SALAH satu ikon Ujung Pandang pada tahun 1970-1980an adalah Pantai Losari yang konon kabarnya dulunya bernama Pasar Ikan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Hal ini mungkin karena di masa itu banyak pedagang pribumi yang berjualan dan memanfaatkannya sebagai pasar ikan di pagi hari, sedangkan di sore hari dimanfaatkan pedagang lainnya untuk berjualan kacang rebus, gogos, telur asin, pisang epe dan makanan ringan khas Makassar lainnya.
Di ujung Pantai Losari bagian Selatan ada Pasar Ikan yang biasa disebut Lelong Rajawali, karena Pasar ikan ini dijadikan sebagai tempat transaksi lelang ikan dan terletak di Jalan Rajawali.
Pantai Losari ini memang unik karena ada tiga jalan yang berada di kawasan ini. Jalan Rajawali, Jl. Penghibur dan Jl. Pasar Ikan.
Di Jalan Penghibur lah pada saat itu “surga” yang diberikan oleh Tuhan kepada masyarakat Ujung Pandang.
Sebahagian besar masayarakat dan pendatang yang ke Ujung Pandang pada saat itu rasanya tidak ke Ujung Pandang kalau tidak duduk di Pantai Losari saat menjelang Maghrib.
Mungkin karena itu jugalah Pemerintah Kota Ujung Pandang memberi nama jalan di depan Pantai Losari menjadi Jl. Penghibur.
Disengaja atau tidak kalau berjalan sepanjang pantai Losari ini, kita akan terhibur.
Sepanjang sisi pantai Losari terdapat pembendung air berupa turap beton memanjang yang menjorok ke dalam pantai.
Selain itu terdapat Promenade luas berlatar pulau dan laut selat Makassar yang waktu itu dijadikan tempat duduk favorit sambil menunggu Matahari terbenam dan di bawahnya merupakan outlet buangan limbah kota persis di depan RS Stella Maris.
“Surga” ini juga menarik perhatian Bapak Motokatsu Watanabe, Konjen Jepang di Makassar (sudah berubah nama dari Ujung Pandang).
Beliau adalah diplomat karir yang sebelumnya ditempatkan di Kuwait. Dalam satu pertemuan, beliau mengatakan bahwa sangat terkesan dan merasakan ada satu hal yang berbeda ketika mendengar Adzan Subuh dikumandangkan di Kuwait.
Perasaan itu terasa lagi setelah beliau ditugaskan di Makassar. Beliau merasakan betul dan selalu mendengar Adzan subuh dari rumah jabatan di Jl. Sudirman depan Gubernuran.
Beliau sampai paham betul bahwa suara Adzan berasal dari dari Masjid Raya, Mesjid di Jl. Karunrung dan Mesjid di Jl. Batu Putih di belakang gedung MULO.
Pak Watanabe mengatakan bahwa nikmatnya hidup di Kuwait setara dengan nikmatnya hidup di Makassar, tetapi ada satu lagi kelebihan Makassar yang tidak dimiliki Kuwait adalah Pantai Losari.
Utsukushii Bashou…tempat yang sangat indah, kata pak Konjen. Inilah yang menginspirasi pak Konjen pada saat itu untuk membuat program pertukaran foto sunset antara sunset Makassar dengan organisasi pencinta sunset di Jepang.
Menurut beliau di Jepang organisasi ini serius sekali. Mereka rutin bikin pameran foto di masing-masing daerah di Jepang.
Mungkin mereka tidak banyak dikaruniai “surga” seperti Pantai Losari, mungkin juga mereka terdidik mulai dari masyarakat biasa terutama pemimpinnya untuk menikmati keindahan alam yang gratis diberikan oleh Tuhan.
Sepertinya para pencinta sunset di Jepang ini tidak akan mendapat “sumber foto” yang menarik.
Seorang anak AFS yang homestay di rumah saya pada tahun 1985 menjadikan Pantai Losari sebagai tempat menunggu sunset sambil makan pisang Epe yang merupakan sajian tradisional Makassar.
Foto-foto sunset Pantai Losari selalu dikirimkan ke keluarganya di California setiap akhir bulan. Seandainya dunia internet pada masa itu sudah semarak seperti sekarang, Hillary pasti akan mengirimkan livepost setiap hari.
Pada masa itu, setelah waktu Ashar dan menjelang waktu Maghrib, sepanjang Tembok di Pantai Losari sudah dipenuhi orang.
Nasi Goreng Usman dan Mie Goreng Marthen
Anak-anak muda Ujung Pandang pada saat itu mengenal dua tempat favorit selain penjual pisang epe yang banyak pilihannya.
Tempat itu menjual nasi goreng dan mie goreng yang penjualnya asli orang Makassar. Di depan Restorant Pualam ada Daeng Usman (Mantan koki RM Pelangi di Jl. Ratulangi yang sangat terkenal jaman itu) yang memutuskan untuk menjual nasi goreng dan mie goreng dengan menggunakan gerobak.
Satunya lagi Marthen, pemuda asal Toraja yang mengadu nasib ke Ujung Pandang.
Pada masa itu belum banyak untuk mengatakan tidak ada pendatang dari Jawa yang menjual nasi goreng dan mie goreng sehingga Daeng Usman dan Marthen lah yang “menguasai” Pantai Losari saat itu.
Yang punya lebih banyak uang biasanya akan nongkrong menunggu sunset di lantai 2 Kios Bali dan Kios Semarang. Masyarakat Ujung Pandang termasuk saya terkadang menunggu sunset di Kios Semarang sambil mempraktekkan bahasa Inggris saya berbicara dengan para turis manca negara yang kelihatannya tidak mempunyai “surga” ini di negara mereka.
Mereka berkumpul di dua kios menunggu sunset tiba sambil menikmati Jalangkote dan Bir Bintang atau Bir Anker. Buat “orang kaya” pada jaman itu memilih anjungan Makassar Golden Hotel,
Hotel bintang 5 pertama di Ujung Pandang pada saat itu. Anjungan ini sebagai tempat rendevous sambil menikmati sunset di Pantai Losari dan mendengarkan alunan musik acoustic yang membawakan lagu-lagu Gipsy Kings dan sekali-sekali lagu Makassar “Garring Apai Nona” dan Sulawesi Parrasanganta”.
Pagi ini dari atas sebuah hotel di kawasan Pantai Losari, saya memandang dengan sedih, tempat dan “surga” ini dalam waktu yang tidak terlalu lama akan hilang.
Perlahan tapi pasti “surga” ini akan tertutup oleh gedung dan bangunan rumah. “Surga” ini tidak gratis lagi dan sangat sulit menjelaskan kepada generasi berikutnya bahwa dulu di Pantai Losari merupaka “surga” alam anugerah dari Tuhan yang tidak diberikan ke tempat lain termasuk Jepang yang “cemburu” dengan anugerah ini.
Saya kehilangan kontak dengan Pak Konjen Watanabe San, tetapi saya sangat yakin beliau akan “menangis” dan sedih seandainya tahu bahwa “surga” Pantai Losari dengan sunset nya akan hilang. Beliau mungkin akan mengira bahwa kita belum memahami arti suatu keindahan, dan pendidikan dan jabatan yang tinggi tidak linier dengan kearifan untuk melihat Pantai Losari dengan sunsetnya sebagai “surga”.
Masyarakat umum Makassar tidak akan bisa bebas melihat “surga” ini. “Surga” in telah hilang.