Oleh Ahmad Musa Said

 

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

DI dalam al-Qur’an ada ayat yang sangat menarik, baik dari segi numerik maupun kandungannya. Ayat tersebut adalah ayat 33 dalam surah al-Ahzab. Surah al-Ahzab ini juga merupakan surah yang ke-33, hingga penomorannya menjadi Q.S. 33 : 33 atau Surah 33 ayat 33. Bagi sebagian orang yang suka dengan primbon angka tersebut dianggap angka istimewa karena angka prima yang berulang empat kali.

Tentunya kali ini saya tidak akan membahas cocoklogi angka ini, namun lebih kepada kandungan dalam ayat tersebut.

Ayat tersebut lengkapnya berbunyi :

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَىٰ ۖ وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ ۚ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا

Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya (Q.S. al Ahzab [33]: 33).

Ayat ini merupakan rangkaian ayat dengan tema nasihat kepada istri-istri Rasulullah SAW yang dimulai dari ayat 28–34. Susunan ayat tersebut lengkapnya sebagai berikut :

Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu: “Jika kamu sekalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya kuberikan kepadamu mut’ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik (28). Dan jika kamu sekalian menghendaki (keridhaan) Allah dan Rasulnya-Nya serta (kesenangan) di negeri akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang berbuat baik di antaramu pahala yang besar (29). Hai isteri-isteri Nabi, siapa-siapa di antaramu yang mengerjakan perbuatan keji yang nyata, niscaya akan dilipat gandakan siksaan kepada mereka dua kali lipat. Dan adalah yang demikian itu mudah bagi Allah (30). Dan barang siapa di antara kamu sekalian (isteri-isteri nabi) tetap taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan mengerjakan amal yang saleh, niscaya Kami memberikan kepadanya pahala dua kali lipat dan Kami sediakan baginya rezeki yang mulia (31). Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik (32). Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya (33). Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah (sunnah nabimu). Sesungguhnya Allah adalah Maha Lembut lagi Maha Mengetahui (34).

Jika membaca rangkaian ayat di atas secara utuh, maka sangat jelas bahwa ayat-ayat ini berbicara terkait istri-istri Rasulullah SAW.

Lalu kenapa ayat ini sering menjadi perdebatan? Hal ini disebabkan ada sekelompok orang yang menyitir dan menafsirkan satu potongan kalimat dalam ayat 33 secara parsial, lalu menganggap bahwa potongan kalimat tersebut tidak ada kaitannya dengan seluruh rangkaian kalimat dalam ayat-ayat tersebut.

Kalimat yang dimaksud adalah : Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya (Q.S. al-Ahzab [33]: 33).  Perdebatan muncul pada ranah siapakah ahlul bait tersebut?

Dalam konteks al-Qur’an, setiap ayat dapat memiliki berbagai tingkat interpretasi dan makna, tergantung pada konteksnya. Misalnya, sebuah ayat mungkin memiliki makna literal (arti utama), tetapi juga dapat memiliki makna simbolis atau metaforis (arti tambahan) tergantung pada cara interpretasinya. Oleh karena itu, penting untuk memahami konteks dan sejarah turunnya ayat untuk memahami makna lengkapnya.

Tahapan penafsiran Al-Qur’an menurut Ibnu Katsir adalah :

  • Menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan ayat-ayat lainnya. Menurut Ibnu Katsir, tafsir yang paling utama yaitu tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an sendiri. Pasalnya makna dan maksud dari suatu ayat berhubungan dan dapat ditemukan dalam ayat-ayat lainnya.
  • Menafsirkan al-Qur’an dengan Hadis. Ketika tidak ditemukan makna dan penafsiran al-Qur’an secara jelas dari ayat-ayat lain, maka selanjutnya al-Qur’an harus ditafsirkan dengan penjelasan hadis nabi. Hal ini karena fungsi hadis nabi sendiri yaitu sebagai bayan at-tafsir atau penjelas isi kandungan al-Qur’an.
  • Menafsirkan al-Qur’an dengan perkataan para sahabat. Apabila dengan dua langkah tersebut masih belum menemukan makna suatu ayat, selanjutnya al-Qur’an harus ditafsirkan dengan perkataan (ijtihad) para sahabat. Para sahabat Nabi Muhammad SAW adalah orang yang hidup di masa nabi dan yang paling mengetahui konteks sosial-historis turunnya ayat-ayat al-Qur’an.
  • Menafsirkan al-Qur’an dengan pendapat para Tabiin. Keempat, yaitu menafsirkan al-Qur’an dengan pendapat dari para tabiin ketika ketiga tahapan di atas tidak didapatkan.

