KABARIKA.ID, LIMAPULUH KOTA – Julo-julo di Ranah Minang merupakan kelompok kerja atau buruh tani yang sebagian besar beranggotakan perempuan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Setiap kelompok terdiri atas belasan hingga puluhan orang dengan kegiatan utama menjual jasa tenaga (buruh tani), untuk mengolah lahan pertanian, terutama areal tanaman pangan, termasuk perkebunan berbagai komoditas.
Sejumlah petani padi sawah, di Nagari Koto Alam, Kecamatan Pangkalan Koto Baru, Kabupaten Limapuluh Kota, Provinsi Sumatera Barat, mengaku tidak kuat untuk mengerjakan atau mengelola lahan, penanaman hingga menghasilkan padi atau panen.
Banyak di antara petani berharap terjadi regenerasi di sektor ini.
Ketika usia semakin tua, pengerjaan persawahan diserahkan ke generasi muda, terutama dari kalangan terdidik untuk terjun di sektor ini. Kalau pun tidak penuh, minimal bisa meringankan.
Tantangan terberat sektor pertanian saat ini adalah mempertahankan keberadaan sawah agar bisa tetap diolah dan menghasilkan padi.
Melihat kondisi tersebut, petani di Provinsi Sumatera Barat, ternyata punya cara tradisional untuk menjawab tantangan semacam itu, yakni dengan memanfaatkan kelompok Julo julo.
Enggan Kerja Tani
Di luar itu semua, warga Nagari, Upik Rima, 47 tahun mengaku, dirinya punya dua anak perempuan. Tapi sama sekali tidak pernah mau membantunya mengelola sawah.
“Mungkin karena sempat mengenyam jenjang pendidikan menengah atas, jadi enggan kerja tani,” ungkapnya.
Terlebih, tentu selain tenaga, juga butuh alat dan mesin pertanian (Alsintan) dalam hal pengelolaan lahan atau sawah.
Ternyata tidak semua petani punya alsintan sehingga mereka harus sewa ke orang lain. Sayabgnya, tidak semua petani, mampu membayar langsung sewa alsintan tersebut.
Kondisi tersebut membuat petani memanfaatkan jasa kelompok julo-julo. Kelompok yang menjual jasa tenaga.
Merekalah yang akan mengelola semua sawah milik petani. Lantaran pembayaran upah jasa bisa ditunda hingga waktu tertentu.
Bahkan menurut pemilik sawah bernama Linar, 31 tahun, kelompok julo-julo juga kerjanya cepat. Mereka bisa bekerja hanya dalam kurun waktu dua hari saja.
“Selain kerjanya cepat, karena beranggotakan 17 orang, pembayaran upah bisa dilakukan dalam tenggat waktu yang cukup lama. Biasanya saat mau Ramadan atau lebaran. Sehingga harusnya bisa terbayar semua,” katanya.
Meski tidak jarang ada yang tidak bisa membayar tepat waktu. Tapi kata Linar, harunsya mereka yang memanfaatkan jasa itu bisa tahu diri, lantaran jasa kelompok julo-julo itu dipakai sejak awal sebelum musim tanam, dengan bersih-bersih lahan serta pematang hingga panen.
“Semua tahapan pengerjaan areal persawahan, baik yang bersifat pengolahan atau pembersihan lahan, tidak semua petani yang bisa melakukannya sendiri, terlebih bagi petani yang areal persawahannya tergolong luas, semua dibantu kelompok julo-julo,” kata Linar.
Banyak pemilik lahan di Nagari memanfaatkan jasa kelompok julo-julo untuk mengelola sawah.
Reman, 61 tahun, pemuka masyarakat setempat, menegaskan, antara petani dengan kelompok julo-julo terjalin hubungan kerja yang saling membutuhkan.
Pada satu sisi, para anggota kelompok julo-julo membutuhkan pekerjaan sebagai bagian upaya meringankan beban suami dalam mencari nafkah keluarga. Dan petani membutuhkan kelompok julo-julo dalam menggarap areal pertanian tanpa upahnya langsung dibayar setelah pekerjaan selesai.
“Dengan demikian, petani terhindar dari praktik menelantarkan areal persawahan karena tidak punya kemampuan finansial untuk membayar upah pekerja,” urai Reman.
Dewi, 25 tahun, anggota kelompok julo-julo menyebutkan, bergabung dengan kelompok itu didorong oleh motif ekonomi, dengan niat membantu suami mencari nafkah.
“Kalau untuk pemenuhan kebutuhan harian ditmabah biaya-biaya lain diupayakan oleh suami. Sementara upah bekerja di lahan pertanian untuk kebutuhan tertentu,” sebutnya.
Ada pun upah untuk menggarap lahan orang lain bersama kelompok julo-julo sebesar Rp50.000 per hari. Sehingga dalam sebulan mendapat bayaran Rp400.000. (*)