Oleh Ismail Amin, MA*
TIDAK ada yang menolak arti etimologi Ahlulbait adalah keluarga atau kerabat terdekat yang berisi suami, istri dan anak bahkan sampai termasuk ke paman, sepupu, semuanya yang merupakan bagian keluarga besar. Bahkan kepada sahabat sendiri yang saking dekatnya, tidak salah juga menyebutnya bagian dari keluarga, sudah seperti saudara. Nabi Muhammad SAW sendiri menyebut Salman al-Farisi sebagai bagian dari ahlulbaitnya.
Tapi apa Ahlulbait dalam al-Ahzab: 33 itu artinya seluas itu? atau dibatasi hanya pribadi tertentu. Jika kita meminta ayat lain untuk menafsirkannya, kita jangan parsial, dengan hanya mengambil satu-dua ayat tapi mengabaikan ayat lainnya.
Oke, dalam Q.S. Hud [11]: 73 dan Q.S. al-Qashash [28]: 12, ahlulbait yang dimaksud termasuk istri di dalamnya. Tapi apa itu lantas berlaku untuk konteks ayat yang lain dan menjadi pengertian yang mutlak dan berlaku secara permanen?
Kita lihat tinjauan ayat yang lain. Surah Hud ayat 81 yang berbunyi sebagai berikut:
قَالُوا۟ يَٰلُوطُ إِنَّا رُسُلُ رَبِّكَ لَن يَصِلُوٓا۟ إِلَيْكَ ۖ فَأَسْرِ بِأَهْلِكَ بِقِطْعٍ مِّنَ ٱلَّيْلِ وَلَا يَلْتَفِتْ مِنكُمْ أَحَدٌ إِلَّا ٱمْرَأَتَكَ ۖ إِنَّهُۥ مُصِيبُهَا مَآ أَصَابَهُمْ ۚ إِنَّ مَوْعِدَهُمُ ٱلصُّبْحُ ۚ أَلَيْسَ ٱلصُّبْحُ بِقَرِيبٍ
Artinya: “Para utusan (malaikat) berkata: “Hai Luth, sesungguhnya kami adalah utusan-utusan Tuhanmu, sekali-kali mereka tidak akan dapat mengganggu kamu, sebab itu pergilah dengan membawa keluarga dan pengikut-pengikut kamu di akhir malam dan janganlah ada seorangpun di antara kamu yang tertinggal, kecuali istrimu. Sesungguhnya dia akan ditimpa azab yang menimpa mereka karena sesungguhnya saat jatuhnya azab kepada mereka ialah di waktu subuh; bukankah subuh itu sudah dekat?” (Q.S. Hud: 81)
Di sini istri Nabi Luth as dikecualikan dari perintah untuk dibawa serta. Mengapa? apa karena sang istri tidak termasuk ahlulbait? pasti termasuk. Tapi mengapa dikecualikan? ya karena durhaka. Dan sang istri juga termasuk dari mereka yang tertimpa azab. Jadi ahl dalam ayat ini berlaku khusus. Tidak dapat diterapkan atau dipakai untuk menafsirkan makna ahl pada ayat yang lain.
Kita lihat lagi pada ayat lain, surah Hud [11] ayat 44-45.
. وَنَادٰى نُوْحٌ رَّبَّهٗ فَقَالَ رَبِّ اِنَّ ابْنِيْ مِنْ اَهْلِيْۚ وَاِنَّ وَعْدَكَ الْحَقُّ وَاَنْتَ اَحْكَمُ الْحٰكِمِيْ
Dan Nuh memohon kepada Tuhannya sambil berkata, “Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku adalah termasuk keluargaku, dan janji-Mu itu pasti benar. Engkau adalah hakim yang paling adil.”
قَالَ يٰنُوْحُ اِنَّهٗ لَيْسَ مِنْ اَهْلِكَ ۚاِنَّهٗ عَمَلٌ غَيْرُ صَالِحٍ فَلَا تَسْـَٔلْنِ مَا لَيْسَ لَكَ بِهٖ عِلْمٌ ۗاِنِّيْٓ اَعِظُكَ اَنْ تَكُوْنَ مِنَ الْجٰهِلِيْنَ
Dia (Allah) berfirman, “Wahai Nuh! Sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu, karena perbuatannya sungguh tidak baik, sebab itu jangan engkau memohon kepada-Ku sesuatu yang tidak engkau ketahui (hakikatnya). Aku menasihatimu agar (engkau) tidak termasuk orang yang bodoh.”
