PELUKIS terkenal kelahiran 26 Mei 1951 itu wafat Kamis (28/12) pukul 09. 00 WIB di rumahnya, di kawasan Joglo, Jakarta Barat.
Oriana Titisari, putrinya, menceritakan Hardi meninggal saat tidur. Hardi tercatat terserang radang meningitis yang mengakibatkan memorinya terganggu, sulit mengenali orang.
Belakangan kondisinya sudah agak membaik menurut Oriana. Tadi pagi saat tengah tertidur pulas, tetiba sesak nafas. Belum sempat keluarga memasangi masker oksigen, Hardi telah mengembuskan nafas terakhir.
Pemakamannya direncanakan hari ini ba’da Ashar di TPU Tanah Kusir. Semoga almarhum Husnul Khotimah. Al Fatihah.
Sekitar 5 bulan lalu saya membesoek Hardi di rumah. Berikut catatannya waktu itu.
Pelukis Hardi tengah berjemur badan di halaman depan rumahnya ketika saya besoek, Minggu (2/7) pagi. Tubuhnya bersandar di kursi, sedangkan kedua kakinya dibiarkan berselonjor. Sinar matahari pagi yang cukup terik menjilati tubuhnya.
Pagi itu, ia ditemani putri sulungnya Oriana Titisari dan Munadi, sahabatnya, mantan karikaturis Harian Terbit. Belakangan saya baru tahu, lokasi rumah Hardi di Kav DKI Kedoya hanya berjarak 10 menit dari rumah saya.
Bahkan hanya 5 menit dari Kantor Tabloid Cek & Ricek. Yang mengirimi peta rumahnya, produser film Firman Bintang. Sabtu pagi Firman ke rumah Hardi, namun rumah itu tertutup rapat. Dia sempat mengetuk- ngetuk pagarnya tapi tidak ada respons.
Informasi Facebook
Lebih dua tahun kami putus kontak, tetiba dikejutkan dengan kabar Hardi menderita sakit yang kritis. Informasi itu disampaikan penyair Jose Rizal Manua di laman Facebooknya minggu lalu.
Foto dan narasi di FB itu memperlihatkan kondisi Hardi yang sangat mengenaskan. Tubuhnya kurus, wajahnya nyaris tidak bisa dikenali karena saking kurusnya.
Di foto itu posisi tubuh Hardi tampak amat lemah tidak berdaya saat dibesoek oleh teman-temannya sesama pelukis. Berbanding terbalik dengan aslinya, yang kita kenal selama ini.
Hardi bertubuh gempal dan energik berkat latihan silat rutin perguruannya, Bangau Putih.
Di awal awal masa pandemi Hardi rajin mengirimi saya video sedang berolahraga di depan rumahnya dengan jurus- jurus silat perguruan Bangau Putih.
Begitu tiba di rumahnya, saya menjabat tangannya. Hardi menyambut. Namun saat saya menyapa dengan menyebut nama ia nampak kesulitan mengenali.
Oriana membantu, mengulang menyebutkan nama saya. Munadi juga ikut menjelaskan, namun tak berhasil. Hardi hanya merespons dengan senyum. Munadi sendiri pun tidak dia kenali.
” Ingatannya memang masih on and off, Om,” kata Oriana.
Menurut Oriana, Papanya mengalami problem pada daya ingat akibat radang meningitis yang menjangkiti empat bulan lalu. Radang meningitis itu diketahui dari hasil diagnosa dokter di RS PON ( Pusat Otak Nasional ). Di RS itu Hardi sempat dirawat sepuluh hari akibat terjatuh di tangga rumahnya.
“Sekarang sudah ada kemajuan. Sudah mau makan. Sudah bisa berjalan ke kamar mandi,” cerita Oriana.
Secara rutin keluarganya pun rajin memeriksakan Hardi ke dokter. Jadwal kontrol dokter sekali dua minggu. Dokter yang datang ke rumah karena Hardi sering tak kuat menempuh perjalanan ke RS lantaran kemacetan lalulintas. Belum lagi jika harus antre di RS.
Gangguan kesehatan Hardi mulai muncul sepeninggal Susan, istrinya, yang wafat bulan Oktober tahun lalu.
“Dia tidak punya nafsu makan. Itu yang membuat berat badan Papa langsung drop,” ujar Ori.Putrinya memperkirakan berat badan Hardi turun sekitar 10 kg.
Saya mengenal Hardi pertengahan 1970 an di Taman Ismail Marzuki dan bersahabat sejak itu hingga sekarang. Dua tahun lalu ia menghadiahi saya lukisan Ka’bah.
Meski jarang bertemu secara fisik, namun komunikasi kami terus terjalin melalui media sosial. Selain WhatsApp, Hardi juga rajin meng upload aktivitasnya di laman FB dan Instagram. Di media sosial itu ia sering menjajakan karya – karyanya.