Empat metode dalam menafsirkan al-Qur’an ini harus dilakukan secara bertahap dan sistematis, dan juga tetap menguasai kaidah-kaidah bahasa Arab.

Jika kita melihat frasa Ahlul Bait dalam ayat lain, setidaknya terdapat dua ayat lain yang menggunakan diksi Ahlul Bait, yaitu Q.S. Hud [11]: 73 dan Q.S. al-Qashash [28]: 12.

Q.S. Hud [11]: 73 merupakan salah satu ayat dalam rangkaian ayat 69–73 yang bercerita tentang malaikat yang berkunjung ke rumah Nabi Ibrahim AS.

Dan sesungguhnya utusan-utusan Kami (malaikat-malaikat) telah datang kepada Ibrahim dengan membawa kabar gembira, mereka mengucapkan, “Selamat.” Ibrahim menjawab, “Selamatlah.” Maka tidak lama kemudian Ibrahim menyuguhkan daging anak sapi yang dipanggang (69). Maka tatkala dilihatnya tangan mereka tidak menjamahnya, Ibrahim memandang aneh perbuatan mereka dan merasa takut kepada mereka. Malaikat itu berkata, “Janganlah kamu takut, sesungguhnya kami adalah (malaikat-malaikat) yang diutus kepada kaum Luth (70).” Dan istrinya berdiri (di sampingnya), lalu dia tersenyum, maka Kami sampaikan kepadanya berita gembira akan (kelahiran) Ishak dan sesudah Ishak (lahir pula) Ya’qub (71). Istrinya berkata, “Sungguh mengherankan, apakah aku akan melahirkan anak, padahal aku adalah seorang perempuan tua, dan ini suamiku pun dalam keadaan yang sudah tua pula? Sesungguhnya ini benar-benar suatu yang sangat aneh (72). Para malaikat itu berkata, “Apakah kamu merasa heran tentang ketetapan Allah? (Itu adalah) rahmat Allah dan keberkatan-Nya, dicurahkan atas kalian, hai ahli bait! Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha Pemurah.”

Dari rangkaian ayat di atas jelas terlihat bahwa yang dimaksud sebagai Ahlul Bait secara literal (utama) dalam ayat tersebut adalah Nabi Ibrahim AS dan istrinya.

Adapun al-Qashash [28]: 12 merupakan rangkaian dari ayat 10–13 yang isinya sebagai berikut :

Dan menjadi kosonglah hati ibu Musa. Sesungguhnya hampir saja ia menyatakan rahasia tentang Musa, seandainya tidak Kami teguhkan hatinya, supaya ia termasuk orang-orang yang percaya (kepada janji Allah) (10). Dan berkatalah ibu Musa kepada saudara Musa yang perempuan, “Ikutilah dia.” Maka kelihatanlah olehnya Musa dari jauh, sedangkan mereka tidak mengetahuinya (11). Dan Kami cegah Musa dari menyusu kepada perempuan-perempuan yang mau menyusuinya sebelum itu; maka berkatalah saudara Musa yang perempuan, “Maukah kamu aku tunjukkan kepadamu ahli bait yang akan memeliharanya untukmu dan mereka dapat berlaku baik kepadanya? (12). Maka Kami kembalikan Musa kepada ibunya, supaya senang hatinya dan tidak berduka cita dan supaya ia mengetahui bahwa janji Allah itu adalah benar, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya (13).

