“Apa boleh buat, orang itu bermacam-macam.”
KABARIKA.ID– Pada tahun 2007 Masuzoe san diangkat menjadi Menteri Kesehatan, Tenaga Kerja dan Kesejahteraan Jepang sebelum akhirnya terpilih menjadi Gubernur Tokyo awal 2014.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Selesai membaca breaking news ini, tiba-tiba saya terasa sangat ingin mendengar komentar mantan staf saya ketika bertugas di Tokyo.
Staf saya ini seorang wanita yang sudah mengabdikan dirinya bekerja untuk Indonesia sejak tahun 1963 dan sampai saat ini masih sangat aktif walaupun umurnya sudah mendekati 80 tahun.
Saya mengirim email ke dia dan minta untuk menelpon saya pada saat itu juga. Waktu mengangkat telepon dia langsung menebak bahwa saya mau mendapat kabar tentang pengunduran diri Masuzoe san.
Seperti biasanya dia tidak banyak memberi komentar, tetapi ada satu komentarnya yang membuat saya terharu.
Dia mengatakan, pengalaman hidup merawat seorang ibu banyak mempengaruhi perasaan dan cara berpikir Masuzoe san.
Saya tiba-tiba teringat dengan ibu saya yang walaupun masih sehat terkadang ada permintaan-permintaan beliau di saat saya didera kesibukan luar biasa sulit untuk saya penuhi dan dengan seperti biasa beliau mengatakan iya nanti lain kali saja.
Masuzoe mungkin melakukan lebih dari yang orang lain lakukan untuk berbakti kepada orang tuanya dengan mengganti pembalut orang jompo setiap hari dan ini dilakukan kurang lebih 9 tahun, yang bukan merupakan waktu yang pendek.
Seorang yang berkiprah di jalur politik dan telah menjadi selebritis di Jepang mau melakukan hal ini dan mengorbankan waktu produktifnya.
Hikita san, mantan staf saya tidak memberi komentar lagi, tetapi dari nada suaranya dia kelihatan sedih dan hanya bisa mengatakan “shoganai” (apa boleh buat), jinsei iro-iro (orang itu bermacam-macam).
Masuzoe san layaknya sebahagian besar orang Jepang sudah berbicara dengan nuraninya.
Tidak mudah berbicara dengan nurani, dan tidak mudah untuk memutuskan atau melepaskan sesuatu yang nyaman.
Begitulah cara orang Jepang berbicara dengan Nurani…kesalahan sekecil apapun yang telah dilakukan harus dipertanggungjawabkan.
Sekali lagi Hikita san mengatakan, perjuangan dan pelajaran yang diberi oleh ibu Masuzoe san selama 9 tahun tidak akan berarti apabila dia tidak mau mengundurkan diri sebagai Gubernur Tokyo karena penyalahgunaan dana masyarakat yang dipimpinnya.
Mungkin sehari setelah pengunduran dirinya, Masuzoe san akan berlutut di depan makam ibunya untuk meminta maaf.
Tradisi Jepang yang mengundurkan diri untuk menjaga kehormatan keluarga, serta penyesalan dan tanggung jawab karena penyalahgunaan dan ketidak mampuan menjalankan tugas dengan baik, sejatinya bisa menjadi cermin yang baik buat siapapun.
Pemimpin seperti Masuzoe san telah bertindak menyelamatkan kepentingan yang lebih besar dan menjaga kehormatan sebagai ciri khas watak kesatria dan ini adalah simbol kehormatan seorang samurai.
Masuzoe san telah memberi hormat kepada seluruh masyarakat Tokyo dan semesta mengamininya.