Nah lho, menurut Nabi Nuh as, anaknya adalah termasuk keluarganya. Tapi bagi Allah, putra Nabi Nuh as itu bukan termasuk keluarga, karena perbuatan zalimnya.
Jadi menurut Al-Qur’an dari dua kisah ini, kedurhakaan dan kezaliman bisa mengeluarkan seseorang dari ikatan keluarga, sehingga bukan termasuk anggota keluarga lagi.
Hal ini dipertegas oleh ayat 32 surah Al-Ahzab:
يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ ۚ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ
“Hai istri-istri Nabi, kalian semua bukanlah seperti wanita yang lain, jika kalian bertakwa.”
Ayat ini mempersyaratkan, istri-istri Nabi harus memiliki ketakwaan, untuk tetap menjaga keunggulannya dari perempuan-perempuan lain. Jika ketakwaan itu hilang dan diganti dengan kedurhakaan, maka derajat sebagai istri Nabi tidak akan bisa membantu,
Dalam surah at-Tahrim ayat 10, istri nabi Nuh as dan Nabi Luth as menanggung azab yang pedih dan posisinya sebagai istri Nabi tidak bisa menyelamatkannya. Surah tersebut berbunyi sebagai berikut,
ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا لِلَّذِينَ كَفَرُوا امْرَأَتَ نُوحٍ وَامْرَأَتَ لُوطٍ ۖ كَانَتَا تَحْتَ عَبْدَيْنِ مِنْ عِبَادِنَا صَالِحَيْنِ فَخَانَتَاهُمَا فَلَمْ يُغْنِيَا عَنْهُمَا مِنَ اللَّهِ شَيْئًا وَقِيلَ ادْخُلَا النَّارَ مَعَ الدَّاخِلِينَ
Artinya: “Allah membuat istri Nuh dan istri Luth sebagai perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba Kami; lalu kedua isteri itu berkhianat kepada suaminya (masing-masing), maka suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikitpun dari (siksa) Allah; dan dikatakan (kepada keduanya): “Masuklah ke dalam jahannam bersama orang-orang yang masuk (jahannam)”.” (QS. at-Tahrim: 10)
Dari sini, apa Ahlulbait dalam surah al-Ahzab ayat 33 tetap akan ditafsirkan berdasarkan makna ahlulbait dari ayat-ayat lainnya? Kita tahu, banyak ayat dalam Al-Qur’an yang disampaikan secara umum, dan tidak secara mendetail, di antara hikmahnya, ya agar mushaf Al-Qur’an tidak sampai terlalu tebal. Ayat-ayat yang umum itu kemudian di-takhshish oleh hadis. Ya, termasuk makna Ahlulbait dalam al-Ahzab: 33.
Kita bisa memahami siapa yang dimaksud melalui hadits. Dan hadis-hadis yang statusnya kuat dan sahih telah menjelaskan, bahwa yang dimaksud ayat itu, adalah mereka yang diselimuti oleh Nabi, yaitu Ali, Fatimah, Hasan dan Husain, yang kemudian populer dengan sebutan Hadis Kisa’. Ibnu Taimiyyah dalam Minhāj al-Sunnah mengatakan, Hadis Kisa’ termasuk hadis-hadis yang sanadnya sahih. Terlebih hadis yang men-takhshish Ahlulbait dalam ayat 33 al-Ahzab tersebut diriwayatkan dalam Sahih Muslim, sehingga tidak diragukan kesahihannya. Dalam riwayat tersebut, Ummu Salamah, istri Nabi yang hadir dalam peristiwa tersebut, tidak termasuk yang diselimuti Nabi. Jadi tidak termasuk yang diseru dengan “Hai Ahlulbait” pada ayat tersebut.
Kalau yang dimaksud Ahlulbait dalam ayat itu adalah istri-istri nabi, mengapa kemudian kata ganti yang digunakan berubah. Dari kunna berubah menjadi kum. Bisa dijelaskan? Tidak ada penjelasan lain, kecuali lawan bicara yang berubah juga. Banyak dalil lain yang bisa dipergunakan untuk memperkuat argumentasi ini. Cuma bukan konteksnya. Tulisan ini hanya ingin menegaskan, tidak serta merta definisi sebuah terma yang disampaikan satu ayat, akan otomatis berlaku juga pada ayat lainnya. Jika ada hadis yang menjelaskan makna dari ayat tertentu, dan itu secara prinsipil tidak bertentangan dengan ayat lain dengan sekadar di-takhshish misalnya, maka itulah yang diambil.