Dari rangkaian ayat di atas yang dimaksud secara literal (utama) sebagai Ahlul Bait adalah seorang ibu.

Ilustrasi rumah Rasulullah SAW. (Foto: Ist)

Dalam konteks hukum Islam, terdapat istilah Qath’i dan Zhanniy yang digunakan untuk menggambarkan tingkat kepastian atau keraguan dalam suatu dalil atau bukti.

Qath’i merujuk pada sesuatu yang pasti atau definitif. Ini berarti bahwa makna atau interpretasi dari dalil tersebut tidak diragukan dan tidak memiliki kemungkinan untuk dimaknai dengan cara lain. Contohnya adalah lafadz-lafadz bilangan dalam bab waris, hudud, kafarat, dan lainnya.

Zhanniy adalah kebalikan dari Qath’i. Ini merujuk pada sesuatu yang bersifat dugaan atau tidak pasti. Makna atau interpretasi dari dalil tersebut dapat memiliki lebih dari satu kemungkinan, sehingga membuka ruang untuk penafsiran dan ijtihad.

Dari rangkaian ayat di atas, secara Qath’i dapat dipahami siapa ahlul bait yang dimaksud, istri dan ibu. Namun demikian, meskipun  secara Qath’i sudah dapat dipahami, tidak menutup kemungkinan ada tambahan istilah untuk ahlul bait dalam Q.S. al-Ahzab [33]: 33. Hal ini dikarenakan ada hadits Ahlul Kisa’ yang menceritakan bahwa Ali, Fathimah, Hasan dan Husain Radhiyallahu Anhum berada dalam satu selimut bersama Rasulullah SAW kemudian Rasulullah berdoa ya Allah, mereka adalah ahlul baitku, lalu membacakan potongan terakhir ayat tersebut.

Dari hadits tersebut terlihat bahwa ada penjelasan tambahan siapa-siapa yang dapat masuk kategori ahlul bait, yaitu anak, cucu dan menantu.

Namun karena posisi penafsiran ayat dengan ayat lebih kuat dibanding ayat dengan hadits, maka kedudukan istri dan ibu (begitu pula anak dan cucu) jauh lebih kuat sebagai ahlul bait dibanding menantu.

Definisi siapa ahlul bait juga dapat bertambah jika ada penjelasan hadits lain, misalnya keluarga Rasulullah SAW yang diharamkan menerima sedekah. Namun tentu derajatnya tidak lebih kuat dibanding status istri maupun ibu.

Tengoklah pula keseharian kita dalam berumah tangga, dalam kartu keluarga kita, tentunya istri lebih utama masuk kategori sebagai ahlul bait dibanding menantu. Karena biasanya, setelah menikah, anak dan menantu kita akan membuat kartu keluarga tersendiri hingga mereka memiliki ahlul bait sendiri juga.

Semoga kita diberi persatuan oleh Allah SWT serta belajar untuk membaca ayat secara utuh dan tidak parsial. Begitu pula berhati-hati untuk tidak meninggikan posisi hadits dibanding ayat dalam menafsirkan al-Qur’an. Apatah lagi selama ini kelompok tersebut dikenal sering meragukan hadits. Namun mengherankan jika dalam hal Q.S. al-Ahzab [33]: 33 mereka justru begitu bersemangat ingin memberikan penafsiran tunggal berdasarkan hadits padahal secara Qath’i dan juga berdasarkan penafsiran dengan ayat lain, sudah jelas siapa yang dimaksud sebagai ahlul bait.

Dan akhirnya, semoga kita semua termasuk orang yang akan bersama Rasulullah SAW, ahlul bait dan sahabatnya Radhiyallahu Anhum di surga kelak. Aamiin yaa rabbal aalamiin.

Wallahu a’lam bishshawaab.

————————-

Penulis adalah anggota Divisi Keagamaan PP IKA Unhas dan anggota Majelis Tabligh Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Makassar.