KABARIKA.ID– Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), beberapa waktu lalu, menggelar World Scientific Forum of Indonesia (WSFI) Diktiristek di Nusa Dua, Bali.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
WSFI adalah ajang pertemuan dan kerja sama ilmiah untuk pengembangan riset dan jejaring akademik.
Tahun 2023 ini, WSFI berasal dari akademisi dan ilmuwan dari berbagai lembaga termasuk pimpinan universitas, kepala lembaga pendidikan tinggi, ilmuwan diaspora Indonesia, penerima hibah profesor kelas dunia, hingga mahasiswa doktoral.
Salah seorang penerima penghargaan tersebut berasal dari Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar, Sulawesi Selatan.
Namanya, Professor Dorothea Agnes Rampisela, Guru Besar Ilmu Tanah Unhas, berhasil meraih penghargaan dalam Anugerah Academic Leader oleh Ditjen Diktiristek, Kemendikbudristek.
Agnes dinyatakan sebagai runner up (terbaik dua) untuk kategori dosen bidang pertanian dalam forum itu, dan tentunya diberikan hibah penelitian tanpa melalui seleksi dari Kemendikbudristek.
Jauh sebelum itu, Agnes telah menerima sejumlah penghargaan dari dalam dan luar negeri, dan mendapat sejumlah proyek yang tentu berkaitan dengan keilmuannya.
Seperti pada 1993, saat ia bertemu dengan seorang ibu rumah tangga di desa terpencil Kabupaten Takalar, Sulsel, yang akhirnya mengubah hidupnya.
Setelah menempuh studi di Jepang dengan beasiswa, ia mendapat pekerjaan sebagai penerjemah bahasa di tim Japan International Cooperation Agency (JICA) yang bekerja sama dengan Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (PMD) Pemerintah Provinsi Sulsel untuk proyek pemberantasan kemiskinan sebagai penerjemah dengan honor Rp200 ribu per hari.
Berawal dari sana, lama-lama diberi tugas lain walaupun bukan sebagai pakar di bidang tersebut.
Tugas awalnya, ikut meneliti bersama periset Jepang dengan mewawancarai petani, khusus perempuan berkaitan gender.
“Saya sudah lupa desa apa, tapi dari situ mengubah sekali hidup saya. Waktu itu diajak ke rumahnya dan ibu ini saya lupa juga namanya. Dia berkata hati-hati karena lantai papan rumahnya sudah berlubang-lubang, dan hidup sebatang kara, lantaran bercerai dengan suami dan punya anak satu dititip ke saudara di desa tetangga, karena tidak mampu menghidupinya,” Agnes bercerita.
Seingatnya, ibu itu hanya punya sawah sepetak, yang semua hasil panennya dikirim ke anaknya. Sehingga untuk mencukupi hidupnya, ibu itu, ikut membantu tetangganya membersihkan rumput atau disuruh orang cabut ubi, yang sebagian hasilnya dijadikan makanan.
Itu hanya sepenggal cerita, yang akhirnya membawanya bekerja dari satu tempat ke tempat lain, dan melakukan penelitian.
Karena tahun 2000, Agnes sempat mendirikan LSM Lembaga Pelangi, agar bisa mengajukan proposal untuk pendanaan Grassroot Jepang, untuk gerakan pembagian susu kedelai terhadap warga di masing-masing lima desa, di Kabupaten Takalar dan Gowa.
Kegiatan tersebut berjalan dua tahun. Lalu tahun ketiga, berkembang jadi pemberdayaan perempuan petani kedelai.
Hasil panen kedelai lalu dibeli. Ibu-ibu di desa tersebut diajari membuat susu kedelai. Karena sudah mahir, anak-anak desa mulai menyukainya.
“Saya dulu berharap, gerakan itu, bisa menjadi potensi bisnis karena bisa langsung membeli susunya, tetapi warga desa tidak berkeinginan menjalankan itu. Tapi entah apa risiko mereka, padahal sudah dikasih alatnya, biasa dipakai membuat susu, mereka malah lebih suka dibeli biji kedelainya. Akan tetapi sudahlah, saya merasa tidak berhasil menjadikan mereka pebisnis,” urai Agnes.
Tidak patah arang, dia tetap mengedukasi perempuan desa binaannya dengan sajian makanan sehat, memasak mi instan dengan kedelai, sampai mengadakan lomba masak makanan sehat.
Tidak hanya itu, selain pemberdayaan perempuan dan kedelai, Agnes juga menyiapkan beasiswa bagi anak-anak di Desa Tanabangka, Kabupaten Gowa.
Seiring berjalannya waktu, kegiatan-kegiatan sosial yang dilakukan Agnes dengan konsisten dari tahun ke tahun yang memang tanpa pamrih.
Dia pun lalu mendapat kepercayaan dari orang desa maupun dari pihak Jepang baik dari konsultan maupun peneliti, dan menjadi professor tamu pada Research Institute for Humanity and Nature (RIHN), sebagai penghargaan yang sangat luar biasa atas dedikasinya selama 30 tahun menjadi penyambung komunikasi antara Indonesia dan Jepang.
Penghargaan tersebut langsung dari Pemerintah Jepang yang disebut Foreign Minister’s Commendation for FY 2023 dalam rangka “Promotion of Mutual Understanding between Japan and Indonesia” atau Promosi Saling Pemahaman antara Jepang dan Indonesia.
Agnes merupakan satu-satunya tokoh dari Kota Makassar yang menerima penghargaan itu.
“Saya selalu berusaha menyetarakan kedudukan Indonesia dengan Jepang, dalam arti melayani mereka namun menutupi kekurangan-kekurangan bangsa ini, bila ada, agar kedua pihak selalu setara dalam kerja sama. Saya berusaha bagaimana meningkatkan pemahaman persahabatan antara Indonesia dan Jepang, itu terpenting,” seru Agnes.
Bahkan, ia telah enam kali diundang menjadi profesor tamu di berbagai Lembaga penelitian dan universitas di Jepang, antara lain Tokyo University, Kyoto University, Research Institute for Humanity and Nature, Toyo University, dan saat ini masih sebagai profesor tamu di Universitas Ehime dalam rangka kerja sama penelitian di Malawi Afrika.
Terakhir, Pemerintah Jepang memberikan penghargaan kepada 187 orang dari berbagai negara, termasuk ada enam orang dari Indonesia, dan salah satunya Prof Dorothea Agnes Rampisela dari Departemen Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Unhas Makassar. Penghargaan tersebut diumumkan bertepatan dengan Hari Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 2023. (**)
BIODATA:
Nama :Dorothea Agnes Rampisela
Tmpat Tangga Lahir : Ujung Pandang, 17 Januari 1957
Perguruan Tinggi : Universitas Hasanuddin
Program Studi : Ilmu Tanah
Pendidikan :
• S1 – Universitas Hasanuddin
• S2 – Kyoto University
• S3 – Kyoto University