bisa selama kurang lebih 1 tahun untuk mengelola program.

Misalnya, untuk menjalankan program-program strategis, mengelola APBD pokok 1 tahun dan APBD Perubahannya. Nah, ini menjadi hilang karena masa jabatan hanya kurang lebih 3 atau 4 tahun.

“Jadi, waktunya sangat sedikit dan singkat bagi kepala daerah hasil pilkada 2020 untuk merealisasikan semua janji dalam program seperti yang tertuang di dalam RPJMD-nya,” ungkap Andi Lukman.

Namun, kata dia, jika kepala daerah hasil pilkada 2020 memasifkan kinerja, maka pada 2024 mereka berikhtiar untuk maju kembali, masyarakat betul-betul bisa merasakan dampak, bahwa kepala daerah ini betul-betul menjalankan semua program yang ada di RPJMD.

“Tantangannya, pastinya mereka ini sisa kurang lebih 1 tahun untuk bekerja memacu bagaimana program strategis bisa berjalan di semua perangkat daerah,” katanya.

Kalau masyarakat bisa merasakan pembangunan yang mereka lakukan dan berkontestasi pasa Pilkada 2024, maka bisa dipastilan kepala daerah ini tetap mendapatkan apresiasi dan dukungan publik yang kuat.

Korban Masa Transisi

Menurut Andi Lukman, kepala daerah yang terpotong masa jabatan dirugikan karena programnya tidak berjalan. Artinya mereka ini adalah korban dari masa transisi kebijakan yang dari pilkada 5 tahun yang jadi pilkada serentak 2024.

Kata dia, pasti pada masa transisi ada pihak berada pada situasi yang sifatnya tidak menguntungkan. Itu kan konteks kebijakan, pasti ada dampak kebijakan yang sifatnya bisa merugikan ataupun menguntungkan.

“Ini saya kira bagi kepala daerah hasil pilkada 2020, waktu yang sangat sempit, kemudian anggaran mereka yang bisa sehari betul mampu manfaatkan 5 tahun APBD pokok dan perubahan, ini hanya 3 atau 4 tahun yang bisa dia kelola,” ungkapnya.

“Saya kira kalau berbicara bahwa gaji dan sebagainya tidak terlalu besar. Kepala daerah gaji tunjangan, justru mereka bisa mendapatkan nilai elektoral yang lebih kuat ketika mereka menjalankan program strategis yang ada di APBD. Dan perubahan ini yang terpotong karena kebijakan pilkada 2024,” katanya. (**)