KABARIKA.ID–Di dunia apologetika sejak beberapa tahun terakhir, berkembang narasi yang sengaja dibangun bahwa Al-Qur’an sudah diturunkan sebelum Islam datang, bahkan sebelum Rasulullah SAW dilahirkan. Tujuannya, tentu untuk melemahkan Islam.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Bermula dari penemuan beberapa lembar manuskrip (naskah) Al-Qura’an oleh sejumlah peneliti dari Universitas Birmingham, Inggeris, yang dipamerkan pada 2015 lalu. Berdasarkan uji radiokarbon C-14, menunjukkan bahwa manuskrip tersebut berasal dari kurun waktu 568 M – 645 M.
Narasi tersebut tentu tidak main-main. Sebab bukankah 568 M itu Baginda Nabi memang belum lahir? Bahkan Abdullah dan Siti Aminah, ayahanda dan ibunda beliau, juga belum menikah. Lalu, bayangkan jikalau itu benar, maka fondasi iman Islam yang telah terbangun selama lebih 14 abad, bisa runtuh karenanya.
Tetapi, tunggu dulu. Tidakkah justeru uji radiokarbon C-14 itu yang keliru? Kemungkinannya kecil, sebab perlu diketahui bahwa akurasi metode penanggalan radiokarbon yang ditemukan Willard Libby pada 1940-an itu, mencapai 95,4%. Bahkan metode tersebut mampu menghitung usia sebuah fosil yang berusia sampai 50.000 tahun, dengan tingkat akurasi yang sama.
Oleh karena akurasinya demikian tinggi membuat metode ini menjadi andalan bagi para palaentolog di seluruh dunia yang berfokus pada studi fosil, dalam menentukan usia evolusi suatu organisme dan interaksinya dengan organisme lain beserta lingkungannya.
Tetapi tidak usah panik. Sebab pada dasarnya narasi itu dibangun karena kebencian terhadap Islam semata, sama seperti narasi yang pernah dibangun oleh Dan Gibson yang menyebut letak Ka’bah di Petra Yordania, bukan di Mekah, yang sempat heboh pada beberapa waktu lalu.
Demi memojokkan Islam, mereka seolah berpura-pura lugu di dalam membaca hasil uji karbon terhadap manuskrip Alqur’an itu. Padahal, jika disebut berasal dari kurun waktu 568 M – 645M, maka sebenarnya, manuskrip yang tersimpan di Birmingham tersebut ditulis setelah tahun 568 M dan atau sebelum tahun 645M, tidak sebelum 568M dan atau sesudah 645M.
Manuskrip Al-qur’an yang disebut paling tertua itu berupa perkamen. Memang hanya beberapa lembar, tetapi cukup dapat menjelaskan banyak hal seputar penyusunan mushaf Al-Qur’an pada masa itu. Dan meski tak memiliki tanda baca, namun masih dapat diidentifikasi bahwa benar-benar merupakan ayat Qur’an.
Manuskrip tersebut memuat teks Surah Al-Kahfi (18), Surah Maryam (19), dan Surah Thaha (20). Tertulis dalam aksara Arab Hijazi. Melihat urutan surahnya yang persis sama dengan Al-Qur’an saat ini, menunjukkan kalau, pertama, manuskrip itu berasal dari sebuah mushaf, namun dipastikan bukan mushaf Utsman karena usianya lebih tua.
Atau, kedua, manuskrip tersebut boleh jadi merupakan lembaran yang dipersipkan untuk menyusun mushaf di saa-saat terakhir Rasulullah. Hal ini merujuk kepada sebuah hadist yang dirawikan oleh Al Hakim yang sanadnya besambung kepada Anas bin Malik. “Suatu ketika kami bersama Rasulullah SAW dan menulis/mengumpulkan Al-Qur’an pada kulit binatang.”
“Menulis/mengumpulkan” di sini, dapat dimaknai sebagai projek kodifikasi Al-Qur’an pertama kali untuk menjadi sebuah mushaf, menggunakan kulit binatang. Nama surah, urutan surah, dan seterusnya, tentu Rasulullah sudah menyampaikannya kepada sahabat yang ditugasi, seperti Zaid bin Tsabit, Ubay bin Kaab, Ibnu Mas’ud, Anas bin Malik, dan lainnya.
Sayangnya, Rasulullah SAW keburu wafat sebelum proyek itu selesai, sehingga terhenti semenjak itu. Namun, ketika kebutuhan akan sebuah mushaf dirasakan semakin mendesak setelah banyak sahabat hafidz, syahid di Perang Yamamah, maka Khalifah Abubakar melanjutkannya.
Zaid bin Tsabit yang ditunjuk sebagai penanggung jawab proyek oleh Khalifah, pun berhasil menyelesaikannya. Mushaf Al-Qur’an yang ditulis di atas kulit binatang (perkamen) itu, volumenya sangat besar, mula-mula disimpan Abubakar RA, lalu Umar bin Khattab RA, dan terakhir, Hafsah binti Umar RA, isteri Baginda Nabi yang digelar sebagai “sang penjaga mushaf”.
Mushaf Usman yang kita kenal dewasa ini, disalin dari mushaf yang ada di tangan Hafsah. Dan, bukan mustahil bahwa Manuskrip Birmingham itu, adalah sisa-sisa dari mushaf perkamen Hafsah yang berhasil diselamatkan.[ym]
Makassar, 01 April 2024
*Penulis, pengamat Sosial Budaya, Politik, Alumni Fakultas Peternakan-Perikanan Unhas,
Tinggal di Makassar