Kalau memakai prinsip, ayat adalah pemegang mutlak tafsiran terhadap ayat yang lain, tanpa memperhatikan qarinah, ‘amm, khas, mutlaq, muqayyad, mujmal, mubayyan serta yang lainnya, belum lagi yang haqiqat dan majaz, zhahir dan khafy, maka kita akan terjebak pada kesesatan.
Contohnya, definisi wahyu syar’i menurut ulama salaf adalah, berarti pemberitahuan dari Allah kepada para nabi-Nya dan para rasul-Nya tentang syari’at atau kitab yang hendak disampaikan kepada mereka. Di sini ulama membedakan wahyu syar’i dan wahyu secara bahasa. Sebab secara etimologi wahyu adalah pemberitahuan secara rahasia dan cepat. Dan itu bisa ditujukan kepada siapapun, tidak harus Nabi dan Rasul, siapapun bisa menerima wahyu. Sebagaimana dalam Q.S. an-Nahl [16]: 68
وَأَوْحَىٰ رَبُّكَ إِلَى ٱلنَّحْلِ أَنِ ٱتَّخِذِى مِنَ ٱلْجِبَالِ بُيُوتًا وَمِنَ ٱلشَّجَرِ وَمِمَّا يَعْرِشُونَ
“Dan Rabb-mu telah mewahyukan kepada lebah, “Buatlah rumah-rumah di bukit-bukit dan pada pohon-pohon dan pada tempat-tempat yang mereka (manusia) buat.”
Nah di sini, Al-Qur’an sendiri menjelaskan, lebah pun bisa menerima wahyu. Jadi kalau ada orang yang mengaku-ngaku menerima wahyu dengan landasan ayat ini, seharusnya diterima dong. Lebah saja terima wahyu, masa manusia hanya dikhususkan pada nabi saja yang terima wahyu. Untuk tidak disalahgunakan itulah, ulama kemudian membuat definisi, bahwa wahyu yang khusus buat para nabi, disebut wahyu syar’i. Wahyu secara syar’i ini jelas lebih khusus, dibandingkan dengan makna wahyu secara bahasa, baik ditinjau dari sumbernya, sasarannya, maupun isinya.
Jadi jangan serampangan mencocok-cocokkan ayat, apalagi secara parsial memahaminya. Dalam mendefiniskan Ahlulbait pun demikian, ada maknanya secara bahasa dan ada yang secara syar’i. Makna secara syar’i ini harus mendapat legitimasi dari hadis Rasulullah SAW, penjelasan dari ayat saja tidak cukup. Kecuali kalau mau menjadi pengikut mazhab, “ حسبنا كتاب الله .”
Terakhir, ini ada hadiah bonus dari perkataan salah seorang sahabat Nabi, ketika ditanya, siapakah Ahlulbait itu? apakah termasuk istri-istri Nabi?
فَقُلْنَا مَنْ أَهْلُ بَيْتِهِ نِسَاؤُهُ قَالَ لَا وَايْمُ اللَّهِ إِنَّ الْمَرْأَةَ تَكُونُ مَعَ الرَّجُلِ الْعَصْرَ مِنْ الدَّهْرِ ثُمَّ يُطَلِّقُهَا فَتَرْجِعُ إِلَى أَبِيهَا وَقَوْمِهَا أَهْلُ بَيْتِهِ أَصْلُهُ وَعَصَبَتُهُ الَّذِينَ حُرِمُوا الصَّدَقَةَ بَعْدَهُ
Lalu kami bertanya; siapakah ahlul baitnya, bukankah istri-istri beliau? Dia menjawab; bukan, demi Allah, sesungguhnya seorang istri bisa saja dia setiap saat bersama suaminya. Tapi kemudian bisa saja ditalaknya hingga akhirnya dia kembali kepada bapaknya dan kaumnya. Yang dimaksud dengan ahlubait beliau adalah, keturunan beliau yang diharamkan bagi mereka untuk menerima zakat.’
(Sahih Muslim, hadis no. 4425)
Bagaimana ini? apa mau ikut Nabi dan sahabat (yang tentu saja mereka yang lebih memahami Al-Qur’an tentang ayat 33 al-Ahzab) atau mengikuti pendapat sendiri yang parsial?
———–
*Penulis adalah anggota Bidang Kebudayaan dan Keilmuan PCI-Muhammadiyah 2023-2025 dan Ketua umum Kerukunan Keluarga Sulawesi (KKS) Iran 2023-2025