” Papa suka berhubungan dengan netizen yang berminat membeli lukisannya. Dia tahu umumnya netizen itu menganggap harga lukisannya mahal. Nah! Papa sering menawarkan harga berdasar kemampuan netizen,” cerita Oriana.
Hardi merupakan tokoh seni rupa penting Indonesia. Pelopor Gerakan Seni Rupa Indonesia yang mewarnai dinamika kesenian di Tanah Air masa itu. Gerakan Seni Rupa Barunya terdiri FX Harsono, Bonyong Munni Ardhi, Siti Adiyati, Jim Supangkat, dan Nanik Mirna.
Karyanya dikoleksi Keluarga Cendana, menteri-menteri kabinet Orde Baru dan Orde Reformasi, tokoh-tokoh nasional, kalangan pengusaha dan rekan-rekan seniman. Selain lembaga-lembaga bergengsi seperti Museum Purna Bhakti Pertiwi, Balai Senirupa DKI, Dinas Kebudayaan DKI, TIM, LBH, Wisma Seni Nasional, Bentara Budaya, PT. Coca Cola Museum Neka Ubud – Bali, Yayasan Pengembangan Bisnis Indonesia, dll.
Ketika saya besoek keadaan Hardi memang relatif sudah membaik. Sekurangnya, dibandingkan dengan foto yang diupload di FB oleh Jose Rizal Manua. Meski belum mengenali tamunya, tetapi dia selalu merespon dengan senyum.
” Kita ngobrol begini Papa juga dengar. Mengerti. Nanti malam dia akan mengulasnya, ” ujar Oriana. Itu kebiasaan terakhir Hardi yang dinilai putrinya sebagai tanda perbaikan memorinya. Dia sering nonton TV dan mengikuti berita dan talkshow di layar kaca. Hanya saja, responsnya baru belakangan.
Nama Oriana untuk putri sulungnya diambil Hardi dari nama wartawan Italia terkenal di tahun 1960-80 an, Oriana Fallaci. Kelak, Oriana memang menjadi wartawan di group Kompas.
Hardi dianugerahi tiga anak dan empat cucu. Putri keduanya,bernama Mahachakri, diambil dari Princess Maha Chakri Sirindhorn Thailand.
Sedangkan anak bungsunya, dia beri nama Jibril. Nama itu diambil dari nama Malaikat.
Terlahir dengan nama R. Soehardi pada 26 Mei 1951, Ia salah satu pelukis aliran ekspresionis yang terkenal dengan berbagai aktivis lintas seni dan kebudayaan di Indonesia.
Dia mengawali kariernya tahun 1970 di Ubud, Bali. Ia melukis bersama W. Hardja, Anton Huang, kemudian kuliah di Akademi Seni Rupa Surabaya.
Tahun 1971 – 1974 Hardi kuliah di STSRI ASRI Yogyakarta, berlanjut tahun 1975 – 1977 kuliah di De Jan Van EYC Academie di Maastricht, Belanda. Dalam bidang senirupa Hardi berguru kepada Daryono, Fadjar Sidik, Widayat, Prof. Hans Seur, Prof. Pieter De Fesche, Nyoman Gunarsa, dan Drs. Sudarmadji.
Pada tahun 1979 namanya melejit diulas banyak media. Dalam pameran Seni Rupa Baru tahun itu sebuah lukisan bertuliskan “Presiden RI th 2001 Suhardi”, menampilkan potret dirinya berseragam tentara, menarik perhatian banyak kalangan. Tahun 1980, Karya itu kembali ditampilkan dalam pameran seni Forum Pelukis Muda Indonesia di Taman Ismail Marzuki.
Karena lukisan itu, Hardi ditangkap penguasa militer dengan tuduhan makar. Lukisan itu dianggap menantang hegemoni Orde Baru di bawah Presiden Soeharto. Beruntung tidak sampai dipendam lama dalam tahanan. Hardi kemudian dibebaskan atas permintaan Wakil Presiden Adam Malik, tiga hari setelah ditangkap.
Hardi berpembawaan terbuka dan blak-blakan, kadang meledak-ledak. Seorang kolektor dan pengamat karyanya menandai perubahan karya lukis Hardi di era 1970 – 1980an yang banyak mengekspos masalah sosial dan menjadi pencetus Gerakan Seni Rupa Baru yang fenomenal, melahirkan karya-karya yang teduh, meski tetap dengan sapuan yang galak.
Sebelum pamit, saya mendoakan semoga Hardi segera sembuh, pulih seperti sediakala dengan ide – ide brilian yang dituangkan dalam lukisan- lukisannya. Hardi kembali merespons dengan senyum.
Indonesia akan kesepian tanpa Hardi, kata saya lagi. Semoga itu tertanam dalam memori Hardi yang akan diulas belakangan, mungkin sebentar malam, seperti kata Oriana.
Tapi Kamis pagi tadi Hardi telah pergi. Tiada lagi Hardi.