KABARIKA.ID–KAMI terakhir bertemu hampir setahun lalu. Malam itu, 11 Desember 2022 bersama wartawan senior Egy Massadiah, Doni Monardo menghadiri resepsi pernikahan putri bungsu kami. Setelah itu kontak kami hanya melalui hubungan telepon atau WhatsApp (WA).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Ketika Doni berulang tahun ke 60, tanggal 10 Mei lalu, saya mengirim ucapan selamat dan doa. Dia membalas dengan ucapan dan doa sama. Tanggal kelahiran kami kebetulan sama. Beda tahun saja, saya lebih tua delapan tahun dari Jenderal Doni.

Di hari ulang tahunnya ke 60, Egy menceritakan tak ada perayaan, apalagi pesta. Santi Arviani, sang istri hanya menyiapkan kue sederhana. Begitu melihat suaminya kembali dari jogging, Santi segera menyalakan beberapa lilin di atas kue menyambut kedatangan Doni.

Ayah 3 anak dan dua cucu itu masih dengan handuk kecil terlilit di leher, tersenyum haru. Ia mendekat, tidak lekas meniup lilin, melainkan menengadahkan kedua tangan. Berdoa. “Sebuah momen yang mengharukan sekaligus romantis,” kata Egy.

Kontak kami dengan Doni yang intens terjadi sewaktu beliau memimpin Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang menjadi komando penanganan Pandemi Covid19. Beliau termasuk yang sering saya mintai tolong untuk membantu kawan-kawan yang terdampak Covid-19.

Irjen Pol Burhanuddin Andi, mantan Kapolda Sulsel suatu hari mengontak saya. Istrinya terkena Covid-19 di Makassar. Ada kebutuhan obat yang mendesak yang sulit didapatkan di Makassar. Bayangkan. Begitu krisis keadaan di masa itu, sampai perwira tinggi polisi bintang dua pun menghadapi kendala untuk menanggulangi kebutuhan obat keluarganya yang terkena Covid-19.

Bismillah.
Saya kontak Pak Doni tidak berapa setelah Irjen Burhanuddin curhat. Alhamdulillah. Pak Doni merespons cepat. Ia pun mengontak linknya di Makassar. Obat yang dibutuhkan Pak Andi Burhanuddin cepat diperoleh.

Dalam catatan di kontak WA saya, yang masih tersimpan sampai sekarang, ada juga catatan peristiwa ketika penyanyi Fryda Lucyana terpapar Covid-19 type ganas di Jakarta.

Ia butuh RS, tetapi semua RS full. Pak Doni saya kontak, dan secepat itu Fryda bisa dapat ruang perawatan. Selain Anies Baswedan saat menjabat Gubernur DKI, Pak Doni juga ikut saya repotkan di masa pandemi itu.

Pak Doni Monardo telah tiada. Innalillahi Wainnailaihi Rojiun.

Mantan Danjen Kopassus dan Pangdam XVI / Pattimura, Maluku dan Pangdam III/Siliwangi, Jawa Barat itu meninggal dunia Minggu, 3 Desember pukul 17.35 WIB di RS Siloam Semanggi.

Esoknya, Senin (4/ 12) siang diantar ribuan pelayat. Doni dimakamkan secara kenegaraan di TMP Kalibata dengan Inspektur Upacara Kasad Jenderal TNI Maruli Simanjuntak.

Doni dirawat di RS lebih dua bulan sejak 20 September lalu karena terserang stroke yang membuatnya tak sadarkan diri. “Tidak ada keluhan apapun sebelumnya. Pagi tadi kita masih ngobrol di WA,” cerita sahabatnya, wartawan senior Egy Massadiah, waktu itu. Saya menyesal tidak sempat membesuknya. Penyesalam itu terulang lagi di hari pemakaman.

Saya berangkat dari rumah pukul 07.30 WIB menuju rumah duka. Menurut pengumuman, pukul 08.00 jenasah akan dilepas dari ruma duka menuju Markas Kopassus. GPS mencantumkan data 35 waktu untuk sampai ke sana.

Namun, jalan tikus yang dilalui sesuai pedoman GPS mengalami kemacetan. Mungkin karena mendadak turun hujan. Rekan Timbo Siahaan yang berada di rumah duka memposting foto di WAG, jenasah telah diberangkatkan dari rumah. Aduh.

Tiada lagi Doni. Sosok perwira tinggi militer yang berperilaku lebih sipil dari sipil. Tiada yang menyangka orang baik dan rendah hati pergi secepat itu. Dia sosok prajurit sehat jiwa dan raga sehingga dimanapun bertugas, pengabdiannya pol, meninggalkan legasi keteladanan.

Ketika saya mewawancarainya di kantor BNPB, 14 Oktober 2020, kami ngobrol lama. Waktu itu beliau  didampingi Egy Massadiah dan wartawan senior Suryopratomo, yang kini Duta Besar RI di Singapura.

Dalam pertemuan itu saya baru tahu Jenderal Doni rupanya sudah sekian lama menginap di kantornya. Sungguh pengabdian luar biasa pada tugas penyelamatan kemanusiaan di masa pandemi Covid-19.

Doni Monardo lahir di Cimahi, Jawa Barat, 10 Mei 1963. Doni berdarah asli Minang. Ayahnya, Letkol CPM Nasrul Saad berasal dari Lintau, Kabupaten Tanah Datar dan sang ibu, Roeslina, dari Nagari Sungai Tarab, Tanah Datar.

Karena ayahnya yang seorang prajurit, maka Doni kecil pun ikut berpindah-pindah.
Doni menghabiskan masa kanak-kanak di Aceh. Setelah itu, ia baru tinggal di Padang hingga lulus SMA Negeri 1 Padang pada 1981.

Mengikuti jejak ayahnya, ia masuk Akademi Militer setelah lulus SMA. Tahun 1985 ia mengawali masa kedinasannya sebagai seorang prajurit.

36 tahun Doni berkarier di militer menjalankan berbagai penugasan. Ia pernah berdinas di Banten, Bali, Aceh, Jakarta, Sulawesi Selatan, Bogor, Maluku, dan Jawa Barat. Penugasan luar negerinya juga termasuk menonjol.

Karena mengetahui istri saya asal Minang, sekampungnya, setiap kali kontak di WA, Pak Doni lebih sering berbahasa Minang yang tidak saya kuasai sepenuhnya. Seringkali saya terpaksa minta bantuan istri untuk dapat merespons beliau berbahasa Minang.

Selamat jalan, Jenderal.